NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:936
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Evolusi Cinta yang Sakit

Mentari pagi tak mengusik Azey dari kesibukannya. Alih-alih mengantar Taeri ke kampus, ia meluncur ke markas yang tersembunyi di balik gemerlap kota. Begitu memasuki ruang kerjanya yang remang, dihiasi lukisan-lukisan gelap bernilai tinggi, Leonardo sudah berdiri tegak, memberi hormat.

"Selamat siang, Tuan," sapa Leonardo dengan nada hormat namun terkendali.

Azey mengabaikan sapaan itu. "Ada apa sampai kau memanggilku kemari, Leo?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Leonardo, cekatan seperti biasanya, membuka laptop dan memproyeksikan gambar ke layar besar di dinding. "Seperti yang Anda lihat, Tuan, dua puluh kontainer baru saja masuk ke pelabuhan selatan," jelasnya. Gambar drone pelacak menunjukkan aktivitas mencurigakan di pelabuhan. "Tim kami mengidentifikasi mereka sebagai anak buah Giovani. Mereka tampaknya mendapat dukungan dari orang dalam di pelabuhan."

Gambar berikutnya memperjelas situasi: sekelompok pria sibuk memindahkan narkoba ke dalam kontainer. Azey mengamati setiap detail dengan tatapan setajam elang.

"Giovani rupanya belum kapok setelah kita hancurkan kediamannya," desis Azey. "Tapi kali ini, dia bermain terlalu jauh. Mafia pelabuhan tidak akan mampu melindunginya." Nada suaranya rendah, namun sarat akan ancaman. Rencana pembalasan mulai terbentuk di benaknya.

Tanpa ragu, Azey menarik setumpuk berkas tebal dari laci mejanya dan melemparkannya ke meja dengan kasar. "Ambil ini, Leo. Semua data kejahatan yang melibatkan mafia pelabuhan ada di sini. Aku ingin kau bernegosiasi dengan mereka. Pastikan jalur pasokan narkoba dari Roma, yang bukan milik kita, ditutup," perintahnya dingin, matanya tak lepas dari layar.

Leonardo mengangkat alis, penasaran. Ia mengambil berkas itu dan bertanya hati-hati, "Tuan, mengapa kita harus bernegosiasi? Bukankah lebih cepat jika kita hancurkan saja mereka?"

Azey menoleh perlahan, menatap Leonardo dengan tatapan menusuk. "Kita butuh mereka untuk meredam isu kriminal di mata publik," jawabnya datar namun penuh perhitungan. "Selama organisasi kecil itu masih ada, orang akan terus menganggap mereka sebagai penyebab kekacauan. Itu salah satu alasan mengapa Blood Eagle tetap tak tersentuh."

Leonardo tertegun, mengagumi strategi rumit tuannya yang seringkali berada di luar jangkauannya. "Saya mengerti, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucapnya seraya membungkuk dan undur diri.

Setelah Leonardo pergi, Azey duduk kembali, pandangannya kosong ke arah pintu. "Apa yang sedang dilakukan gadis kecil itu sekarang?" gumamnya pelan. Bayangan Taeri tiba-tiba muncul di benaknya, membuatnya merasa rindu dan ingin memeluknya, namun entah mengapa juga merasa kesal.

Di mansion yang megah, Taeri baru saja selesai memanjakan diri dengan ritual perawatan kecantikan. Wajahnya kini memancarkan kebahagiaan yang sempat redup sejak kehadiran Azey. Dengan langkah ringan, ia menuruni tangga, tampil menawan dalam balutan hotpants denim dan jaket tebal yang melindunginya dari dinginnya musim salju Roma.

Di depan pintu utama, ia berhenti dan menatap Pricilla dengan senyum cerah. "Pici, mobilnya sudah siap? Kita berangkat sekarang, ya? Aku sudah tidak sabar ingin menikmati salju," ujarnya dengan nada riang.

Pricilla mengangguk lembut. "Sudah siap, Nona. Mobil sudah menunggu di depan," jawabnya dengan sopan.

Taeri tertawa kecil dan menepuk bahu Pricilla dengan sayang. "Bagus! Ayo kita pergi. Aku ingin sekali jalan-jalan bersamamu," ajaknya dengan penuh semangat.

Namun, Pricilla tampak ragu. Dengan suara pelan, ia mencoba menolak dengan halus, "Maaf, Nona, tapi hari ini penampilan saya kurang baik. Saya takut membuat Nona tidak nyaman. Mungkin lain kali saja?"

Taeri memahami keraguan pelayannya. Ia meraih tangan Pricilla dan menggenggamnya dengan lembut. "Pici, jangan khawatir. Kamu selalu terlihat cantik setiap harinya. Aku ingin kamu ikut karena aku ingin ditemani," ucapnya tulus, berusaha meyakinkan Pricilla.

Ia melanjutkan dengan nada ceria, "Nanti kita beli baju baru untukmu, ya? Biar kamu semakin cantik! Bagaimana?"

Mata Pricilla berkaca-kaca, terharu dengan perhatian majikannya. Ia tersenyum tulus dan mengangguk pelan, menerima ajakan Taeri dengan perasaan lega. "Baiklah, Nona. Saya ikut saja," jawabnya dengan suara bergetar.

Taeri menepuk lengan Pricilla sekali lagi dengan gembira, lalu bergegas menuju Rolls Royce yang sudah siap. Pricilla mengikutinya dari belakang, senyumnya kini merekah tanpa keraguan.

