Nabila Fatma Abdillah yang baru saja kehilangan bayinya, mendapat kekerasan fisik dari suaminya, Aryo. Pasalnya, bayi mereka meninggal di rumah sakit dan Aryo tidak punya uang untuk menembusnya. Untung saja Muhamad Hextor Ibarez datang menolong.
Hextor bersedia menolong dengan syarat, Nabila mau jadi ibu ASI bagi anak semata wayangnya, Enzo, yang masih bayi karena kehilangan ibunya akibat kecelakaan. Baby Enzo hanya ingin ASI eksklusif.
Namun ternyata, Hextor bukanlah orang biasa. Selain miliarder, ia juga seorang mafia yang sengaja menyembunyikan identitasnya. Istrinya pun meninggal bukan karena kecelakaan biasa.
Berawal dari saling menyembuhkan luka akibat kehilangan orang tercinta, mereka kian dekat satu sama lain. Akankah cinta terlarang tumbuh di antara Nabila yang penyayang dengan Hextor, mafia mesum sekaligus pria tampan penuh pesona ini? Lalu, siapakah dalang di balik pembunuhan istri Hextor, yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Ponsel
"Bohong!" Arman mendorong kasar kepala wanita itu ke belakang.
"Benar, Pak ... tapi Nabila tiba-tiba datang dan mengambil pekerjaan ituu ...." Lani tidak tahu lagi bagaimana menerangkan ini pada Arman. Kenapa pria ini tak kunjung percaya?
Arman makin kesal. Ia melepas ikat pinggangnya.
Lani tampak panik. "Pak ... Bapak mau apa?"
Arman menghentakkan ikat pinggang itu ke lantai hingga terdengar suara pecutan keras. "Mungkin dengan ini, ingatanmu membaik."
"Apa? Aahh ..!!"
***
"Jadi?" Hextor masih menunggu. Sudah beberapa hari ia menunggu tanpa hasil. Kini ia harus mengetahui hasilnya.
Arman mengangkat kepala. Ia berbicara setengah berbisik karena berada di ruang terbuka, di beranda belakang rumah Hextor. "Sudah berhari-hari dan dia tetap pada ucapannya semula. Dia hanya mengincar pekerjaan Nabila. Dulu dia dekat pada Nyonya Helena. Apa mungkin dia tidak berbohong?"
"Mmh, mungkin yang dikatakan Lani benar tapi pekerjaan mafia, tidak boleh meniggalkan kesalahan karena akan fatal akibatnya, dan dia hampir mencelakai anakku. Itu tidak termaafkan. Padahal dia sudah kerja lebih lama dari Nabila. Apalagi, dia memang sengaja melakukannya terlepas dari apa pun alasannya. Ia dekat dengan almarhum istriku malah membuatnya jadi orang yang paling dicurigai. Karena itu, selesaikan saja tugasmu. Aku sudah tidak ingin mendengar lagi tentang orang ini."
"Baik, Tuan."
Arman berbalik, lalu pergi dan sempat berpapasan dengan Nabila yang sedang menggendong baby Enzo yang hanya memakai pampers.
"Oh." Nabila merasa tak enak karena hampir menabraknya. "Maaf."
Arman hanya menghindar dan menganggukkan kepala dengan sopan sambil melirik sebentar, lalu melangkah pergi.
Nabila tahu, Arman bukan tipe orang yang suka banyak bicara, karena itu ia membiarkan pria itu pergi begitu saja.
Nabila kembali duduk di tempat biasa. Kali ini ia sedikit bersandar dan meletakkan bayi itu di dadda. Dengan begitu baby Enzo bisa tidur tengkurap di tubuh Nabila.
Sesekali bayi itu mengangkat kepala dan menatap ibu sussunya itu dengan mata jernihnya. Nabila kadang mengajak ngobrol si kecil membuat Enzo kembali mengoceh tidak jelas.
Hextor melihat saja dari kursi tempat ia sarapan. Sekarang, ini jadi hiburannya di saat sarapan di pagi hari. "Nabila."
"Mmh?" Wanita itu sedikit melirik dengan memicingkan mata karena sinar matahari yang menyinari wajah.
"Besok aku akan berangkat ke luar negeri. Aku minta nomor teleponmu ya."
"Nanti aku berikan, Pak."
"Hapemu bisa vc, 'kan?"
"Oh, bisa, Pak. Cuma gambarnya agak buram. Maklum, hape lama."
Hextor mendengarkan saja. Esoknya, pria itu mendatangi kamar Enzo pagi-pagi. Untung Nabila baru selesai menyussui. Setelah meletakkan Enzo di boks bayinya, ia mendapat ponsel baru dari Hextor.
"Pak, ini apa?"
"Hape barumu. Sekarang berikan hape lamamu. Hape ini sudah aku masukkan nomor teleponku dan nomor telepon Arman. Dia tinggal dan akan menjagamu selama aku pergi." Tangan Hextor terulur.
"Tapi hapeku berisi nomor-nomor penting, Pak. Aku tidak bisa memberikannya." Nabila malah memeluk ponselnya.
Hextor menatap wajah manis Nabila yang merengut. Ia hampir tertawa. "Nabila, aku membelikanmu hape mahal lho!"
"Aku 'kan tidak minta!" ujar Nabila sengit sambil mendorong ponsel yang diberikan pria itu padanya.
"Eh, jangan marah begitu." Dengan suara lembut Hextor mendorong ponsel itu kembali pada Nabila. "Ya udah. Nanti kamu tinggal kasih tahu saja, nomor mana yang mau kamu simpan. Nanti aku kirimi."
