Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simbiosis mutualisme
Arina meraih segelas teh hangat yang baru saja disuguhkan asisten rumah Naren. Ia sedikit gugup dan untuk pertama kalinya memikirkan kosa kata sebelum berbicara. Takut kalau saja ucapannya sedikit kurang ajar padahal dia tidak berniat seperti itu.
Arina meremas pelan gelas yang terasa hangat di tangannya tersebut. Sesekali melirik Naren, sepertinya menunggu ia bicara.
"Aku merasa gugup," ucap Arina pelan.
"Sepertinya kamu datang karena hal yang sangat penting," balas Naren.
"Iya." Mengangguk ragu. "Tujuanku datang untuk meminta tolong tapi aku berubah pikiran setelah melihat apa yang terjadi pada mas Naren. Lagi pula aku nggak yakin mas Naren mau menolongku."
Naren tampak mengerutkan keningnya, jelas bingung dan penasaran apa yang sebenarnya ingin Arina bicarakan. Mereka tidak begitu dekat tapi wanita itu datang bertamu di rumahnya, sesuatu dengan pertanyaan besar di benaknya.
"Aku bukannya mau ikut campur sama urusan keluarga mas Naren, tapi aku nggak sengaja melihat seseorang mengacak-acak rumah mas Naren saat akan mampir." Arina menjeda sebentar, kembali menatap Naren yang sama sekali tidak bereaksi akan ucapannya.
"Aku bisa membantu mas Naren, tapi mas juga harus membantuku. Berapapun itu aku bisa memberikannya."
"Simbiosis mutualisme?" tanya Naren memastikan.
"Benar." Arina mengangguk cepat. "Nggak ada yang dirugikan dalam hal ini."
"Tapi pinjaman ayahku nggak sesedikit yang kamu bayangkan Arina."
"Aku yakin pinjaman ayah mas Naren nggak ada apa-apanya dibandingkan keutungan yang aku dapatkan saat menikah dengan mas Naren."
Uhuk
Naren tersedak air liurnya sendiri, Arina benar-benar manusia yang sering kali mengagetkan saat mengatakan sesuatu.
"Jadi pertolongan yang kamu maksud adalah menikah?"
"Iya." Arina mengangguk. "Aku harus menyelamatkan harta orang tuaku dengan cara menikah."
"Dari banyaknya pria di luar sana, kenapa harus aku Arina?"
"Karena hanya mas yang memenuhi syarat. Maukan mas?" Arina memastikan.
"Maaf Arina tapi aku nggak bisa jika menyangkut pernikahan. Mungkin kamu bisa mencari orang lain."
"Aku mengerti Mas. Tapi aku akan menunggu satu minggu, hubungi aku kalau mas Naren berubah."
Arina meninggalkan kediaman orang tua Naren dengan perasaan kecewa padahal dia sudah menebak sejak awal Naren tidak akan menerima permintaan konyolnya.
Wanita itu pulang ke rumah dan mendapati karangan bunga yang semula berjejer di lingkungan rumahnya sudah tidak ada. Ia berlari memasuki rumah dan yap air mata yang sejak tadi ia tahan kini berjatuhan ketika tidak menemukan foto keluarganya di ruangan yang sangat luas itu.
Bahkan segala hal yang bersangkutan dengan ayah dan ibunya hampir tidak ada lagi di ruangan manapun.
"Siapa yang memindahkannya?" tanya Arina dengan suara bergetar.
"Sa-saya Bu, tapi saya dan yang lain mendapatkan perintah dari pak Bram."
"Kenapa mempermasalahkan hal kecil seperti itu sih Nak. Orang tuamu sudah tiada jadi sudah seharusnya barang-barang mereka ...."
"Ini rumah aku, siapapun nggak berharap mengatur isi rumah termasuk om Bram sekalipun!" bentak Arina.
"Ini rumah om juga, kamu lupa bahwa selama kamu belum menikah kamu belum memiliki semuanya. Ini demi kebaikan kamu juga. Dengan semua barang orang tuamu sudah nggak ada, kamu nggak akan mengingatnya."
Dada Arina bergemuruh hebat, tangannya mengepal sampai urat-urat halus di tangannya sedikit menonjol. Atensinya beralih pada beberapa pelayan yang membawa barang dibungkus sangat rapi dan cukup besar.
Tanpa banyak bertanya Arina merobek bungkusan itu hingga memperlihatkan sebuah foto keluarga. Namun, bukan foto keluarganya melainkan milik om Bram.
"Jika sampai bingkai foto itu terpajang di sudut rumah ini maka jangan salahkan aku jika membakarnya!" ucap Arina dan berlalu pergi.
