NovelToon NovelToon
KINASIH (Babak Pertama)

KINASIH (Babak Pertama)

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Epik Petualangan / Akademi Sihir / Persahabatan / Dunia Hybrid
Popularitas:379
Nilai: 5
Nama Author: Rona Aksara

Perlu waktu lama untuknya menyadari semua hal-hal yang terjadi dalam hidupnya.
suka, duka, mistis, magis, dan diluar nalar terjadi pada tubuh kecilnya.
ini bukan tentang perjalanan yang biasa, inilah petualangan fantastis seorang anak berusia 12 tahun, ya dia KINASIH.

Pernah kepikiran engga kalau kalian tiba-tiba diseret masuk ke dunia fantasi?
kalau belum, mari ikuti petualangan kinasih dan rasakan keseruan-keseruan di dunia fantasi.

SELAMAT MEMBACA..!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rona Aksara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19: Hati Yang Keras Kepala

Beberapa jam yang lalu.

Lonceng berbunyi. Menandakan akhir dari pembelajaran sihir hari ini. Ruang kelas tampak lengang setelah semua goblin pulang ke rumah masing-masing. Ma'am stella sedang merapikan beberapa kitab sihir yang dibawanya. Lalu beranjak keluar dari ruang kelas.

Lorong bangunan akademi semakin sunyi. Seakan tidak pernah ada kehidupan disana. Tidak ada suara gurauan dan teriakan para goblin. Hanya ada suara langkah kaki ma'am stella yang terdengar di sepanjang lorong itu.

Dari kejauhan. Dia mendengar suara perempuan sedang meracau sendiri di dalam sebuah ruangan. Mendekatlah dia lalu mengintip dari balik jendela. Hatinya terkejut saat melihat anak muridnya sedang bereksperimen di dalam sana. Dengan memakai setelan jas laboratorium lengkap dengan kacamata. Anak muridnya itu seakan sedang menguji sebuah mantra.

"Ternyata dia hebat sekali." Gumamnya dalam hati.

Dia hanya tersenyum. Mengurungkan niat untuk memarahi anak muridnya itu Lalu pergi berlalu. Membiarkan anak muridnya bereskperimen dengan sihirnya begitu saja.

KRIETT...

Pintu ruang guru terbuka perlahan.

"Hei, stella. Coba lihat siapa yang datang kesini." Madam magenta berseru kegirangan. Sambil menunjuk seorang penyihir perempuan yang terlihat duduk dengan anggunnya di hadapannya.

Ma'am stella mengernyitkan dahi. "Siapa dia?."

"Ayolah, jangan berpura-pura lupa, stella."

Penyihir perempuan itu berdiri. Lalu membalikkan badan. "Hai, Stella. Lama tidak berjumpa."

Ma'am stella seketika terkejut melihat wajah penyihir perempuan itu.

"VIOLA... Sejak kapan kau datang kemari?."

Ma'am stella segera mendekati viola lalu menarik kursi dan segera duduk disampingnya.

"Maaf stella, magenta. Aku sebenarnya hanya ingin singgah sementara disini. Awalnya aku tidak berniat datang kemari. Namun karena aku merasa kelelahan. Akhirnya aku berpikir, apa salahnya jika aku mengunjungi sahabat-sahabat penyihirku yang hebat ini."

"Kau masih sama seperti dulu, masih suka memuji sahabat sendiri." madam magenta merasa malu.

"Darimana saja kau? kenapa bisa sampai kelelahan?" Tanya ma'am stella.

Viola menghela napas panjang. "Kau ingat reyna, si peri kepercayaan tuan darko?."

Ma'am stella dan Madam magenta saling bertatapan. Lalu keduanya mengangguk.

"Aku mengalahkannya di hutan hujan. Tempat dimana dia ditugaskan oleh tuan darko."

Madam magenta menepuk jidatnya. "Hei, Viola. Dengarkan aku. Apakah kau lupa jika reyna adalah sahabatmu sendiri. Kau dengannya bagaikan pinang dibelah dua. Kalian sangat cocok. Kenapa tiba-tiba kau kalahkan dia?."

