Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 20.
Enam hari dirawat, Oma akhirnya diperbolehkan pulang. Anindya senang, karena bisa lebih leluasa melakukan banyak hal, tidak terbatas pada aturan rumah sakit dengan ruang gerak tak nyaman.
Tapi, ada satu masalah besar. Semenjak Oma dipulangkan, Malik jadi full WFH. Tak sehari pun Anindya lihat lelaki itu berangkat kerja. Selain itu, Malik juga memilih tempat kerja yang tidak biasa. Alih-alih ruang kerjanya di lantai dua, atau ruang keluarga, atau ruangan mana pun yang ideal dan nyaman, Malik malah membawa laptop dan berkas-berkasnya berpindah tempat berkali-kali. Ke mana saja. Di tempat di mana Anindya dan Oma.
Tadi pagi, ketika Anindya mengajak Oma duduk ngeteh cantik di backyard, Malik ikut menggelar karpet. Duduk begitu dekat dengan kaki Oma. Seakan jika lebih jauh sejengkal saja, Oma bisa lenyap digondol laba-laba raksasa.
Menjelang siang, Anindya ajak Oma pindah ke ruang keluarga. Ada satu serial thriller yang tayang dengan total 10 episode sekaligus di salah satu layanan streaming, dia sudah janji akan menonton bersama Oma sepulangnya Oma dari rumah sakit. Tapi adegan menonton mereka jadi tidak asyik karena Malik ikut gelesotan di karpet bulu-bulu. Suara keyboard laptop yang terus disentuh tanpa henti membuat Anindya tidak bisa berkonsentrasi penuh pada drama yang sedang ditonton. Akhirnya, dia mendumal di dalam hati sepanjang marathon tiga episode.
Sore harinya, sudah waktunya Anindya pulang. Namun, ia memutuskan stay lebih lama karena ingin mencuri waktu untuk berdiskusi dengan Oma. Dia pikir harus membicarakan lagi soal strategi pemusnahan kehamilan palsu yang paling aman. Anindya ingin meyakinkan Oma bahwa ide untuk betulan hamil tidak bisa diambil karena terlalu gambling. Daripada jujur bahwa dia takut, Anindya berdalih bahwa hanya Tuhan yang tahu kapan perutnya benar-benar diisi bayi.
Sayang seribu sayang, waktu yang dia nanti tak juga tiba karena Malik mendadak keras kepala. Padahal Oma bilang Malik selalu mandi di antara pukul empat. Tepat ketika matahari mulai bergeser ke barat dan sebelum ia tenggelam sepenuhnya. Tapi sore ini Malik masih anteng saja di posisinya. Menggulir layar tab seolah tidak peduli pada dirinya dan Oma. Sedangkan Anindya tahu betul telinga lelaki itu selalu waspada.
Anindya berdeham cukup keras. Sengaja ingin menarik perhatian Malik. Yang dipancing tidak tertarik, malah Oma yang gercep bertanya apakah tenggorokan Anindya sakit.
"Ng--nggak. Nggak, Oma. Anindya oke." Ia berkilah panik.
Malik hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya (yang entah kenapa) tidak habis-habis. Sampai-sampai Anindya bertanya-tanya sendiri. Apa iya seorang CEO harus mengerjakan semua hal sendiri? Karena kalau ia lihat, Papa sepertinya tidak sesibuk Malik. Malah masih sempat main golf setiap Sabtu dan menemani Mama pergi shopping di hari Minggu.
"Mas Malik nggak mau mandi?"
"Nanti."
"Nunggu apa? Kan udah sore."
Jemari Malik berhenti mengusap layar tab. Ia meletakkan benda persegi panjang seukuran buku tulis itu di atas pahanya dan menatap Anindya datar.
"Kata Oma, Mas Malik selalu mandi sebelum matahari terbenam."
Malik melirik Oma. "Nggak juga," katanya, kembali menatap Anindya. "Suka-suka saya aja mau mandinya kapan. Mau menjelang subuh juga nggak masalah."
"Mandi malam-malam nggak bagus tahu."
"Itu kamu tahu."
Dahi Anindya mengernyit. "Apa?"
"Kamu tahu mandi malam-malam nggak bagus, kenapa kamu sendiri nggak buruan pulang dan mandi? Badan kamu udah bau matahari."
