Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Menerima Dia Sebagai Takdir
...•••Selamat Membaca•••...
Keesokan paginya, Hulya bersiap ke butik, tangannya juga sudah lumayan sembuh karena dipijat Marchel semalam, dia juga semangat karena hari ini bisa bertemu Aarav.
Hulya keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan wangi, sedangkan Marchel duduk di sofa dengan tatapan tajam padanya.
“Mau ke mana kamu?” tanya Marchel dingin.
“Ke butik, mau ke mana lagi coba.”
“Sekarang lebih baik kamu persiapkan saja surat-surat untuk pernikahan kita, aku tidak memiliki waktu lama di sini.” Hulya mencoba tenang dan duduk di hadapan Marchel.
“Marchel, aku ini sudah memiliki kekasih, aku mencintai dia dan dia juga mencintaiku, jadi aku mohon padamu, tolong jangan seperti ini, masih banyak wanita lain yang menginginkan kamu untuk menjadi suami mereka. Jika kita menikah dan aku tidak bisa mencintai kamu, itu akan menyakitkan Marchel, cobalah mengerti.” Hulya berusaha memberikan pengertian pada Marchel mengenai perasaannya, berharap Marchel menerima ucapannya. Marchel mencondongkan tubuhnya ke arah Hulya dengan tatapan yang masih tajam.
“Cepat persiapkan semua surat-surat untuk pernikahan kita atau aku akan membunuh kekasihmu itu.” Hulya terkejut dengan reaksi Marchel yang dingin dan menakutkan. Dengan kesal dan emosi, Hulya berdiri dari tempat duduknya.
“Aku nggak mau Marchel, ngerti nggak sih? Emang kamu pikir kamu itu siapa? Nggak segampang itu buat maksa orang nikah sama kamu, kalau memang kamu itu hebat dan pemberani, sana bunuh Aarav dan jangan pernah berharap kalau aku akan menikah dengan pembunuh sepertimu.” Marchel melipat tangannya ke dada dan terlihat santai menanggapi amarah Hulya sambil senderan ke sofa.
“Aku selalu mendapatkan apa yang aku mau Hulya, termasuk kamu.”
“Aku nggak segampang itu ditaklukkan olehmu, mengerti.”
“Oh ya?” Marchel berdiri di hadapan Hulya dengan tatapan tajam kembali.
“Ayo kita buktikan!”
Hulya pergi sambil menghentakkan kakinya, saat hendak keluar rumah, pintu rumah terkunci. Gadis itu hilang kesabaran menghadapi Marchel kali ini, baginya, Marchel sudah sangat keterlaluan.
“Dengar Marchel, aku ini bukan tahanan kamu, kau bagai seorang pengecut kalau seperti ini.” Marchel mendekati Hulya perlahan.
“Oh ya? Dengar istriku sayang, kamu milikku, Hulya.”
“Aku bukan istrimu.”
“Oke, sekarang coba lihat ini.” Marchel memberikan ponselnya pada Hulya, di sana dia melihat ayahnya melakukan ijab kabul dengan Marchel dan disaksikan oleh beberapa orang.
Hulya kaget bukan main, dia menatap Marchel tidak percaya, menganggap kalau video itu hanya editan.
“Aku tidak bisa dibohongi dengan video editan begitu.”
“Aku bukan orang yang suka mengedit apapun, ini real dan kau itu istriku, aku menikahimu ketika kau berusia delapan belas tahun, tepat saat kau baru saja lulus sekolah.”
“Tidak mungkin, papa tidak mengatakan apapun padaku."”
“Jelas, karena aku yang meminta dia untuk tidak mengatakan apapun padamu dulu sampai kau benar-benar siap dan lulus kuliah.”
“Bohong! Aku bukan istrimu.”
“Aku sudah menikahimu sah secara agama, aku memeluk kepercayaanmu dan pernikahan kita sah. Sekarang, aku ingin pernikahan kita di sahkan secara negara dan hukum.” Hulya terdiam, tubuhnya merosot ke lantai, dia tidak bisa mempercayai hal ini.
“Tidak mungkin, ini tidak mungkin,” gumam Hulya pelan, dia tidak hanya terkejut tetapi juga tertekan dengan semua ini.
Bagaimana mungkin dia akan hidup dengan pria yang sama sekali tidak dia cintai? Ini mustahil.
“Berarti usia pernikahan kita sudah 5 tahun?” Marchel berjongkok di depan istrinya itu, tatapannya tidak setajam tadi lagi.
“Iya Hulya, itulah kenapa, aku sangat menjaga dirimu dan aku menyingkirkan semua pria yang berusaha untuk mendekatimu karena kau itu istriku.”
