Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang Tenang
Di tengah sepinya Warung Bahagia, Misha sedang melamun. Pikirannya kosong, ia hanya membiarkan hatinya beristirahat sejenak dari semua drama yang tiada henti. Ia pikir, setelah Bu RT ditahan, hidupnya akan kembali tenang. Namun, ia salah.
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan warung. Hana turun dari mobil dengan langkah cepat, wajahnya yang cantik kini terlihat kusut dan dipenuhi amarah. Tanpa basa-basi, ia langsung masuk ke warung, matanya menatap tajam ke arah Misha.
"Heh! Misha!" teriak Hana, suaranya melengking. "Kamu puas sekarang?! Kamu puas melihat Radit dipenjara?!"
Hati Misha terasa sakit. Ia tidak tahu, ia harus menjawab apa. "Mbak Hana, saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan," jawab Misha, suaranya bergetar.
"Tidak tahu apa-apa?!" Hana tertawa sinis. "Kamu pikir saya bodoh?! Kamu sengaja, kan?! Kamu sengaja berkomplot dengan laki-laki kaya itu untuk menjebak Radit!"
Misha terkejut. "Mbak Hana, itu tidak benar! Radit ditangkap karena perbuatannya sendiri! Itu tidak ada hubungannya dengan saya!"
"Bohong!" Hana tidak percaya. "Kalau bukan karena kamu, Radit tidak akan ditangkap! Kamu sudah membocorkan rahasia Radit ke laki-laki kaya itu, kan?!"
"Hana, sudahlah! Bukan salah Misha!" Pak Raharjo mencoba menengahi.
"Diam!" Hana membentak. "Kamu juga sama saja! Kamu melindungi wanita ini! Pasti kamu juga dikasih uang oleh laki-laki kaya itu, kan?!"
Hana tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Ia melangkah maju, menunjuk Misha. "Kamu dengar baik-baik, Misha! Kamu dan laki-laki kaya itu sudah tidur bersama, kan?! Kamu sudah rela menjual diri, kan?!"
Sontak, suasana warung menjadi gaduh. Para pembeli yang baru saja datang, terkejut mendengar tuduhan Hana. Mereka menatap Misha dan Hana secara bergantian. Misha mematung. Hatinya terasa hancur. Ia tidak pernah menyangka, Hana akan menuduhnya sekejam itu.
"Hana! Jaga mulutmu!" Misha berteriak. "Saya tidak pernah melakukan hal-hal kotor itu! Kenapa kamu tega menuduh saya?!"
"Tega apa?! Memang begitu kan kenyataannya?! Kamu itu wanita murahan! Kamu pantas dihina!" Hana memaki, suaranya dipenuhi kebencian.
****
Hati Misha terasa perih. Ia ingin membela diri, namun air mata tak henti-hentinya mengalir. Ia tidak bisa lagi berkata-kata. Ia merasa, semua ini terlalu berat.
"Sudah, Hana! Hentikan! Kamu sudah keterlaluan!" Rendy tiba-tiba datang. Ia melihat keributan itu, dan langsung menghampiri mereka.
Hana menatap Rendy. "Kamu membela wanita ini?! Kamu yang sudah merusak rumah tanggaku! Kamu dan wanita ini, kalian sudah menghancurkan hidupku!"
"Hana, bukan salah Misha! Bukan salah saya! Radit ditangkap karena perbuatannya sendiri!" Rendy membentak, suaranya tegas.
"Bohong! Kalian semua bohong!" Hana berteriak. Ia menatap Misha dan Rendy, lalu menatap kerumunan orang yang kini mengelilingi mereka. Ia merasa, seluruh dunia menentangnya. Ia merasa, ia tidak punya siapa-siapa lagi.
Hana akhirnya menangis. Ia terduduk di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan. "Kenapa... kenapa semua ini terjadi padaku?" isaknya, suaranya parau. "Kenapa...?"
Misha menatap Hana dengan tatapan iba. Ia tahu, Hana sedang hancur. Ia tahu, Hana sedang menderita. Misha melangkah maju, lalu berlutut di depan Hana. Ia memeluk Hana, membiarkan Hana menangis di bahunya. "Hana, saya tahu kamu menderita. Tapi, itu bukan salah saya. Itu bukan salah Pak Rendy. Itu takdir," bisik Misha. "Sabar, ya. Kamu pasti kuat."
