NovelToon NovelToon
Sang Pahlawan Dengan Sistem

Sang Pahlawan Dengan Sistem

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Anak Genius / Perperangan / Penyelamat
Popularitas:734
Nilai: 5
Nama Author: DARK & LIGHT

Di tengah hiruk pikuk Akademi Cyberland, Leon Watkins, seorang jenius dengan kekuatan "Dream" yang memungkinkannya memanipulasi mimpi dan kenyataan, justru merasa bosan setengah mati. Kehidupannya yang monoton mendadak terusik ketika ia dan teman sebayanya, Axel Maxx yang flamboyan, secara tak terduga ditarik ke dalam sebuah misi rahasia oleh sosok misterius. Mereka harus menembus "Gerbang Sejati," sebuah portal menuju dimensi yang mengerikan dan mengancam dunia. Petualangan yang akan mengubah segalanya, dan menyingkap takdir yang jauh lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan, baru saja dimulai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DARK & LIGHT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9: Pamit Rahasia & Gerbang Neraka

Setelah kekacauan di Distrik 7 mereda, dan kota mulai membereskan puing-puing, Leon, Axel, dan para Pembangkit lain berkumpul di area evakuasi, kelelahan terpancar jelas di wajah mereka. Di tengah kerumunan, Leon melihat Elara Varen sedang berbicara dengan beberapa petugas medis, rambut peraknya berkilau di bawah lampu darurat. Ada tarikan aneh yang membuat kakinya melangkah mendekat.

"Kerja bagus tadi," ucap Leon, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya, saat ia menghampiri Elara.

Elara menoleh, mata birunya menatap Leon dengan sorot cerdas. Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Kau juga. Ilusimu sangat efektif. Aku belum pernah melihat seseorang mengendalikan sistem 'Dream' sepertimu."

Leon merasakan sedikit gejolak kebanggaan yang jarang ia tunjukkan. "Kau juga tidak buruk dengan panah-panahmu itu. Elara, kan? Apa kau tahu tentang ancaman sebenarnya di balik Gate?" Ia memelankan suaranya, mencoba memastikan hanya Elara yang bisa mendengarnya.

Elara menghela napas, ekspresinya berubah serius. "Aku tahu lebih dari yang kukira. Ada sesuatu yang jauh lebih besar di luar sana, dan Gate ini hanyalah awal." Matanya sedikit redup. "Kurasa kita semua akan segera menghadapi kebenatan yang jauh lebih mengerikan."

Tiba-tiba, Axel muncul di samping Leon, terengah-engah dan menyeringai jail. "Wah, wah, wah... lihat siapa ini? Si jenius yang tak peduli akhirnya tertarik pada seseorang, ya?" Axel melirik Elara dengan senyum menggoda. "Jangan ganggu gadis cantik, Leon. Dia butuh istirahat setelah menyelamatkan banyak orang."

Wajah Leon sedikit memerah, ekspresi langka yang tak luput dari penglihatan Elara dan Axel. "Diam, Gendut," gerutunya, sedikit jengkel karena digoda.

Elara tertawa kecil, suara tawanya jernih seperti lonceng. "Tidak apa-apa, Tuan Maxx. Senang bertemu denganmu juga." Ia menatap Leon lagi, senyumnya semakin lebar. "Aku harap kita bisa bekerja sama lagi di masa depan, Leon Watkins. Mungkin di misi yang tidak terlalu kacau?"

"Tentu saja," jawab Leon, senyum tipis kembali ke bibirnya. Ia merasakan gelombang energi baru, perpaduan antara kegembiraan akan tantangan dan sesuatu yang lain, sesuatu yang baru dan belum ia pahami sepenuhnya.

Setelah itu, mereka berpisah. Leon dan Axel kembali ke Akademi dengan langkah gontai. Kelelahan fisik masih terasa, namun yang lebih berat adalah beban mental dari pengungkapan dan pertemuan yang baru saja mereka alami. Mereka berdua tahu, tidak ada waktu lagi untuk menunda. Gerbang Sejati menanti, dan setiap detik yang terbuang hanya akan memperbesar ancaman yang datang dari "Neraka".

Axel melangkah ke asramanya, mendapati kamarnya masih berantakan sisa-sisa persiapan yang terburu-buru tadi pagi. Ia menghela napas panjang. Pamitan dengan keluarganya adalah bagian terberat. Tuan Muda Guild Maxx, putra kebanggaan, sekarang akan melangkah ke dalam jurang yang tak diketahui, dan ia tak bisa menjelaskan alasannya.

