Aaron Dzaka Emir—si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 03 Bertemu Kembali
"Pipi lo lebam gini, pasti abis ciuman sama telapak tangan nih." Raffa masih memperhatikan lebam membiru di pipi kiri Dzaka. Mereka masih duduk manis di atas motor nunggu Tanvir yang belum keliatan.
“Ini pelipis lo kena gores apa? Ini juga kok lebam?” Raffa nggak berhenti menunjuk bekas lebam di wajah Dzaka.
Dzaka cuma diam dan menaikkan tudung hoodie-nya. Angin dingin menusuk kulitnya dan bikin tulang-tulangnya terasa ngilu.
"Argh!" erang Dzaka setelah Raffa mukul bahunya dengan keras. Rasa sakit itu bahkan menjalar ke seluruh tubuh dengan cepat. Dzaka reflek menjauh menghindar dari jangkauan tangan Raffa.
"Kenapa lagi sekarang?" tanya Raffa to the point yang nggak digubris Dzaka sama sekali.
Sekuat tenaga Dzaka menahan ringisannya biar nggak keluar lagi. Buku-buku jarinya sampai memutih saking kuatnya Dzaka mengepal tangan.
Dzaka mengalihkan perhatiannya dengan mengeluarkan ponsel dari kantong hoodie dan membuka aplikasi game offline terseru versi Dzaka—game cacing. Hal itu berhasil bikin Raffa menghela napas berat.
Raffa merampas ponsel Dzaka dan menyembunyikannya di balik tubuh tegapnya. "Jawab dulu pertanyaan gue. Lo kenapa babak belur gini?"
Dzaka akhirnya berdecak pelan. Inilah sisi Raffa yang baik sekaligus merepotkan. "Bukan apa-apa, Fa!" Dzaka menyempatkan diri mengembangkan senyuman tipis untuk meyakinkan Raffa.
“Ka—”
Sebuah mobil putih berhenti nggak jauh dari mereka. Sosok yang mereka tunggu akhirnya muncul. Dengan amat sangat terpaksa—tolong digaris bawahi—Raffa menghentikan interogasinya.
Dzaka nggak langsung mendekat. Kejadian kemarin melintas lagi di pikirannya. Kenapa Tanvir sampai menyembunyikan identitasnya di depan Dzaka?
"Tumbenan lo bawa mobil, Vir." Raffa mendekat ke arah mobil Tanvir. Tapi, dia dikejutkan dengan pintu mobil yang terbuka.
"Lo apa-apaan sih, Kak?! Gue gak bisa keluar, nih," kesal seorang gadis dari dalam mobil.
"Eh ada Beb Qeela. Jangan jutek-jutek gitu, Qee, nanti aku pergi kamu nangis." Raffa tersenyum geli melihat raut masam gadis itu.
"Bang Vir! Bilangin sama temen lo! Kalau cuma niat bikin baper gak usah dekat-dekat gue." Gadis itu akhirnya membuka paksa pintu mobil, lalu membantingnya sebelum meninggalkan Dzaka, Raffa dan Tanvir.
"Tuh udah denger sendiri, kan? Jadi gue gak perlu ngulang lagi." Tanvir segera melangkah meninggalkan parkiran disusul Dzaka dan Raffa.
Pemandangan pagi yang menyejukkan mata kaum hawa. Trio TDR yang tampan dan berprestasi. Tanvir si smart boy yang cool dan cuek—ketos Sky High School; Dzaka si smart and cool boy yang memiliki lesung di ujung lengkung senyumannya—cucu pemilik yayasan dan langganan juara olimpiade matematika; dan Raffa si smart boy yang ramah dan suka tebar pesona.
Bunyi notifikasi terdengar pelan, membuat Dzaka segera mengeluarkan ponselnya dari kantong hoodie.
Orang Itu
Pulang sekolah ke rumah saya.
Urusan kita kemarin belum selesai
07.10
Read
Dzaka menghela napas gusar. Baru aja hari ini dimulai, tapi dia udah dikasih beban pikiran baru. Meraba-raba rasa sakit kayak apa lagi yang bakal diterima nanti?
...----------------...
"Les sampai jam berapa, Ka? Gue mau main ke rumah lo." Raffa merangkul Dzaka hati-hati.
"Gue gak les. Ada urusan. Datang aja jam lima." Dzaka langsung menaiki motornya dan memasang helm. Dia melajukan motornya meninggalkan Raffa yang menatap kepergiannya dengan sendu.
Dzaka memelankan laju motornya, karena hampir sampai di tempat les. Hari ini dia izin nggak ikut les. Sebelum masalah makin besar, dia harus pergi ke rumah 'orang itu'.
Tapi, Dzaka melihat kerumunan nggak jauh dari tempat dia berdiri. Sayup-sayup omongan kasar dan penghinaan masuk ke pendengaran Dzaka. Suara gaduh terdengar makin jelas.
Seorang gadis meringkuk gemetar di hadapan gadis lain yang terus memaki bahkan menarik-narik seragam dan tas sekolahnya.
Dzaka mempercepat langkahnya dan berhasil sampai tepat sebelum gadis itu dipukuli. "Masih ada aja orang sok berkuasa di negara hukum ini," sarkas Dzaka menatap tajam pada gadis-gadis yang melakukan pem-bully-an.
