Alur cerita ringan...
Dan novel ini berisi beberapa cerita dengan karakter yang berbeda-beda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arran Lim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Tiga jam terasa berjalan begitu lambat. Setiap detik seolah menjadi ujian kesabaran, baik untuk Nicholas maupun keluarga Aditama. Mereka hanya bisa menunggu di luar, menahan rindu, haru, dan doa yang tak henti-hentinya dipanjatkan.
Hingga akhirnya, pintu ruangan terbuka. Seorang dokter keluar dengan senyum lega di wajahnya.
“Puji Tuhan... kondisi Anna menunjukkan perkembangan positif. Kesadarannya sudah kembali, meskipun tubuhnya masih lemah. Untuk saat ini, hanya satu orang dulu yang boleh masuk, agar tidak membuat pasien kelelahan,” jelas sang dokter dengan suara menenangkan.
Tanpa perlu ditunjuk, pandangan semua orang langsung jatuh pada Mami Tania. “Mami masuk gih, kita semua tahu kalau yang bakal dicari pertamakali pastinya mami." ucap Jason.
Mami Tania mengangguk. Dengan langkah gemetar, mami Tania pun melangkah masuk kedalam ruang rawat Anna.
Papi Aditama, Jason, dan Nicholas hanya bisa duduk di bangku tunggu dengan hati yang berdebar tak karuan. Sesekali mereka saling pandang, berharap ada kabar baik dari dalam ruang rawat.
Tak lama, sekitar sepuluh menit kemudian, pintu ruang rawat itu terbuka. Mami Tania keluar dengan wajah penuh air mata. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini ada senyum sumringah yang begitu jelas menghiasi wajah wanita paruh baya itu.
Nicholas spontan berdiri, Jason dan Papi Aditama pun ikut bangkit.
“Gimana, Mi?” suara Papi Aditama terdengar tercekat, penuh harap.
Mami Tania menyeka air matanya, lalu tersenyum lebar. “Anak kita sudah merespon dengan baik. Anna tadi bilang dia belum ingat sepenuhnya apa yang terjadi... tapi dia minta maaf karena sudah bikin kita semua sedih.”
Jason langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan tangis haru. Papi Aditama menghela napas panjang, seolah beban besar di dadanya perlahan menguap. Nicholas terdiam, matanya memerah, menahan gejolak yang berkecamuk.
“Tenang aja,” lanjut Mami Tania dengan suara bergetar bahagia. “Anna benar-benar sudah membaik sekarang. Perawat juga bilang kita bisa bicara dengan Anna besok. Hari ini cukup mami saja, biar dia istirahat dulu.”
Ketiganya mengangguk sambil tersenyum. Nicholas pun ikut tersenyum meski dalam hatinya ia tak sabar ingin segera menatap mata kekasihnya. Meski belum bisa bertemu langsung malam itu, kabar bahwa Anna sadar sudah lebih dari cukup baginya.
********
Esok harinya, tepat pukul empat sore, giliran Nicholas yang diizinkan masuk.
Hatinya berdegup kencang. Sudah enam bulan lebih ia hanya bisa menatap wajah Anna yang terbaring tanpa suara. Kini, detik ini, ia akan menatap mata itu kembali—mata yang selalu membuatnya merasa pulang.
Dengan langkah gemetar, Nicholas masuk ke ruang rawat. Aroma antiseptik khas rumah sakit menyambutnya, namun ia tak peduli. Pandangannya langsung tertuju pada sosok di ranjang itu.
Mata Anna terbuka, indah, meski masih terlihat lemah. Begitu tatapan mereka bertemu, kedua mata itu langsung berkaca-kaca. Bibir Anna perlahan melengkung membentuk senyum yang hangat.
“Kak...” panggil Anna lirih.
Nicholas tak kuasa menahan diri. Ia segera menghampiri, lalu dengan hati-hati memeluk tubuh kekasihnya yang masih rapuh. Tangisnya pecah, bahunya bergetar hebat.
“Maaf, sayang... maaf,” isaknya. “Ini semua salah aku... Kamu jadi kayak gini karena aku.”
Anna menggeleng lemah. Ingatannya memang belum sepenuhnya kembali, tapi ia tahu apa yang terjadi. Ia sudah mendengar dari keluarganya tentang Angelina, tentang semuanya. Rasa sakit itu masih ada, tapi di hadapan Nicholas, ia memilih untuk tidak larut dalam amarah.
“Ini bukan salah Kakak...” suaranya lembut namun tegas. “Jangan nyalahin diri sendiri. Aku justru berterima kasih... karena Kakak benar-benar berjuang buat aku. Aku bahkan dengar Kakak mutusin hubungan sama keluarga Angelina cuma karena aku.”
Nicholas melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Anna dalam-dalam. “Aku bakal singkirin siapa pun yang nyakitin kamu. Aku nggak akan biarin mereka ada di sekitar kamu, di sekitar aku, atau di keluarga kita. Mereka nggak akan pernah punya kesempatan lagi masuk ke hidup kita.”
Anna tersenyum, meski air mata jatuh di pipinya. Tangan mungilnya terangkat, mengusap lembut pipi Nicholas yang basah. “Iya, Kak... makasih banyak. Jangan nangis lagi, ya. Kakak nggak perlu merasa bersalah. Semua ini bukan salah Kakak.”
Anna memberanikan diri mendekat, lalu mengecup bibir Nicholas singkat. Senyum tipisnya terukir. “Udah... jangan nangis terus.”
Nicholas tertegun, lalu tersenyum di balik tangisnya. “Kangen banget sama kamu, Sayang. Makasih... makasih udah bertahan, makasih karena nggak ninggalin aku.”
Anna mengangguk, matanya tak lepas dari pria di hadapannya. “Aku juga makasih... karena Kakak selalu setia di samping aku, bahkan di masa paling kritis sekalipun.”
Nicholas menunduk perlahan, mendekat, lalu bibirnya menyatu dengan bibir Anna. Ciuman itu lembut, penuh rindu, dan mengguncang hati keduanya. Pipi Anna memerah, tapi ia membalasnya dengan hangat. Setelah enam bulan panjang penuh ketidakpastian, akhirnya mereka bisa saling menggenggam kembali—utuh, meski dengan luka yang pernah ada.