"Benar dia memang sahabatku sejak kecil, magenta. Namun, kau tahu sendiri jika ego ku lebih besar daripada kewarasan hati nurani ku. Aku mengaku jika aku yang salah. Namun, wajar jika setiap makhluk di dunia ini mempunyai perasaan iri dan dengki, hah?" Suara viola semakin meninggi.

"Apa yang membuat kau iri padanya, viola." Ma'am stella menengahi.

"Asal kalian tahu. Aku iri padanya karena aku merasa aku lebih kuat daripada dia. Tapi mengapa hanya dia yang diberi kepercayaan oleh tuan darko? Apa kurangku? Kekuatan? Buktinya aku bisa mengalahkan reyna."

Madam magenta tertawa pelan.

"Apa yang kau tertawakan, Magenta?."

"Kau memang kuat, Viola. Aku mengakuinya. Namun, kau juga banyak kurangnya. Cobalah renungkan sejenak tentang apa yang terjadi pada dirimu dan reyna. Jangan gegabah."

Madam magenta berdiri dari duduknya. Dia mendekati viola. Lalu menepuk pelan kedua bahunya.

"Dengarkan aku. Apapun yang kita lakukan sebaiknya pikirkan dulu matang-matang. Jangan gegabah. Sebab apa yang kau perbuat hari ini, adalah yang akan kau tuai esok hari."

Viola hanya diam. Tertunduk.

"Memang benar kemarin kau mengalahkan reyna. Namun, tak ada yang tahu jika esok hari ada yang menyerangmu secara tiba-tiba dengan alasan dia tidak terima atas apa yang telah kau perbuat pada reyna."

Viola mengangguk. "Terima kasih, magenta. Atas wejanganmu. Namun, aku tidak benar-benar mengalahkannya. Aku hanya mengubahnya menjadi batu."

"Apakah efek sihir itu bisa menghilang seiring berjalannya waktu?." Ma'am stella berusaha menyelidik.

Viola mengangguk. "itu hanya sementara. Reyna tetap hidup di dalam tubuhnya yang membatu. Mungkin satu tahun kedepan, efek itu akan menghilang."

Madam magenta menepuk jidatnya sekali lagi. "Sekarang apa maumu, Viola?."

"Tidak tahu, magenta."

"Begini saja, untuk sementara waktu kau bisa tinggal disini. Apakah kau bisa mendampingiku dan stella mengajar para goblin?." Madam magenta memberi saran.

Viola tersenyum. Lalu mengangguk. Tanda dia setuju dengan saran madam magenta.

"Namun sebelum itu..." Terlihat madam magenta membisikkan sesuatu kepada viola.

Viola terkejut mendengarnya. "HAH? KALIAN SERIUS?."

"Sssttt... Pelankan suaramu viola." Ucap ma'am stella dengan nada tegas.

"Kalian sudah gi..." Dengan cepat madam magenta membungkam mulut viola dengan kedua tangannya.

"TUTUP MULUTMU, ATAU KU USIR KAU DARI SINI." Bentak madam magenta.

Viola melepaskan kedua tangan madam magenta. "Baiklah, aku setuju. Namun urusanku dengan kalian selesai jika kalian melakukan tindakan tersebut."

"Oke, deal." Ma'am stella dan Madam magenta tersenyum lebar.

Viola segera keluar dari ruang guru. Dan berjalan tanpa arah tuju. "Sudah gila mereka berdua itu." Gerutunya dalam hati.

...

Kembali ke waktu sekarang.

Mentari semakin naik tepat diatas kepala. Siang hari yang sangat menyebalkan. Kinasih sejak tadi hanya mengobrol santai dengan Ella. Sembari menunggu kepulangan ester dari akademi.

"Kemana dia pergi? Mentari sudah naik, dia belum juga sampai dirumah." Ella kebingungan.

"Tunggu saja, ella. Wajar saja, anak-anak di duniaku yang sama dengan usia ester juga sering bermain-main dahulu sebelum pulang ke rumah." Kinasih mencoba menenangkan Ella.

