Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Sepanjang Jalan
Part 32
Di luar, suasana lorong tetap riuh oleh langkah cepat dan suara mesin portable. Ketika melewati gerbang rumah sakit, Mirai baru menghembuskan napas panjang. Menghadapi situasi dan aturan dunia baru membuat perutnya terasa mulas. Ada kecemasan tersendiri atas perubahan yang mendadak dan tak pasti.
"Karena kita ditinggal, yah kita jalan kaki lumayan jauh di area belakang. Kalo isi shelter gak perlu dijelasin kan? Lo juga main game ini pasti paham apa aja isi sama fungsinya."
"Iya, paham. Cuma amazing aja ngeliatnya."
Ren meringis. "Kalo gue sih ngerasa ini ironi." Ia memberi tanda untuk mengikutinya.
"Lo nyesel main game ini?"
"Siapa orang di sini yang gak nyesel? Asal lo tau. Tiap hari ada aja orang yang mati. Apalagi waktu awal-awal shelter ditemukan. Semua ngerasa kalo mereka yang lebih pantas mendapat area yang lebih baik. Lo tau kenapa? Karena saat shelter ditemukan kondisinya gak sebaik sekarang. Kumuh, kotor, dan banyak bangunan runtuh gak layak huni."
Pada saat hal itu terjadi Mirai masih berada di Kota Dawn. Tak terbayangkan bagaimana kondisi shelter sebelum ini. "Siapa yang pertama nemuin shelter?"
"Gantz dari Clan Chimera. Anggota mereka sedikit, jadi gak mungkin membangun shelter dengan jumlah segitu. Makanya gerbang shelter dibuka di minggu pertama. Dia gak nyangka bakalan membludak. Dan mereka pikir semakin banyak orang berarti semakin banyak tenaga kerja. Bener. Tapi semakin banyak juga masalah."
"Contohnya?"
"Semua orang yang baru datang ke dunia ini pasti dalam keadaan shock, panik, ketakutan, stress dan tertekan. Ini seperti dikirim ke dalam lubang neraka. Yang biasanya hidup nyaman di rumah, harus mengais sampah atau makan rumput buat bertahan hidup. Otomatis ketika mereka mendapatkan kenyamanan di sini, ego mereka meninggi. Merasa yang paling menderita dan harus diutamakan."
"Terus gimana?"
"Yah terpaksa dibuat lagi sistem clan sesuai yang ada di game untuk ngatur para manusia yang gak tau diri. Mecah mereka menjadi kelompok, menurunkan banyak permasalahan yang harus diurus satu orang. Tadinya si Gantz yang jadi pemimpin shelter, tapi untungnya orangnya besar hati. Mau nurunin ego dan jadiin ini shelter bersama."
"Rumit juga ya." Mereka pun melintasi jalan yang cukup ramai pada area pertokoan. Mirai sedikit heran. "Pasar?"
"Iya. Cuma sistemnya barter. Lo tertarik dengan barang apa yang mereka pajang, ya lo coba nego pakai barang yang lo punya. Tapi yang lebih cepat diterima itu makanan. Sedangkan obat-obatan gak diijinin beredar tanpa pengawasan."
"Jadi cuma bisa diakses di rumah sakit?"
"Ya, setiap logistik berupa alat medis dan obat-obatan wajib diserahkan ke rumah sakit."
"Kenapa begitu?"
"Gak semua clan punya anggota yang dapat hero dokter atau perawat. Sebenernya ini polemik berat diawal pembentukan komunitas di sini. Banyak drama dan perdebatan. Akhirnya diputuskan kalo spesialisasi nakes merupakan badan independen."
"Apa gue juga harus ada di rumah sakit?"
"Itu terserah lo. Gak ada paksaan. Tergantung nurani sama moralitas lo aja."
Jawaban itu sedikit menusuk hati Mirai. Meskipun apa yang dikatakan Ren ada benarnya, ia masih ingin mencari Adamnya. Bila terlibat terlalu dini di rumah sakit, rasanya akan sulit untuk keluar lagi. Perhatiannya pun teralih oleh suasana pasar.
Deretan stand menyala terang oleh lampu neon yang digantung di atas tiap kios, memantulkan cahaya ke deretan barang yang dipajang rapi. Pakaian, alat elektronik bekas, dan berbagai perlengkapan yang masih layak pakai berjejer, siap ditawar. Suara negosiasi terdengar nyaring, gesekan logam, dan ketukan kaki pembeli di lantai semen membentuk ritme tersendiri.