Hana tidak menjawab. Ia hanya terus menangis, membiarkan air matanya membasahi baju Misha. Ia merasa, ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa, ia sudah kehilangan segalanya. Ia tidak tahu, apakah ia bisa hidup tanpa Radit. Ia hanya bisa pasrah, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Ia tidak tahu, kapan penderitaan ini akan berakhir.
****
Tangis Hana memecah kesunyian di Warung Bahagia. Tubuhnya bergetar di pelukan Misha, yang dengan sabar mencoba menenangkan. Pak Raharjo dan Bu Lastri hanya bisa menatap mereka dengan prihatin. Pemandangan itu begitu menyentuh, dua wanita yang sebelumnya berseteru kini saling menguatkan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Pak Lurah datang bersama Pak RT, Pak RW, Pak Ustadz, dan Bu Susi. Mereka mendengar keributan itu, dan datang untuk menengahi. Mereka melihat Hana yang menangis di pelukan Misha, dan suasana yang kini sudah mulai tenang.
Bu Susi melangkah maju, mendekati Hana. "Hana, sudahlah. Jangan menangis lagi," bisiknya lembut.
Hana melepaskan pelukan Misha, lalu menatap Bu Susi dengan tatapan kosong. "Kenapa, Bu? Kenapa semua ini terjadi padaku?" isaknya, suaranya parau.
"Itu sudah takdir, Hana," jawab Bu Susi. "Allah punya rencana-Nya sendiri untuk kita semua."
"Tapi... kenapa? Kenapa harus begini? Aku tidak bisa hidup tanpa Radit!" Hana berteriak, suaranya dipenuhi keputusasaan.
****
Pak Ustadz maju, menatap Hana dengan tatapan prihatin. "Hana, dunia ini adalah tempat ujian. Allah menguji kita dengan berbagai cara. Terkadang, Dia menguji kita dengan kesenangan, terkadang, Dia menguji kita dengan penderitaan. Semua itu untuk melihat, seberapa kuat iman kita."
Hana terdiam. Ia tidak bisa lagi berkata-kata.
"Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan kita," lanjut Pak Ustadz. "Radit adalah ujianmu. Kamu harus kuat, Hana. Kamu harus kuat untuk anak kamu. Kamu harus kuat untuk dirimu sendiri."
Air mata Hana kembali mengalir. Ia menatap Pak Ustadz, lalu menatap Misha. "Aku... aku minta maaf, Misha," bisiknya. "Aku sudah menuduhmu. Aku sudah melabrakmu. Aku sudah berbuat jahat padamu."
Misha menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Hana. Saya sudah memaafkan Anda. Saya tahu, Anda sedang terluka."
"Aku tidak tahu harus bagaimana," isak Hana. "Aku tidak bisa tanpanya. Aku tidak bisa membesarkan Wina sendirian."
"Kamu tidak sendirian, Hana," kata Bu Susi, suaranya melembut. "Ada Allah. Ada kami semua. Kami akan membantumu. Kami akan selalu ada untukmu."
Hana menatap Bu Susi. Hatinya terasa hangat. Ia tidak menyangka, orang-orang yang ia musuhi kini malah berbalik membantunya.
"Kamu punya kami, Hana," kata Misha, memegang tangan Hana. "Kami akan selalu ada untukmu."
Hana menangis lagi, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa haru. Ia tidak menyangka, ia akan mendapatkan kebaikan sebesar ini. Ia merasa, ia sangat beruntung.
"Misha, saya... saya ingin berterima kasih. Anda sudah banyak membantu saya," bisik Hana.
Misha tersenyum. "Kita adalah wanita, Hana. Kita harus saling menguatkan."
Pak Lurah mengangguk, senang melihat keributan itu akhirnya berakhir. "Baiklah, kalau begitu, kami pamit dulu," katanya. "Hana, jika ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi kami."
Hana mengangguk, lalu berterima kasih. Ia menatap Misha, Pak Raharjo, Bu Lastri, Pak Ustadz, dan Bu Susi. Hatinya terasa sangat lega. Ia tahu, ia tidak lagi sendirian. Ia tahu, ia harus kuat. Ia harus berjuang untuk Wina. Ia harus berjuang untuk dirinya sendiri. Ia tahu, ia akan baik-baik saja.