Ella mendengus pelan.

"Oh iya, kau mau bantu aku untuk berlatih menggunakan sarung tangan yang kau berikan, ella?."

"Astaga aku hampir lupa. Jika kau ingin mencobanya, mari aku ajarkan kepadamu, asih." Ella segera mengambil sepasang sarung tangan itu.

Keduanya lalu berjalan menuju hilir sungai yang berada tak jauh dari desa para goblin. Disana terdapat beberapa pepohonan yang rimbun. Meski jumlahnya hanya hitungan jari.

"Ternyata ada pohon juga di desa ini. Kukira semuanya rata dengan hamparan rerumputan saja, ella." Kinasih tertawa.

Ella balas tertawa. "Disini, pohon dapat hidup hanya di dekat hilir sungai. Itulah keunikan dari desaku ini."

Kinasih mengangguk.

"Pakai sarung tangan itu, asih." Ella memberikan perintah.

"Keduanya? Atau hanya satu buah saja?."

"Jika kau merasa nyaman memakai sepasang, pakailah. Namun jika kau merasa nyaman memakai satu buah saja, juga tidak apa-apa."

Kinasih berpikir sejenak. Dia berpikir jika dia memakai satu buah saja, itu akan lebih terlihat keren di matanya.

"Aku pakai satu buah saja di tangan kanan." Kinasih segera memasang satu buah sarung tangan pada tangan kanannya.

"Baiklah, setelah itu fokuskan kekuatanmu pada sarung tangan itu." Perintah Ella.

"Hah? Bagaimana?." Kinasih menggaruk kepalanya.

"Tutup kedua matamu. Lalu bayangkan jika arus petir itu mengalir dari kepalamu hingga menuju tangan kananmu. Rasakan perlahan, asih."

Kinasih mengangguk. Lalu menutup kedua matanya. Merasakan perlahan aliran petir yang lambat laun semakin deras alirannya. Dia mencoba mengalirkan ke tangan kanannya. Tapi tiba-tiba..

BLAR...

Kinasih terhempas jatuh. Petir terlebih dahulu menyambar dari tangan kanannya sebelum dia sempat mengendalikannya.

"Aarghh.. Panas." Kinasih merintih kesakitan.

Ella segera berlari menuju kearah kinasih. "Kau tidak apa-apa, asih? Jika belum terbiasa memanglah seperti ini hasilnya. Apalagi kekuatanmu lebih dari sekedar ledakan."

Kinasih melepas sarung tangannya. Panas yang dirasakannya membuat telapak tangan kanannya melepuh dan memerah.

Ella segera mengatupkan kedua tangannya. "Plene Sanatus." Ucapnya dalam hati. Lalu dia usapkan kedua tangannya pada tangan kinasih yang melepuh. Seketika luka itu hilang.

"Terima kasih, ella. Lalu aku harus bagaimana?."

"Kau harus mencobanya berulang kali. Hingga kau mampu mengendalikan petir itu dari dalam dirimu." Ucap Ella, lalu mengambil sarung tangan itu. "Pakailah, cobalah sekali lagi."

Kinasih segera berdiri. Lalu memakai sarung tangan dan mencobanya sekali lagi. Kali ini ella sudah bersiap berdiri di belakangnya. Was-was jika kinasih terhempas lagi.

—Thunder blue storm memang sangat menyakitkan bagi penggunanya jika diaktifkan secara spontan. Mengapa selama ini kinasih baik-baik saja ketika menggunakannya? Tidak. Dia juga merasakan panas dan perih di sekujur telapak tangannya. Namun, karena kekuatan ini dapat mengendalikan penggunanya, oleh sebab itu kinasih mampu menahan rasa sakit itu.

—Kali ini sedikit berbeda. Konsep dari sarung tangan tersebut ialah penggunannya yang mengambil alih penggunaan kekuatan itu. Jadi mau tidak mau kinasih harus mengendalikan diri agar tidak dikendalikan oleh thunder blue storm miliknya.

