Di bawah rembulan yang dingin, seorang jenderal berdiri tegak, pedangnya berkilauan memantulkan cahaya. Bukan hanya musuh di medan perang yang harus ia hadapi, tetapi juga takdir yang telah digariskan untuknya. Terjebak antara kehormatan dan cinta, antara tugas dan keinginan, ia harus memilih jalan yang akan menentukan nasibnya—dan mungkin juga seluruh kerajaannya. Siapakah sebenarnya sosok jenderal ini, dan pengorbanan apa yang bersedia ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syifa Fha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Xin Lan tertegun melihat pemandangan di hadapannya. Sebuah prasasti besar menjulang, diukir dengan nama-nama pahlawan Sekte Teratai. Batu itu tampak kokoh, seolah menyimpan kisah-kisah perjuangan yang tak terhitung jumlahnya.
Xin Lan mendekat, matanya menyusuri barisan nama, mencari sosok yang selalu hadir dalam hatinya. Setelah beberapa saat, ia menemukan nama Liu Mei Lan terukir di salah satu sudut prasasti. Ukiran itu tampak sederhana, namun terasa begitu agung di mata Xin Lan.
Air mata mulai menetes di pipi Xin Lan, membasahi debu yang menempel di wajahnya. Ia menyentuh nama ibunya dengan lembut, merasakan setiap lekukan huruf yang terukir di batu. Dengan hati yang bergetar, ia berlutut di depan prasasti itu.
"Ibu," kata Xin Lan dengan suara lirih, nyaris tak terdengar ,tercekat oleh emosi yang meluap-luap.
Xin Lan kemudian berjalan menuju makam keluarga Liu, yang terletak tidak jauh dari altar. Langkahnya terasa berat, namun tekadnya membara.
Sesampainya di makam keluarga Liu, Xin Lan kembali tertegun. Makam itu sangat sederhana, namun terawat dengan baik. Di atas setiap makam, terdapat sebuah batu nisan yang bertuliskan nama-nama anggota keluarga Liu. Bunga-bunga segar tertata rapi di sekelilingnya, seolah ada yang selalu menjaga tempat ini.
"Kami yang mengevakuasi jenazah keluarga Liu setelah pembantaian," kata Tetua Qin dengan nada hormat. "Namun, sayangnya, kami tidak menemukan tubuh Jenderal Liu dan bayi yang baru dilahirkan."
"Bayi?" tanya Xin Lan, dahinya berkerut.
"Iya, Nona," jawab Tetua Qin. "Jenazah Nona Liu Mei ditemukan di tengah puing-puing terbakar. Dilihat dari kondisinya, Liu Mei baru saja melahirkan."
"Itu aku..." ucap Xin Lan lirih.
"Ya?" Tetua Qin tampak bingung.
"Bayi yang lahir di pembantaian 18 tahun yang lalu itu aku," ucap Xin Lan sambil tersenyum, air mata masih membasahi pipinya.
"Ah... Ma... maafkan aku, Nona, aku tidak tahu," kata Tetua Qin dengan nada menyesal.
"Tidak apa-apa," jawab Xin Lan. "Lagipula, seharusnya aku berterima kasih kepada kalian karena sudah memperlakukan keluargaku dengan sangat baik, bahkan di saat-saat terakhir hidup mereka."
"Sudah hampir malam ya...Sepertinya kita harus kembali," kata Xin Lan dengan nada berjanji, menatap makam keluarganya dengan penuh kasih.
Saat Xin Lan berbalik dan melangkah pergi, Tetua Qin dan Tetua Gong tiba-tiba melihat siluet Liu Mei Lan yang tersenyum lembut, seolah mengawasi putrinya dari kejauhan. Mereka berdua terdiam, terpaku oleh pemandangan yang mengharukan itu.
Kenangan masa lalu tiba-tiba menyeruak dalam ingatan mereka. Mereka teringat saat Liu Mei Lan dan suaminya, Feng Tianming, mengunjungi Sekte Teratai untuk terakhir kalinya. Saat itu, perut Liu Mei Lan sudah hampir membesar, dan aura kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
Flashback on.
"Shijie!" sahut Tetua Qin Muda yang bersemangat, memecah keheningan di antara mereka. "Saat anak ini lahir, bukankah seharusnya dia memanggil kita paman seperguruan?" Matanya berbinar-binar membayangkan kehadiran seorang keponakan seperguruan yang bisa ia ajak bermain dan mengajari ilmu bela diri. Ia bahkan sudah membayangkan bagaimana ia akan memanjakan anak itu dengan berbagai hadiah.
Liu Mei Lan hanya tertawa kecil mendengar ucapan Tetua Qin. Tawanya renyah dan menenangkan, seperti melodi yang indah. "Kau ini, Qin'er, masih saja bersemangat seperti anak kecil," ujarnya sambil menggelengkan kepala dengan senyum lembut. "Kapan kau akan dewasa?" Ia mencubit pipi Tetua Qin dengan gemas, membuat pipinya semakin merona.