Selama ini, Amar selalu mengatakan pada Hulya kalau Marchel adalah pria yang tepat untuk anaknya, tapi semua itu dianggap angin lalu oleh Hulya, mengingat perbedaan usia mereka yang terpaut jauh, yaitu sepuluh tahun. Hulya awalnya menganggap kalau Marchel adalah seorang paman, dia tidak pernah membayangkan kalau Marchel ternyata suaminya.
“Aku tidak mencintaimu Marchel, aku mencintai Aarav dan ini tidak mungkin terjadi, aku tidak mencintaimu.”
Tangis Hulya pecah, walau Marchel merasa sakit mendengar ungkapan Hulya tapi dia tidak terlalu menanggapi.
“Kamu hanya butuh waktu Hulya, cinta itu bisa hadir karena terbiasa, aku tidak akan menyentuhmu sampai kau benar-benar siap. Sekarang aku ingin meresmikan dan mendaftarkan pernikahan kita.” Hulya menggeleng, dia tidak ingin menikah dengan Marchel.
“Aku mohon Marchel, tolong ceraikan saja aku, aku sangat mencintai Aarav, aku tidak ingin meninggalkan dia.” Marchel kembali menatap Hulya dengan sinis.
“Aku tidak akan pernah menceraikanmu, kau itu milikku Hulya, kau istriku dan sampai kapan pun, kau akan tetap menjadi istriku. Bila perlu, aku akan melenyapkan Aarav agar pria itu tidak merusak pikiran dan hatimu lagi.” Marchel berdiri, tekadnya bulat untuk membunuh Aarav.
“Jangan, jangan Marchel, tolong jangan sakiti Aarav. Aku mohon.”
“Kalau begitu ayo urus segala keperluan kita, aku ingin semua selesai dalam minggu ini, mengerti.” Hulya mengangguk, tidak ada pilihan lain selain mengikuti perkataan Marchel.
...***...
Hulya dan Marchel mengadakan pesta besar di New York, dia tidak mengadakan di Indonesia karena Hulya tidak ingin, dia takut jika Aarav tersakiti.
Hulya menatap pantulan dirinya di cermin besar dalam kamar pengantin, dirinya sangat cantik bak seorang ratu. Selama pernikahan dan resepsi berlangsung tadi, Hulya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi keterpaksaan. Dia menghargai Marchel karena tamu yang hadir merupakan orang penting dan Marchel juga bukan orang sembarangan, dia memiliki kuasa serta power yang kuat di negara itu.
Marchel memasuki kamar mereka, dia sangat bahagia, akhirnya lima tahun penantian, dia bisa memiliki Hulya seutuhnya.
“Biar aku bantu.” Marchel membantu Hulya membuka gaun pengantin itu.
“Aku mau mandi dulu.” Hulya mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Wajah Hulya sangat berbeda ketika acara tadi, sekarang dia lebih banyak murung.
“Maafkan aku Hulya, aku tidak bisa melihatmu dimiliki oleh pria lain, itulah kenapa aku terus mendesak Amar untuk menikahkan aku denganmu, tapi aku berjanji, aku akan memberikan kehidupan yang layak untukmu,” kata Marchel lalu melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya.
Dia juga mengambil handuk dan mandi di kamar mandi lain, agar nanti ketika tidur, tubuhnya terasa lebih segar.
Hulya berdiri di balkon kamar, tatapannya kosong dan hampa, dia tidak bisa menolak takdir saat ini. Dia teringat dengan perkataan Marchel sebelum mereka menikah secara resmi.
“Bahkan jika takdir tidak bisa mempersatukan kita, aku akan membuat takdirku sendiri agar bisa memilikimu, apapun itu akan aku jalani sesuai dengan keinginanku.”
Sekarang Hulya hanya akan menjalani semuanya sesuai dengan kehendak Marchel, hidupnya sudah di bawah kendali sang suami tanpa bisa dia kelola sendiri.
Marchel sudah berdiri di samping Hulya, menatap wajah sendu istrinya yang saat ini belum menyadari keberadaannya. Marchel mencium pipi Hulya dengan lembut, gadis itu langsung menoleh sebentar pada Marchel dan kembali menatap lurus ke depan.
“Istirahatlah, jangan terlalu lama di balkon, tidak baik untuk kesehatanmu, angin malam bisa membuatmu sakit nanti.” Hulya menatap Marchel sendu, dia bingung dengan situasi saat ini, siapa yang bisa dia salahkan?
“Aku belum ingin tidur.”
“Kalau begitu, aku pergi dulu, jangan begadang, tidak baik.” Marchel mencium kening Hulya lalu pergi dari kamar itu, dia memilih untuk tidur di kamar lain agar Hulya merasa nyaman.