Sore itu, Axel mengunjungi kediaman keluarganya yang megah di pusat Cyberland City. Rumah itu dipenuhi tawa dan percakapan ringan, kontras tajam dengan bayangan kegelapan yang menghantui pikirannya. Ayahnya, seorang pria paruh baya yang kokoh dengan aura kepemimpinan yang kuat, sedang membaca laporan guild di ruang kerjanya. Ibunya, seorang wanita anggun dengan senyum hangat, sibuk mengatur jamuan makan malam.

"Axel, nak, kenapa kau kemari mendadak?" tanya sang Ibu, matanya memancarkan kasih sayang. "Kau tampak lelah."

Axel memaksakan senyum. "Hanya ingin mampir, Bu. Aku akan pergi untuk misi jangka panjang besok pagi." Ia berusaha menjaga suaranya tetap normal, namun ia bisa merasakan ketegangan di balik senyumnya sendiri.

Ayahnya meletakkan laporannya. "Misi? Misi apa yang begitu mendesak sampai kau harus pergi secepat ini?" Tatapan mata ayahnya tajam, mencoba membaca putranya.

"Misi eksplorasi," jawab Axel, berbohong semulus mungkin. "Guild menemukan beberapa anomali energi di luar zona aman. Mungkin Gate baru. Ini rahasia, Ayah. Informasinya masih terbatas, dan kami harus menjaga kerahasiaannya agar tidak menimbulkan kepanikan."

Sang Ayah mengangguk perlahan. "Begitu. Hati-hati, nak. Jangan gegabah. Ingat, kau adalah masa depan Guild Maxx." Ada nada bangga dalam suaranya, namun juga kekhawatiran.

Axel memeluk ibunya erat-erat, menghirup aroma lembut parfumnya, berusaha mengingat setiap detail momen itu. "Aku akan kembali, Bu," bisiknya, suaranya sedikit bergetar. Sebuah janji yang ia sendiri tidak yakin bisa tepati. Ia berpamitan dengan anggota keluarga lainnya, mencoba bersikap seceria mungkin, seolah ini hanya misi biasa. Namun, setiap senyum yang ia berikan terasa hampa.

Sementara itu, Leon memilih jalan yang berbeda. Ia tidak memiliki keluarga dekat di Cyberland. Orang tuanya telah meninggal dalam bencana apokaliptik awal, dan ia dibesarkan di panti asuhan akademi sebelum "Awakening" dan masuk ke program elit. Satu-satunya sosok yang bisa ia anggap sebagai "keluarga" adalah Instruktur Xu, figur yang ia sering buat jengkel.

Leon tahu, Instruktur Xu tidak akan pernah mengizinkannya pergi jika ia tahu tujuannya. Jadi, ia memutuskan untuk pamit dengan caranya sendiri: meninggalkan catatan singkat di mejanya.

Malam itu, di tengah keheningan asrama, Leon duduk di mejanya. Ia menulis, "Instruktur Xu, saya pergi untuk misi yang sangat penting. Jangan khawatir, saya akan kembali. Mungkin butuh waktu lama. Jangan coba mencari saya. Tetaplah membuat para murid itu bosan dengan pelajaranmu yang membosankan." Ia menyeringai saat menulis kalimat terakhir itu. Di bawahnya, ia menambahkan sebuah postscript: "Terima kasih untuk semuanya. Meskipun Anda menyebalkan, Anda adalah satu-satunya yang bertahan menghadapi saya."

Ia tahu Instruktur Xu akan murka, namun ia juga tahu bahwa pria tua itu akan mengerti, dengan caranya sendiri. Ada ikatan aneh di antara mereka, ikatan yang dibangun di atas pertengkaran dan rasa hormat yang tak terucap. Setelah meletakkan catatan itu, Leon mengemasi tas kecilnya. Ia tidak membawa banyak barang, hanya perlengkapan esensial dan beberapa kristal energi cadangan.

Kekuatannya ada dalam dirinya, dalam sistem "Dream" yang kini terasa lebih kuat dan responsif dari sebelumnya.

Fajar menyingsing di atas Cyberland, memancarkan cahaya keemasan yang menembus celah-celah gedung tinggi. Di belakang akademi, di tempat yang sama mereka bertemu setelah raid Red Spider Queen, Leon dan Axel berdiri. Udara dingin pagi menusuk kulit, namun ketegangan di antara mereka lebih menusuk daripada hawa dingin.

"Semua siap?" tanya Leon, suaranya tenang.