Sesampainya di kamar, ia duduk di bibir ranjang sambil meremas selimut yang tertata rapi. Bahkan menangis saja tidak mampu meredakan amarahnya kali ini.
"Kenapa kalian pergi secara tiba-tiba? Arina nggak tahu harus melakukan apa. Rumah ini nggak lagi hangat sejak ayah dan ibu pergi," lirihnya dengan air mata terus berjatuhan.
...
Satu minggu yang Naren janjikan pada rentenir ayahnya sudah tiba, bahkan sudah lewat dua hari tetapi ia tidak kunjung mendapatkan pinjaman. Dua mobil yang ada di rumah sudah ia pasarkan tetapi belum laku sampai saat ini.
Naren bergerak gelisah, jangan sampai rentenir itu datang lagi dan mengacaukan rumah orang tuanya.
"Ayah-ayah ada orang jahat merusak tanaman nenek di depan!" teriak Naresa yang menghampiri Naren.
Naren baru saja mandi setelah sift malam dan kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Mereka ke rumah sakit untuk kontrol.
"Hancurkan semuanya! Dan seret semua penghuni rumah!" teriak pria berbadan besar.
Para anggotanya pun mulai merusak barang, membuat Seren dan Darian ketakutan dan menangis sejadi-jadinya.
"Berhenti merusak apapun!" cegah Naren memeluk anak-anaknya yang ketakutan. Dia meminta mbok untuk membawa ke kamar agar tidak menyaksikan apapun.
"Ini sudah telat dua hari dari pejanjian kita!"
"Beri saya waktu sebentar lagi, mobil saya belum terjual dan saya belum ...."
"Mobil? Waktu? Persetan dengan semua alasan, kosongkan rumah ini sekarang juga!"
Para pria berbadan besar masuk ke rumah Naren dan hendak mengangkat tv juga sofa.
"Tunggu, saya akan membayarnya sekarang!" cegah Naren saat teringat pada Arina.
Pria itu langsung menghubungi Arina, beruntungnya dijawab sangat cepat.
"Aku menerima tawaranmu, jadi tolong aku Arina. Sekarang rentenir ada di rumahku," ucap Naren.
"Berikan ponselmu pada rentenir itu."
Naren pun segera memberikan ponselnya pada rentenir, lama mereka berbicara sampai akhirnya Naren mendapatkan kembali ponselnya.
"Urusan kita selesai," ujar pria bertubuh besar tersebut. "Tinggalkan rumah ini, kita nggak punya urusan lagi dengan mereka!" teriak.
Lutut Naren pun melemas, ia terjatuh pada tanah bekas tumpahan pot bunga. Hari ini dia mengambil keputusan secara mendadak tanpa memikirkan resiko kedepannya.
Padahal beberapa hari lalu dia baru saja menolak ajakan Shanaya untuk menikah dengan alasan masih ingin sendiri. Lalu apa sekarang? Dia akan menikahi sahabat wanita itu?
"Naren siapa orang-orang yang aku temui di depan? Semua ini ulah mereka?" tanya Shanaya dengan raut wajah kebingungan. "Kamu punya masalah?"
"Hm, tapi semuanya sudah selesai." Naren tersenyum pada Shanaya.
"Syukurlah," gumam Shanaya.
Naren langsung bangkit kemudian memeluk Shanaya erat. "Maaf Nay," lirihnya.
"Iya aku maafin Ren. Aku juga nggak bisa maksa kamu harus menikah sekarang," balas Shanaya membalas pelukan Naren. "Yang penting kamu nggak menyuruhku menyerah."
"Hari ini aku memintamu menyerah Shanaya, jangan menungguku lagi dan cari seseorang yang bisa membuatmu bahagia. Aku bukan orang itu."
.
.
.
.
.
Flashback selesai ya, bab selanjutnya kita kembali ke masa sekarang🥰
nyesel senyesel nyeselnya ga tuh Nadira membuang naren .jarang" ada suami seperti naren di dunia nyata
arina sekarang udah jadi istri yang sesungguhnya
semoga kalian bahagia..
terimakasih ka susanti babnya panjangaaaaang banget
aku suka aku sukaaaaaa😍
kenapa sekarang pelit banget seh up nya,,
ayolah mas Naren bilang kalo tante Arina sekarang istri Ayah
jadi kalian juga boleh memanggil Tante Arin mama atau ibu atau bunda wes karepe kalian senyaman nya kalian aja lah
masa cuma satu bab doang,,satu lagi lah ka Santi
ayo mas Naren bantu istri cantikmu buat pecahin telor om bram
eeh masalah om bram maksudnya 🤭🤭
kan mau aku gondol mas Naren nya kalo kamu ga mau😄
persahabatan kalian memang the best