“Papa ini kenapa sih? Ngomongin Marchel mulu, emangnya papa segitu ngebet ya jadiin dia menantu?” protes Hulya pada Amar, papanya terkekeh.
“Jika anak papa ada dua dan juga perempuan, papa pasti akan menjadikan dia menantu. Dia anak yang baik, tanggung jawab dan juga mapan. Papa mengenalnya semenjak dia kecil, dia memang keras tetapi hatinya begitu baik nak, apa kau tidak menyadari, kalau dia jatuh hati padamu.”
“Papa ini jangan banyak bicara lagi, dia itu jauh lebih tua dariku Pa, lebih cocok menjadi pamanku.” Amar kembali tertawa.
“Yang lebih tua itu yang bisa mengerti dan mengimbangi sikap manja kamu ini.” Amar mencubit ujung hidung Hulya.
“Nanti kau akan mengerti nak, seorang suami itu akan menjadi tempat pulang bagimu, banyak di luaran sana, istri yang menderita setelah menikah, mendapat kekerasan, kekejaman, kehinaan dan penderitaan lain dari suaminya. Papa tidak ingin kamu begitu, papa hanya ingin kamu bahagia dan Marchel adalah pria yang tepat untuk menggantikan Papa dalam menjaga kamu,” lanjut Amar.
“Coba kamu bayangkan, kamu nanti sakit dan tidak bisa melakukan apapun sendiri, kamu butuh perhatian serta kasih sayang tapi suamimu cuek dan tidak peduli, dia hanya memberikan kamu materi saja tanpa perhatian, apa yang akan kamu lakukan? Kamu tidak akan bisa hidup tanpa cinta dan kasih sayang nak.”
“Sudahlah Papa, lebih baik Papa tidur dan jangan mikir aneh lagi.”
Hulya menangis mengingat perkataan Amar, selama ini Amar sangat ingin melihat dia bersanding dengan Marchel dan sekarang semua sudah terwujud. Hulya menghapus air matanya dan memasuki kamar lalu menutup pintu serta gorden, dia tidak melihat Marchel di dalam kamar itu.
“Loh, dia ke mana?” Hulya keluar dari kamar, mencari keberadaan Marchel dan pelayan mengatakan, Marchel ada di kamar lain.
Hulya memasuki kamar tempat di mana suaminya berada. Pintu tidak dikunci, Hulya melihat Marchel tidur tanpa mengenakan baju dan hanya memakai celana santai panjang berwarna hitam.
Lampu kamar juga dimatikan dan pencahayaan hanya dari lampu tidur. Hulya menutup pintu kamar dan mendekati Marchel, dia berdiri di samping ranjang lalu menatap lekat wajah tampan yang tidur dengan damai tersebut.
“Aku yakin, pilihan papa pasti tidak pernah salah, aku akan menerima semuanya,” kata Hulya dalam hatinya.
Hulya duduk di tepi kasur, membuat Marchel terbangun karena merasakan pergerakan di tempat tidur, dia dengan spontan duduk dan menatap Hulya dengan bingung.
“Ada apa Hulya?” tanya Marchel kaget, karena mata Hulya merah sehabis menangis, dia takut jika istrinya itu sakit.
“Kenapa tidur di sini?”
“Aku hanya ingin kamu istirahat dengan tenang saja, aku tidak ingin menganggumu.”
“Aku sedih Marchel, apa kau tidak ingin memelukku untuk menghilangkan rasa sedih ini?” Marchel menghidupkan lampu kamar, wajah Hulya terlihat jelas.
Marchel membawa Hulya dalam pelukannya, memberikan rasa nyaman dan hangat pada Hulya.
“Kamu sedih karena diriku, aku sadar itu.”
“Aku menerima pernikahan ini, Marchel, aku ini istrimu dan kamu suamiku, seharusnya kita menghabiskan malam bersama, bukan tidur pisah kamar seperti ini.” Marchel tersenyum, hatinya menghangat saat Hulya berkata seperti itu.
“Apa aku tidak salah dengar?”
“Aku memang belum mencintaimu tapi kau bisa membuat aku jatuh cinta dengan caramu bukan.”
“Tentu, aku pasti bisa membuatmu jatuh cinta padaku.”
“Ayo kita ke kamar, masa malam pertama kita tidak romantis, kan harusnya kita mesra-mesraan, peluk-pelukkan dan—” Hulya tersenyum genit lalu mencolek dagu Marchel yang membuat Marchel terkekeh.
“Membuat keturunan yang banyak,” sambung Marchel. Mereka berdua tertawa.
...•••BERSAMBUNG•••...