Axel mengangguk. Wajahnya sedikit pucat, dan matanya menunjukkan kurang tidur. "Ya. Bagaimana denganmu? Apa kau yakin tidak ingin membawa sesuatu yang lebih berat? Senjata fisik, atau setidaknya pelindung yang lebih baik?"

Leon menggeleng. "Tidak perlu. Berat akan menghambat. Aku lebih mengandalkan 'Dream' dan kecepatan." Ia menggerakkan jari-jarinya, dan aura biru samar berdenyut di sekelilingnya.

Mereka mulai berjalan menuju Gerbang Sejati. Setiap langkah terasa berat, seolah mereka menyeret beban tak terlihat. Pepohonan di pinggir kota terasa lebih tinggi, dan reruntuhan bangunan tampak lebih menakutkan dari sebelumnya. Matahari mulai naik, memancarkan sinarnya pada lanskap yang rusak, namun kegelapan yang menanti mereka jauh di depan terasa lebih pekat.

Akhirnya, mereka tiba di situs Gate yang hancur.

Gerbang normal yang dulu mereka lewati kini telah berubah total. Retakan dimensi berwarna ungu gelap telah hilang, digantikan oleh pemandangan yang jauh lebih mengerikan. Di antara dua bangunan yang runtuh, menganga sebuah celah dimensi raksasa yang berdenyut merah menyala, seperti luka menganga di angkasa. Dari dalamnya, mereka bisa mendengar suara-suara yang tak terlukiskan: jeritan, raungan jauh, dan dentuman yang mengguncang tanah. Aroma belerang dan darah tercium kuat, menusuk hidung.

Ini adalah Gerbang Sejati. Pemandangan yang mereka lihat di hologram, kini terpampang nyata di depan mata mereka. Lanskap di balik gerbang itu tampak seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan: langit yang terus-menerus merah pekat, bangunan-bangunan yang hancur tak karuan, dan siluet bayangan makhluk-makhluk kolosal yang bergerak di kejauhan, ukurannya membuat Red Spider Queen tampak seperti mainan.

Axel menelan ludah, tenggorokannya tercekat. Tangannya gemetar saat ia menyentuh kalung di lehernya, azimat keberuntungan pemberian ibunya. Ketakutan yang ia rasakan di Gate Break Distrik 7 tidak seberapa dibandingkan dengan kengerian murni yang kini merayapi setiap serat tubuhnya.

"Astaga..." bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Ini... ini benar-benar Neraka."

Leon berdiri di samping Axel, ekspresinya sulit dibaca. Kegugupan, ya, ada sedikit dari itu. Sensasi dingin di perutnya, tanda dari naluri bertahan hidup yang mulai bekerja.

Namun, di baliknya, ada tekad baja yang luar biasa, dan yang lebih menonjol, sebuah eksitasi yang mendalam. Dia melihat Gerbang ini bukan sebagai akhir, melainkan sebagai awal. Awal dari tantangan terbesar dalam hidupnya, kesempatan untuk menguji batas kekuatannya sampai titik puncaknya.

Ia melirik Axel, yang tampak siap muntah. "Kau siap, Gendut?" tanyanya, suaranya lembut, tanpa ejekan yang biasa.

Axel memejamkan mata sesaat, lalu membukanya, matanya yang biasanya ceria kini dipenuhi tekad yang rapuh. Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku... aku tidak yakin aku siap. Tapi... aku akan pergi bersamamu." Ia melirik kembali ke arah Cyberland, membayangkan kota itu dilahap oleh kengerian di balik Gerbang. "Demi kita... demi semuanya."

Leon mengangguk. "Itulah semangatnya." Ia melangkah maju, kakinya tak goyah, mendekati denyutan merah dari Gerbang Sejati. Udara di dekatnya terasa panas dan berdenyut, seolah mereka berdiri di dekat bara api raksasa.

Axel mengikuti, langkahnya ragu, namun mantap. Ia tahu ini adalah keputusan paling gila yang pernah ia buat, tapi ia juga tahu, ia tidak bisa membiarkan Leon pergi sendiri. Entah karena rasa tanggung jawab, atau karena ikatan aneh yang telah terbentuk di antara mereka.

Di ambang pintu menuju kengerian, dengan tekad yang bercampur aduk antara ketakutan dan keberanian yang baru ditemukan, dua pahlawan yang tidak konvensional ini siap melangkah maju. Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka di balik Gerbang Neraka itu, atau apakah mereka akan kembali. Namun, satu hal yang pasti: pertempuran sesungguhnya baru akan dimulai.

1
iqbal nasution
oke
DARK & LIGHT: thank udah mampir bg
total 1 replies
DARK & LIGHT
MC anti naif
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!