Mirai melangkah di antara lorong-lorong sempit, matanya cepat menangkap detail setiap barang. Seorang pedagang menepuk kotak berisi sparepart elektronik, menawarkan harga dengan nada bersemangat, sementara pembeli lain sibuk menimbang baju tergantung di hanger. Dari ujung lorong, asap kayu bakar mengepul dari tong kecil yang dipakai beberapa orang untuk menghangatkan diri, bercampur aroma logam dan plastik dari barang-barang bekas.
Suasana malam itu santai tapi hidup, ramai oleh aktivitas tawar-menawar, tawa ringan sesekali terdengar, dan langkah-langkah cepat yang hilir-mudik di antara stand. Mirai menyerap semua itu, merasakan ritme pasar yang unik. Setiap barang, setiap orang, punya peran dalam hiruk-pikuk kecil itu.
Namun malam ini Mirai hanya lewat saja. Ren sendiri hanya berjalan tanpa melirik satu pun barang yang terpajang di sana.
Dan mereka berjalan menuju ujung jalan yang gelap. Mirai sedikit merapat pada pemuda itu, karena terbiasa mendekati Nero ketika berada di jalan atau gang gelap. Ren yang menyadarinya melambatkan laju langkah agar Mirai tidak merasa ditinggal.
Mata Mirai terangkat mengetahui irama langkah Ren. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat bagaimana sepak terjangnya di layar ponsel. Bila bukan karena pemuda ini yang jadi leader clan, ia pasti sudah pindah clan sejak lama. Secara naluri Mirai memang senang mengikuti orang yang teguh. Terutama dalam setiap permainan, bukan hanya sekadar kuat saja. Banyak pemain kuat apalagi yang menggunakan uang. Tapi kebanyakan dari mereka tak punya pendirian, hanya bersenang-senang, bahkan tidak peduli pada rekannya. Mirai bisa memahami itu karena di dunia nyata, mereka sendiri punya kesibukan, sedangkan game hanyalah selingan atau hiburan semata. Tapi bagi orang-orang yang sudah terlanjur mencintai sistem game itu sendiri, mereka akan berusaha lebih keras dari yang lainnya.
Langkah mereka makin jauh, membelah gang gelap yang setiap dua puluh meter di terangi cahaya lampu. Beberapa kali berpapasan dengan patrol keliling yang berasal dari berbagai negara. Dan semuanya menghormat pada Ren menggunakan berbagai bahasa. Sejak dulu Mirai ingin sekali melancong ke luar negeri, merasakan budaya dan atmosfer yang berbeda dari rasnya sendiri. Dan kini ia justru merasakannya dalam keadaan yang sangat tragis. Dadanya terasa sesak akan ironi tersebut. “Kita masih jauh?”
“Capek ya? Bentar lagi nyampe kok. Abis jalan ini kita bakal masuk ke area barak militer. Di sana banyak bangunan rumahan gitu. Mungkin untuk tentara. Yah sama lah kaya di game. Anggota kita lebih sedikit dari clan lain, jadi cuma dapat yang kaya gitu. Clan yang lebih besar jumlah anggotanya dapat gedung kek rumah susun atau apartemen.”
“Wah, kok rasanya gak adil.”
“Gak apa. Toh kalo kita nemu shelter yang layak, kita bisa pindah.”
“Clan kita ada niatan pindah?”Sebenarnya Mirai sudah mendengar ini. Tapi masih belum tahu alasannya.
“Ya pastilah.”
“Eh, kenapa? Bukannya kehidupan di sini udah lebih baik?”
Ren tertawa sarkas. “Nanti lo juga liat sendiri gimana bobroknya nih tempat.”
Kalau Ren sudah berkata demikian maka Mirai akan percaya pada penilaiannya. Setahunya Ren bukan orang yang suka melebih-lebihkan.
Benar seperti yang diucapkannya, tak lama mereka masuk ke dalam sebuah area setelah memasuki gerbang bertuliskan Barack Militer. Perlu berjalan melintasi dua blok untuk sampai di markas Clan Nazarick. Jajaran rumah-rumah berlantai dua cukup terang dan ramai. Banyak dari penghuninya yang bercengkrama di teras, membakar kayu dalam tong besi demi kehangatan dari dinginnya malam yang menyengat. Kepulan asap tipis di beberapa rumah membumbung ke langit, saling berkejaran menuju samudera bintang yang berserakan di langit. Lagi-lagi Mirai melihatnya sebagai sebuah ironi. Keindahan yang membalut kegelapan terdalam.
ilustrasi pasar.