Ouch! Nyeri sekali, man. Rasanya seperti digebuk pas di dada. Sampai bunyi bug dan mualnya naik hingga ke pangkal tenggorokan.
"Malik, nggak boleh gitu ah. Anin nggak bau matahari."
"Bau."
"Malik."
Malik mengabaikan protes Oma dan meraih tab-nya kembali. Mulai sekarang sampai hari pernikahan mereka tiba nanti, Malik akan terus masuk mode waspada. Dia tidak akan membiarkan Anindya dan Oma membangun konspirasi lagi di belakangnya. Tidak mau dibuat pusing tanpa persiapan apa-apa.
"Anin bau banget?"
"Iya." Malik menjawab tanpa mengalihkan fokus dari layar tab.
Jadi, dia tidak tahu kalau Anindya baru saja mendapatkan ide cemerlang dari jawabannya barusan. Malik tidak melihat bibit-bibit senyum mulai tumbuh di bibir Anindya. Akan segera mekar merekah sempurna.
"Ya udah deh, Anin mau mandi."
Malik mengangguk santai. "Gih. Pulang sana."
"Di sini."
Damn.
Kepala Malik terangkat. Gerakannya lebih cepat daripada trik sulap hebat mana pun. Lebih cepat daripada satu kedipan mata. Saking tak habis pikirnya.
"Ngapain kamu mandi di sini? Kenapa nggak pulang aja?"
"Males, jauh."
Malik mulai naik darah. "Nggak masuk akal. Rumah kamu cuma di sebelah. Apa jauhnya?"
"Jauh," Anindya mengedik santai, "lebih dari lima langkah. Itu artinya jauh."
"Nggak, nggak. Pulang sana, sekalian ganti baju. Percuma mandi kalau bajumu nggak ganti."
Anindya bangkit dari sofa dengan percaya diri. Tak lama kemudian diikuti oleh Oma. Entah kapan mereka sempat berkomunikasi, Malik merasa sudah kecolongan karena mereka tampak kompak sekali.
"Anin bisa pinjam baju Mas Malik."
Sekonyong-konyong, gadis itu menggandeng Oma, lalu keduanya melangkah riang meninggalkan ruang keluarga. Tubuh mereka lenyap di balik pintu kamar Oma. Sementara Malik ditinggalkan gelisah menanti rencana apa yang akan disusun oleh dua manusia itu di dalam sana.
"God ... Saya tahu dosa saya banyak. Tapi balasannya jangan begini, dong. Saya pusing." Ujung-ujungnya Malik cuma bisa mengeluh sendiri.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
"Kamu yakin?" Oma bertanya dengan sorot mata khawatir dan nada gusar. Anindya baru saja mengutarakan rencananya. Sebuah ide yang didapat secara tiba-tiba ketika memancing Malik untuk pergi mandi. Ide yang masih masuk akal, tetapi cukup berisiko dan membuat Oma tak enak hati untuk melakukannya. Membuatnya merasa berdosa.
Lain halnya dengan Oma, Anindya sudah yakin sekali dengan idenya. Tidak ada yang lebih baik daripada yang satu ini.
"Ini satu-satunya cara yang masuk akal dan pasti berhasil, Oma."
"Tapi Oma nggak nyaman."
"Oma," Anindya meraih tangan Oma, berusaha meyakinkan. "Percaya aja sama Anin. Oma cukup kasih bantuan sedikit, biar Anin yang urus sisanya."
Dari gerak-geriknya, Oma masih belum berhasil diyakinkan. Wajahnya menyimpan begitu banyak kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. Tapi tekad Anindya sudah bulat. Rencananya harus dieksekusi sekarang juga. Karena kalau momentumnya lewat, akan menipis juga peluang berhasilnya.
"Sekali ini aja, Oma. Sekali ini aja percaya sama Anin."
Merasa tak punya pilihan, Oma akhirnya mengangguk pasrah.
"Nah, gitu dong. Pokoknya Oma tenang aja. Semuanya bakal oke dan kita nggak perlu pusing-pusing lagi ke depannya."
"Iya, Anin."
Anindya mengangkat tangannya sejajar dada, mengajak Oma tos. Disambut oleh wanita itu walaupun dengan semangat yang tidak penuh.
Kemudian, pada hitungan ke-sepuluh, Anindya akan memulai rencananya.
Bersambung.....