Feng Tianming, yang berdiri di samping Liu Mei Lan, merasa sedikit cemburu melihat keakraban istrinya dengan para juniornya. Ia merangkul Liu Mei Lan dengan posesif, seolah tidak ingin ada yang merebut perhatiannya. Ia mencium puncak kepala istrinya dengan sayang, menunjukkan kepemilikannya. "Sudahlah, Mei'er, jangan terlalu menggoda mereka," ujarnya dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit nada serius di dalamnya. "Nanti mereka jadi lupa dengan latihan mereka dan malah mengejarmu."
"Aiya, Tianming, kau ini cemburu rupanya," goda Liu Mei Lan sambil mencubit pinggang suaminya.
"Siapa bilang aku cemburu?" elak Feng Tianming, meskipun wajahnya sedikit memerah.
Tetua Gong, yang sedari tadi hanya diam, ikut tertawa melihat tingkah laku pasangan itu. Ia merasa senang melihat kebahagiaan Liu Mei Lan dan Feng Tianming. Ia tahu bahwa mereka adalah pasangan yang saling mencintai dan saling melengkapi.
Saat itu, langit sore berwarna jingga, menciptakan pemandangan yang indah dan menenangkan. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga-bunga yang bermekaran di taman. Suasana di sekitar mereka terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Mereka bertiga duduk bersama di bawah pohon rindang, menikmati kebersamaan dan saling berbagi cerita.
Liu Mei Lan tersenyum, tangannya mengelus perutnya yang mulai membesar. "Aku sangat bahagia dan bersemangat menyambut si kecil ini. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan."
Qin dan Gong mendekat dengan rasa ingin tahu.
"Sini, tempelkan tangan kalian di sini." Ia menuntun tangan Qin dan Gong ke perutnya.
Setelah beberapa saat, Gong merasakan sesuatu. "Ah! Aku merasakannya! Ada gerakan kecil di dalam sini!" serunya antusias.
Qin juga merasakan hal yang sama. "Benar! Aku juga merasakannya! Luar biasa sekali!"
Mendengar itu, Feng Tianming tiba-tiba menyahut dengan nada bangga, "Bagaimana?! Itu adalah hasil kerja kerasku!"
Seketika, wajah Liu Mei Lan memerah karena malu. Ia langsung memukul lengan suaminya. "Apa yang sedang kau katakan pada mereka!" bentaknya, berusaha meredam suaranya.
Feng Tianming meringis kesakitan sambil mengusap lengannya. "Aduh! Aku hanya bercanda, Sayang," ucapnya membela diri.
Qin dan Gong hanya bisa tersenyum canggung melihat interaksi pasangan itu. Mereka merasa sedikit salah tingkah, tetapi juga senang bisa berbagi momen bahagia dengan senior mereka.
Melihat Qin yang tampak kikuk, Wu Gong berusaha mencairkan suasana.
"Ah, Senior, Bagaimana keadaan Xin kai? Kenapa dia tidak ikut?"Tanya Wu gong.
"Putraku sudah mulai mengikuti kelas, Jadi dia tidak bisa ikut"Ucap Feng Tianming.
Suasana kembali hangat dan akrab. Mereka melanjutkan obrolan tentang persiapan menyambut bayi, berbagi pengalaman, dan memberikan saran-saran yang berguna. Qin dan Gong merasa senang bisa menjadi bagian dari momen penting dalam kehidupan senior mereka.
Qin dan Gong ikut tertawa melihat interaksi lucu pasangan itu. Mereka merasa beruntung bisa menjadi saksi kebahagiaan keluarga Feng.
Kenangan itu terasa begitu indah dan menyakitkan pada saat yang bersamaan. Tetua Qin dan Tetua Gong merasa menyesal karena tidak bisa melindungi Liu Mei Lan dan Feng Tianming dari bahaya. Mereka merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan bayi yang baru lahir dari pembantaian.
Namun, mereka juga merasa lega karena bayi itu ternyata masih hidup dan sekarang telah kembali ke Sekte Teratai. Mereka berharap Xin Lan bisa membawa kembali kejayaan sekte itu, dan membalaskan dendam atas kematian orang tuanya. Mereka berjanji akan melakukan segala yang mereka bisa untuk membantu Xin Lan, dan memastikan bahwa tragedi serupa tidak akan terulang kembali.
....
Setelah Xin Lan berjanji akan kembali lagi, ia berbalik untuk meninggalkan makam keluarga Liu. Tetua Qin dan Tetua Gong mengantarnya dengan langkah pelan, suasana hening menyelimuti mereka. Pikiran Xin Lan masih dipenuhi dengan kenangan keluarganya yang telah tiada.
Tiba-tiba, Tetua Qin Muda yang bersemangat, memecah keheningan. "Nona Xin Lan," panggilnya dengan nada riang, "Karena kau adalah putri dari Liu Mei Lan Shijie, dan kami adalah juniornya, bukankah seharusnya kau memanggil kami paman seperguruan?" Matanya berbinar-binar membayangkan Xin Lan memanggilnya paman, merasa seperti mendapatkan keponakan baru.