Setelah setengah jam berkeliling, Taeri masih belum bisa memutuskan tujuan. Wajahnya tampak linglung, matanya menatap jalanan yang berlalu di balik jendela mobil. Ia menoleh ke arah Pricilla dan bertanya dengan nada antusias yang dibuat-buat, "Pici, menurutmu kita ke mana dulu, ya? Mal? Restoran? Taman? Atau langsung terjun ke arena seluncur es?"

Pricilla menghela napas dalam hati, berusaha mencari jawaban yang tepat agar tidak mengecewakan Nona mudanya. Ia memilih berhati-hati. "Bagaimana kalau kita ke arena seluncur es dulu saja, Nona? Bukankah tadi Nona bilang ingin merasakan musim salju?"

Taeri terdiam sejenak, lalu senyum lebarnya kembali merekah. "Betul juga! Untung ada kamu, Pici. Kalau tidak, aku pasti sudah nyasar di antah berantah," ucapnya ceria. Ia langsung membuka kamera ponselnya, mengamati pantulan wajahnya di layar, lalu berbisik kecil, "Sempurna. Tetap memesona meski tanpa polesan contour."

Pricilla tersenyum tulus. Melihat Taeri mulai menikmati hidup, berbeda dari beberapa minggu terakhir, membuat hatinya lega. Namun, ekspresinya tiba-tiba berubah serius saat teringat akan sang Tuan. Ia memberanikan diri bertanya, "Nona, maaf kalau saya lancang, tapi... Apa Nona sudah memberi tahu Tuan kalau hari ini keluar dari mansion?"

Taeri terdiam, tatapannya menerawang jauh. Ia bergumam pelan, "Memangnya harus, ya?" Ia memang bukan tipe orang yang suka meminta izin. Apalagi ini pertama kalinya ia pergi tanpa Azey sejak tinggal bersama pria itu. Rasanya seperti bolos sekolah.

Pricilla menghela napas. Dengan suara lembut namun tegas, ia mencoba memberi pengertian, "Nona tahu sendiri bagaimana Tuan Azey. Saya takut kalau tiba-tiba tahu Nona pergi tanpa izin, saya yang jadi sasaran empuk. Bisa-bisa langsung dipecat jadi gelandangan." Ia sengaja tidak mengatakan kalau Taeri yang akan mendapat hukuman, agar gadis itu tidak merasa tertekan.

Taeri mengangguk lesu, lalu dengan malas mengikuti saran Pricilla. Ia membuka daftar kontak, mencari nama 'Serigala Mesum' dan menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar, lalu suara datar Azey menyapa, "Kenapa menelepon, Sayang? Apa kau mulai merindukanku?"

Taeri memejamkan mata, membayangkan mencekik pria itu. Dengan suara sedingin es, ia menjawab, "Jangan kegeeran. Aku hanya ingin memberitahu kalau aku sedang jalan-jalan dengan Pricilla."

Hening sejenak. Seperti ada seseorang yang sedang menahan emosi di seberang sana. Lalu, Azey menjawab dengan nada yang sedikit lebih lembut, "Baiklah, Sayang. Hati-hati di jalan. Jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku."

Taeri buru-buru memutuskan panggilan, meletakkan ponsel di pangkuannya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, bercampur antara perasaan aneh dan tidak percaya bahwa Azey bisa berbicara selembut itu. "Awas saja kalau nanti dia marah-marah," gumamnya dalam hati.

Tak butuh waktu lama, mobil mewah yang ditumpangi Taeri meluncur mulus ke parkiran arena ice skating. Begitu sopir membuka pintu, gadis itu melompat keluar dengan gaya diva, diikuti oleh pelayannya yang setia, Pricilla.

Taeri memandangi bangunan besar itu dengan ekspresi kagum yang setengah sinis. “Lumayan juga, ya. Kupikir tempatnya bakal kayak lapangan badminton yang dikasih es batu. Ternyata luas juga,” komentarnya sambil melirik ke dalam.

“Ayo, Pici! Kita masuk sekarang. Aku udah nggak sabar mau meluncur kayak Elsa!” serunya penuh semangat, menarik tangan Pricilla.

Begitu masuk, semangat Taeri langsung menguap. Ia menatap rak sepatu skating dengan ekspresi kecewa seperti anak kecil yang gagal dapat mainan. “Pici, kok nggak ada warna pink sih?” keluhnya sambil mengangkat sepatu hitam kusam. “Gelap semua! Mood-ku langsung drop.”

Pricilla tersenyum geli, mengusap lengan Taeri yang mulai cemberut. “Tenang, Nona. Sepatu pink impian Nona sebentar lagi akan datang.”

Taeri mengernyit, menatap Pricilla seolah pelayannya itu baru saja mengaku alien. “Kamu ngomong apa sih, Pici? Mana ada orang gila yang rela bawain kita sepatu pink ke sini?”

Pricilla hanya tertawa kecil, lalu menatap Taeri dengan senyum misterius. “Saya serius, Nona. Tunggu sebentar lagi, sepatu pink itu pasti muncul.”

Taeri mendesah panjang, semangat skating-nya sudah lenyap ditelan kekecewaan. “Mending kita pindah tempat aja deh. Masa arena segede ini nggak punya sepatu pink? Gimana sih manajemennya?” sindirnya sambil melirik tajam ke arah general manager yang langsung memasang muka bersalah.

Namun Pricilla tetap tenang. Ia menoleh ke arah pintu masuk dan berkata, “Nona yakin mau pulang sekarang? Coba lihat dulu siapa yang datang.”

Taeri menoleh malas. Tapi begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, matanya langsung membelalak. Mulutnya menganga.

“Ke... kenapa pria gila itu ada di sini?” gumamnya tak percaya. Di hadapannya berdiri pria yang selalu memeluknya saat tidur, dengan sepatu pink di tangan.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!