"Kau siap, asih?." Tanya Ella.

Kinasih diam sejenak. Lalu mengangguk pelan.

Dia segera menutup kedua matanya. Mencoba sekali lagi untuk fokus. dalam sekejap thunder blue storm kembali aktif. Arus petir bertegangan tinggi semakin melesat menyusuri seluruh bagian tubuhnya. Perlahan dia merasakan arus tersebut. Menikmati pedihnya. Lalu mengarahkan arus agar mengalir menuju tangan kanannya. Dan berhasil.

Sarung tangan itu kini memiliki motif dengan bentuk arus listrik, ditambah percikan petir yang membuatnya semakin terlihat kuat dan menakutkan.

Kinasih perlahan membuka kedua matanya. "Ella, apakah kau masih dibelakangku?." Dia segera berbalik badan.

Ella terkejut ketika melihat kedua bola mata kinasih. "Asih, kedua bola matamu menjadi menyala berwarna biru. Dan Lihat sarung tanganmu juga diselimuti petir."

"Lalu bagaimana, ella?."

Ella berpikir sejenak. Dilihatnya sebuah bongkahan batu tepat di tengah sungai.

"Sekarang kau lihat batu yang ada disana, asih?."

"Iya aku melihatnya dengan jelas."

"Sekarang arahkan seranganmu tepat kearah batu itu. Sarung tangan itu akan otomatis mengeluarkan kekuatanmu ketika kau arahkan pada objek yang ingin kau serang."

"Baiklah, Ella." Kinasih dengan cepat mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan ke arah bongkahan batu tersebut.

"Apakah kau punya julukan pada seranganmu?."

"Eh? Aku tidak punya." Jawab kinasih dengan polosnya.

Ella menepuk jidat. "Sekarang buat nama pada seranganmu, agar sarung tangan itu mengerti serangan seperti apa yang kau inginkan."

Kinasih mengangguk. "Sekarang saatnya, kilatan cahaya petir penghancur. Rasakan ini."

BZZTT... BLARRR....

Seketika bongkahan batu tersebut hancur berkeping-keping. Ella menganga melihat serangan kinasih. Awalnya dia mengira hanya sengatan petir biasa saja ternyata sangat mematikan.

"Astaga, aku tidak menyangka jika kau sekuat ini, kinasih." Ella terduduk.

Kinasih menoleh pada ella. "Kau mau aku sengat dengan petirku."

"HENTIKAN CANDAANMU ITU." bentak ella.

Kinasih lalu tertawa. Dia memejamkan mata sekejap dan seketika thunder blue storm telah dinonaktifkan.

"Aku merasa semakin kuat dengan adanya sarung tangan ini. Bolehkah aku bawa sarung tangan ini untuk menemani petualanganku?." Pinta Kinasih.

Ella segera berdiri. Lalu tersenyum. "Memang itu aku berikan untukmu. Tapi jika kau sudah tidak memerlukannya, berikan pada orang yang membutuhkan."

"Tidak. Aku akan membawa sarung tangan ini kembali pada darko." Kinasih tertawa kecil.

"Panggil dia tuan, jangan seenaknya kau memanggil darko."

"Baiklah, aku ulangi sekali lagi. Aku akan membawa sarung tangan ini kembali pada tuan darko. Sudah betul, ella?."

Ella tertawa melihat kepolosan kinasih. Siang itu adalah hari terindah bagi keduanya. Mereka saling berbagi kebersamaan selama setengah hari ini. Seakan menjadikan mereka seperti saudara yang sudah lama dipisahkan oleh takdir.

Dan mulai hari ini, sarung tangan pemberian ella akan menjadi bagian baru dalam diri kinasih.

......Bersambung......

1
Oscar François de Jarjayes
Sudut pandang baru
Rona Aksara: engga, itu cuma adegan pembuka aja, sudut pandangnya masih kinasih kok
total 1 replies
Dâu tây
Ceritanya bikin merinding, ga bisa lepas ya!
Rona Aksara: merinding sebadan badan ga kak? /Chuckle/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!