Tatapan Dzaka semakin tajam liat sosok yang dikenalnya. Nggak cuma satu, tapi tiga sekaligus.
"B–Bang Dzaka. Syifa gak lakuin apa-apa, kok. Syifa cuma ikut-ikutan Syila ke sini," ujar gadis bernama Syifa—tetangga Dzaka
Gadis yang bernama Syila itu langsung membela diri, nggak terima tiba-tiba disalahkan gitu aja.
"Bukan Syila, kok. Lo kalau salah jangan suka melimpahkan kesalahan ke orang lain dong," sewot Syila.
Dzaka berbalik melihat gadis yang tengah menangis dalam diam. Dia nggak enak menginterupsi tangis seseorang. Tapi, Dzaka harus buru-buru. Jadi dia narik tali tas gadis itu pelan. Dia bisa liat perubahan drastis raut wajah gadis itu. Ternyata nggak cuma Dzaka yang suka pakai topeng.
Mata mereka nggak sengaja beradu, bikin Dzaka terperanjat kaget, begitu pula gadis itu. "Ka–kamu yang semalam, kan?" tanyanya memastikan. Dzaka membalas dengan anggukan singkat, bikin gadis itu tiba-tiba tersenyum.
"Terima kasih sudah menyelamatkan aku lagi," ujarnya tulus memunculkan desiran aneh di hati Dzaka.
Dzaka memalingkan wajahnya dan kembali berdiri. "Gue anter pulang!" tegas Dzaka sambil melangkah kembali ke tempat les untuk mengambil motor di parkiran.
Gadis itu mengikuti langkah Dzaka dengan pelan, karena kakinya masih gemetar akibat rasa takut yang menghampirinya beberapa waktu lalu.
"Pegangan di tas aja," saran Dzaka setelah ngeliat gadis itu kebingungan. Setelahnya Dzaka melajukan motornya meninggalkan tempat les dan mengikuti arus kendaraan di jalanan.
Nggak ada yang pembicaraan sama sekali. Sampai … Dzaka merasakan kepala gadis itu bersandar di bahunya. Meski nggak terdengar jelas, tapi Dzaka yakin mendengar isak tangis.
Dzaka menghentikan motornya di depan rumah dua lantai berwarna krim dengan pagar hitam. Matanya juga bergulir ke arah taman yang udah kehilangan warnanya. Ternyata waktu udah berlalu cukup jauh, ya.
"Loh, kok kamu tau rumahku?" tanya gadis itu memicing tajam.
"Rumah sahabat gue," gumam Dzaka pelan, tapi bisa didengar dengan jelas oleh gadis di depannya.
"Sahabat? Kamu sahabatnya Bang Tanvir?" tanya gadis itu dengan ekspresi kaget. Mata bulatnya membola.
Dzaka mengangguk pelan. Ternyata benar dugaan dia kemarin. Adiknya Tanvir udah balik. Tapi … kenapa Tanvir sampai menyembunyikan ini dari dia dan Raffa? Helaan napas kecewa terdengar jelas.
"Gue Dzaka. Sahabatnya Tanvir di Sky High School." Dzaka memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.
"A–aku Ziya, Ziyadah Afra. A–aku adiknya Bang Tanvir." Ziya balas memperkenalkan dirinya. Tapi, kegelisahan di matanya nggak bisa dia sembunyikan.
"Bang Dzaka .... Ziya boleh minta tolong gak?" Dzaka berdehem pelan sebagai jawaban.
"Jangan bilang-bilang Bang Tanvir, ya, kalau Bang Dzaka udah kenal Ziya. Bang Tanvir punya alasan kenapa dia menyembunyikan semua ini. Jadi, Ziya mohon, ya, Bang Dzaka." Gadis itu menatap Dzaka dengan mata bulat yang mulai berlinang.
Akhirnya Dzaka mengangguk singkat, tapi cukup buat bikin gadis itu menghela napas lega. Mungkin Dzaka emang harus nunggu. Sampai Tanvir sendiri yang menjelaskan semuanya.
Dzaka menyalakan mesin motornya kembali, karena dia udah terlalu lama di sini.
"Bang Dzaka!" panggil Ziya sebelum Dzaka benar-benar pergi.
Gadis itu menunduk dalam. "Soal yang tadi, makasih ya, Bang. Soal yang semalam juga makasih. Eh sikunya Bang Dzaka gimana?"
Dzaka memperhatikan wajah Ziya yang mendadak panik teringat akan luka di siku Dzaka semalam. "Udah gue obati kok. Kalau gitu, gue pergi dulu."
Motor Dzaka melaju meninggalkan Ziya yang masih berdiri memperhatikan kepergiannya. "Terima kasih, Bang Dzaka," lirih gadis itu sebelum memasuki pelataran rumahnya.
Dzaka tersenyum miris mengingat ucapan dari gadis yang merupakan adik dari sahabat baiknya. "Apapun alasannya, bukannya ini keterlaluan, ya?”
masa rasanya kayak ditinggal ribuan tahun😤😁
ak mampir ya 😊
awas kalo lama😤😤
sering-sering update ya kak😁✨