Rika, mahasiswi sederhana, terpaksa menikahi Rayga, pewaris mafia, untuk menyelamatkan keluarganya dari utang dan biaya operasi kakeknya. Pernikahan kontrak mereka memiliki syarat: jika Rika bisa bertahan 30 hari tanpa jatuh cinta, kontrak akan batal dan keluarganya bebas. Rayga yang dingin dan misterius memberlakukan aturan ketat, tetapi kedekatan mereka memicu kejadian tak terduga. Perlahan, Rika mempertanyakan apakah cinta bisa dihindari—atau justru berkembang diam-diam di antara batas aturan mereka. Konflik batin dan ketegangan romantis pun tak terelakkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Julianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
Suasana pasar begitu ramai saat aku tiba di sana, tepat waktu untuk mendapatkan diskon buah-buahan dan beberapa sayuran dikarenakan sekarang musim panen.
Aku melihat orang-orang lain yang, seperti aku, juga datang untuk berbelanja, mereka sangat antusias menunggu beberapa stand yang bersiap membuka dagangan mereka.
Mereka sama seperti ku. Ketika sedang musim panen atau acara gebyar diskon di hari yang lain, kami akan datang secepat mungkin walau beberapa stand pasar masih ditutup.
Sambil menunggu gebyar diskon dimulai, aku melihat sebuah mobil hitam. Dan seketika aku teringat pada orang tuaku. Mereka selalu mengendarai mobil hitam.
Sebenarnya, aku tidak selalu tinggal bersama kakek atau pergi pagi-pagi ke pasar demi diskon. Hidupku dulu tidak seperti ini. Ayahku adalah orang berkecukupan, dan kami memiliki beberapa Aset. Aku bahagia dan hidup dengan nyaman… sampai aku berusia enam belas tahun. Tak lama setelah ulang tahunku yang ke-16, orang tuaku mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang. Mereka meninggal di tempat, para dokter forensik juga mengatakan kedua orang tua ku tewas dengan dalih murni kecelakaan.
Aku mendengar itu hanya terdiam meratapi nasib buruk yang menimpaku.
Kematian mereka menghancurkan ku. Aku merasa hidupku terhenti. Tapi kakek menyemangati ku agar tidak kehilangan harapan.
Mungkin jika tidak ada kakek, tubuh ku pasti sudah berbaring kaku di samping makam orang tuaku.
Setelah pemakaman mereka—dan seolah perasaan duka itu belum cukup—perusahaan ayahku mulai bermasalah. Masalahnya datang dari rekan bisnis mereka. Dia tiba-tiba memutuskan bahwa bisnis itu sekarang miliknya. Hanya miliknya. Aku tidak pernah menyangka bahwa Paman Roni akan mencoba merebut perusahaan itu. Aku memanggilnya "Paman" karena dia seperti adik bagi ayahku. Dia sering datang ke rumah dan kami sering bercanda bersama saat itu.
Tapi sekarang, kepercayaanku telah hancur menjadi pecahan kaca yang terkubur didalam tanah dan terurai lalu menghilang. Aku tidak habis pikir bahwa Paman yang aku anggap baik bisa melakukan ini.
Padahal itu perusahaan yang dia dan ayah bangun dari nol. Sekarang saat kupikir-pikir, dia benar-benar memberiku pelajaran pahit tentang arti sebuah pengkhianatan. Dia membuatku tahu betapa sakitnya ketika orang yang kau anggap keluarga justru menusuk mu dari belakang.
Kami pun mulai menjalani rangkaian panjang kasus pengadilan. Tapi hanya karena satu kelalaian kecil dari pihak ayahku, Paman Roni memenangkan kasus itu. Rasanya sangat menyakitkan. Aku kehilangan orang tuaku, dan sekarang kehilangan perusahaan yang telah dibangun oleh ayahku.
Seolah semua itu belum cukup, aku mendapat panggilan dari pihak bank. Ternyata rumah dan mobil yang kami miliki masih dalam status hipotek. Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk melunasinya? Perusahaan sudah tidak ada. Aku mencoba berbicara dengan pihak bank, tapi rasanya seperti berbicara dengan tembok.
Akhirnya, ketika tanggal jatuh tempo tiba, pihak bank datang dan mengusirku dari rumah. Air mataku tidak henti-hentinya mengalir. Aku bertanya-tanya kenapa aku tidak ikut saja bersama ayah dan ibu dalam kecelakaan itu, agar semuanya bisa berakhir.