Nabila hampir tak percaya mendengar suara Hextor yang bicara lembut padanya hingga dahinya berkerut. "Yang pasti, nomor suami dan nomor orang tuaku. Itu yang penting."
"Ya udah. Mana sini." Hextor kembali mengulurkan tangan. Nabila menyerahkan ponselnya dengan ragu-ragu.
Dengan cepat Hextor meraih dan mengantonginya di dalam jas. Ia beranjak berdiri. "Aku mungkin akan pergi lama sekitar dua minggu. Karena itu kalau kamu butuh apa-apa, minta saja pada Mei dan Arman. Kamu perlu menelepon, kalau dengan Arman karena dia bekerja di luar."
"Eh, tapi ... nomornya?" Nabila menadahkan tangan.
"Oh, aku sedang tergesa-gesa. Kamu bisa kirim permintaanmu dengan mengirim pesan. Ok?" Setelah itu Hextor bergegas keluar. "Aku malas memberikan nomor suaminya. Kalau bisa menundanya, itu lebih baik." Sebelum menutup pintu, ia kembali bicara. "Oya, kalau aku telepon, aku ingin vc, biar bisa melihat Enzo."
"Iya, Pak," jawab Nabila dengan tubuh lemas. Ia cemberut karena Hextor tidak segera memberikan nomor telepon penting yang ia minta.
***
Lani tergeletak di lantai. Bajunya robek-robek dan terlihat beberapa luka lebam di beberapa tempat di tubuhnya. Ia bahkan tidak sadar apakah ia tengah berhalusinasi atau tidak. Tubuhnya di hampir di semua tempat terasa ngilu walaupun tidak meninggalkan luka sedikit pun. Bahkan untuk merintih ia tak punya tenaga.
Arman mendatangi wanita yang sudah tak berdaya itu. Ia membawa kayu yang ia balut robekan gorden di ujungnya. "Hari ini investigasi selesai, tapi Tuan Hextor tidak mengampunimu. Jadi ... kamu bisa mengucapkan selamat tinggal pada dunia." Pria itu menyalakan korek dan mulai membakar ujung kain. "Selamat tinggal." Ia melempar kayu itu ke dinding kayu yang kemudian mulai membakar dinding.
"Pak ...," rintih Lani.
"Seharusnya, kamu tidak bermain-main dengan kesehatan tuan kecil, jadi nasibmu tidak sesial ini." Kemudian Arman berbalik dan meninggalkan Lani.
Wanita itu hanya bisa menangis. Ia tak bisa menyelamatkan diri. Adakah yang bisa menolongnya?
Ketika Arman baru beberapa langkah meninggalkan rumah kayu itu, ponselnya berdering. "Halo." Ia tahu, tuannya tengah menelepon.
"Aku sudah di bandara. Tolong jaga Nabila dan Enzo, jangan sampai ada yang mengganggu mereka. Oya, mulai hari ini, tidak ada yang boleh minum minuman keras di dalam rumah, juga tidak boleh ada yang mabuk di sana. Kalau ketahuan, pecat mereka! Juga tolong buang semua minuman keras yang ada di dalam rumah. Juga milikku yang ada di kamar. Buang atau musnahkan."
Arman terkejut. "Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapi! Nabila sangat tidak suka dengan pemabuk. Jangan sampai dia berhenti gara-gara ini, mengerti!? Kamu tahu 'kan betapa sulitnya mendapatkan ibu sussu!?"
Arman menghela napas pelan. "Iya, Tuan."
"Jadi demi ketenangan bersama, lakukan saja yang aku minta."
"Baik." Hubungan telepon pun terputus. Arman mengerut dahi. "Bukankah dulu saat ada Nyonya Helena, mereka sering minum bersama sebelum akhirnya Nyonya hamil? Hh ... padahal cuma seorang ibu sussu, kenapa harus peduli?" Ia membalik tubuhnya dan melihat rumah kayu itu terbakar. Asapnya mulai membumbung tinggi. Arman melihat sebentar sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
***
Sepi di rumah itu tanpa Hextor. Namun, Nabila merengut bukan karena pria itu tidak ada, tapi karena pria itu tidak menjawab pesan yang sudah dia kirim ke pria itu. "Memangnya lama ya, dari sini ke luar negeri? Mmh, dia pergi ke negara apa? Kenapa dia tidak menyahut sama sekali?"
"Aa ...." Tangan si kecil menarik kerudung instan Nabila.
"Eh ...." Nabila baru sadar tengah menjemur Enzo cukup lama. "Oh, panas ya, Enzo. Oh maaf. Yuk, masuk ke dalam, yuk!" Ia menggendong Enzo sementara bayi itu malah mengantuk setelah dibawa masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian Enzo sudah berpakaian tapi bayi itu malah terlanjur tertidur tanpa meminta sussu lagi. Akhirnya Nabila membaringkan bayi itu di boks bayi.
Bersambung ....
😀😀😀❤❤❤😘😍😙
😍😙😗😗❤❤❤
ngeriiiu...
😘😍😍😙😗❤❤❤❤❤
satang Enzo tapi salah strategi..
😀😀❤❤😘😍😙
😀😀😀❤❤😘😍😙😙
❤❤❤😘😙😗😗
❤❤❤😘😍😙😙
jangn2 lani naruh serbuk gatal do pakaian Enzo..
untung Hextor tau lani melakukan sesuatu di lwmari anknya ..
jadi gak bisa nuduh nabila..
😀😀❤❤❤😍😙😗
❤❤😍😙😗
karena dia ingin hextir jadi miliknya...
😀😀😘😍😙😗❤❤❤😡