Setelah menangis, aku menghapus air mataku. Aku mengambil pakaianku dan uang terakhir yang ku punya—selembar uang seratus ribu—yang akan ku gunakan untuk menaiki bus. Aku menuju satu-satunya tempat yang masih bisa kusebut rumah.
Aku pergi ke rumah kakekku yang berada di pedesaan.
Sejujurnya, hidup di desa bersama kakek sangatlah berat. Kamu harus berkeringat untuk mendapatkan sesuatu, tapi aku merasa cukup. Dengan kasih sayang yang kakek berikan padaku, aku merasa bisa melakukan apa saja.
Jadi aku mulai beradaptasi dengan kehidupan desa.
Kakek memiliki sebuah toko buah. Aku menabung sedikit demi sedikit dan akhirnya berhasil membeli blender, kulkas, dan pembuat es. Dengan itu, aku menggabungkan jualan buah kakek dengan usaha membuat smoothies untuk para pelanggan. Mereka menyukainya. Uang yang kami dapatkan cukup untuk kebutuhan harian dan membayar biaya sekolahku. Aku menyelesaikan SMA di sekolah desa yang hampir seratus persen dinaungi pemerintah. Lalu aku mendaftar beasiswa dan akhirnya mendapatkan beasiswa penuh. Aku memutuskan untuk kuliah di jurusan hukum. Tahun ini adalah tahun keduaku di universitas.
Perlahan-lahan hidupku mulai membaik. Aku merasa hidup mulai menghapus air mataku… lalu aku bertemu Ranza.
Ranza Karteza adalah pria di kampus yang diidam-idamkan semua perempuan. Dia tampan dan tenang.
Anehnya, dia mulai sering menghabiskan waktu bersamaku, dan itu membuat banyak perempuan kecewa. Mereka langsung mulai membenciku, tapi aku tidak terlalu peduli dengan kata-kata mereka. Akhirnya, Ranza menyatakan cinta padaku. Pada saat itu, rasa duka ku mungkin sedikit mereda dan diganti dengan rasa jatuh cinta khas anak remaja. Mungkin aku terpincut cinta monyet pertama dalam hidupku ini.
Sehingga aku pun menerima pernyataan cinta Ranza kepadaku. Dan begitulah hubungan kami dimulai. Ranza selalu berusaha memastikan aku tidak kekurangan apapun di kampus. Kami selalu bercanda dan banyak orang sering berkomentar bahwa kami pasangan yang sangat cocok. Mereka bahkan memberi kami julukan “pasangan termanis di kampus.” entah kenapa aku sedikit melankolis mendengarnya.
Ngomong-ngomong soal Ranza, aku belum bicara dengannya sejak akhir pekan. Jadi, sambil merapikan buah-buahan dan beberapa sayuran yang ku beli dari pasar diskon, aku bertekad dalam hati untuk meneleponnya nanti. Aku merasa senang melihat buah-buah yang ku beli. Aku berhasil mendapatkan beberapa buah langka yang sangat disukai warga desa. Aku bisa membayangkan senyum kakekku saat melihat isi kantong belanjaanku—sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali aku pulang.
Namun begitu kakiku menginjak lantai rumah, aku langsung tahu ada yang tidak beres.
Kakek tidak terlihat di mana-mana, dan aku melihat sebuah mobil hitam besar terparkir di samping rumah. Mobil itu terlihat seperti mobil orang kaya… sebuah Rolls Royce. Saat aku tidak menemukan kakek di rumah, aku langsung berlari ke toko. Aku melihat beberapa buah dan sayuran yang ada di rak berserakan di lantai dan jantungku seperti hendak melompat keluar dari dadaku.
“Kakek!!!” aku berteriak saat melihatnya berlutut sambil memohon. Di sekelilingnya berdiri pria-pria berpakaian hitam.
“Apa yang kalian lakukan?!” aku membentak. “Kenapa kalian tidak mencari lawan yang sepadan?! Aku akan laporkan kalian ke polisi!” aku meneriakkan itu sambil berlari ke sisi kakek.
“Tenang, Nona. Kalian berutang pada kami,” kata si pemimpin dengan senyum mengejek. Dia mengeluarkan selembar kertas yang menunjukkan jumlah angka acak diikuti angka nol yang berderet, hal itu cukup membuat ku sesak nafas.
Butuh kekuatan lebih dalam diriku agar aku tidak pingsan di tempat.