Xin Lan tertegun mendengar ucapan Tetua Qin. Pikirannya kosong seketika. Memanggil mereka paman? Itu terasa sangat aneh dan canggung. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini.
"P... paman?" ucap Xin Lan dengan nada ragu, wajahnya memerah padam. Ia merasa seperti lidahnya kelu, sulit untuk mengucapkan kata itu. Ia menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Tetua Gong, yang lebih bijaksana, tersenyum melihat reaksi Xin Lan. Ia tahu bahwa hal ini pasti terasa aneh bagi Xin Lan, yang baru saja mengetahui identitasnya dan bertemu dengan mereka.
Xin Lan tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan melanjutkan perjalanannya menuju pintu keluar makam.
Tetua Qin dan Tetua Gong saling bertukar pandang dengan ekspresi lucu. Mereka berdua menepuk jidat mereka masing-masing, merasa malu dengan kelakuan mereka sendiri. Mereka yang dikenal sebagai tetua yang stabil dan bijaksana, ternyata bisa juga bertingkah seperti anak kecil yang merengek.
"Sepertinya kau terlalu bersemangat," kata Tetua gong dengan nada menyesal.
"Sepertinya begitu," jawab Tetua Qin sambil menggelengkan kepala. "Kita harus lebih sabar."
Mereka berdua mengikuti Xin Lan dari belakang, menjaga jarak. Mereka tahu bahwa mereka harus memberi Xin Lan waktu dan ruang untuk memproses semua ini. Mereka hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, Xin Lan akan menerima mereka sebagai keluarganya.
Saat mereka berjalan menuju pintu keluar makam, Xin Lan melihat kembali ke arah prasasti nama-nama pahlawan Sekte Teratai. Ia menatap nama ibunya, Liu Mei Lan, dengan tatapan penuh kasih sayang.
Keesokan harinya...
Tiba-tiba, Tetua Qin mendekat ke arah Xin Lan dan meraih tangannya. "Ayolah, Xin'er," bujuk Tetua Qin dengan nada merengek, "Panggil aku paman! Sekali saja, kumohon!" Ia memasang wajah puppy eyes, berharap Xin Lan akan luluh dengan kelucuannya.
Xin Lan langsung menarik tangannya dengan kasar, memasang ekspresi jijik yang kentara. "Aku sudah bilang aku tidak mau!" bentaknya, suaranya terdengar tajam dan menusuk. Ia mundur beberapa langkah, menjauhi Tetua Qin.
Xin Lan hanya terdiam, memasang ekspresi wajah tidak nyaman dan tidak suka. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang kasar. Ia merasa sangat risih dengan permintaan Tetua Qin.
"Lihatkan!" seru Tetua Qin dengan nada riang, menunjuk Xin Lan dengan jari telunjuknya. "Dia semakin mirip dengan Mei Shijie saat cemberut seperti ini." Ia tertawa kecil, merasa gemas dengan ekspresi Xin Lan.
"Benar juga," timpal Tetua Gong sambil tersenyum. "Ekspresinya sangat mirip dengan Senior saat ia sedang kesal." Ia menggelengkan kepala, merasa heran dengan kemiripan antara Xin Lan dan ibunya.
Xin Lan semakin merasa tidak nyaman mendengar godaan kedua tetua itu. Ia merasa seperti sedang menjadi bahan lelucon. Ia membuang muka, tidak ingin melihat wajah mereka. Ia merasa ingin segera pergi dari tempat ini.
Melihat Xin Lan yang semakin tidak nyaman, Tetua Qin tidak menyerah. Ia justru semakin bersemangat untuk menggoda Xin Lan. Ia merasa gemas dengan ekspresi wajah Xin Lan yang cemberut dan kesal.
"Ayolah! Bayi kecilku! Panggil aku paman!" teriak Tetua Qin yang masih bersemangat, mengejar Xin Lan yang berjalan semakin cepat. Ia melompat-lompat kecil, berusaha meraih tangan Xin Lan.
"Tidak!!!" teriak Xin Lan sambil berlari kecil, berusaha menjauhi Tetua Qin, Ia merasa geli dan kesal dengan tingkah laku Tetua Qin yang kekanak-kanakan.
Aksi kejar-kejaran kecil pun terjadi di sepanjang jalan sekte teratai, Xin Lan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari Tetua Qin, sementara Tetua Qin terus mengejarnya dengan semangat yang tak kunjung padam.
Tetua Gong hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah laku kedua orang itu. Ia merasa heran dengan energi Tetua Qin yang seolah tidak ada habisnya. Ia juga merasa kasihan pada Xin Lan yang terus-terusan digoda oleh Tetua Qin.
Para murid-murid Sekte Teratai yang berpapasan dengan mereka terbungkam melihat tingkah laku kedua tetua mereka yang dikenal tegas dan berwibawa. Mereka tidak percaya bahwa kedua tetua itu bisa bertingkah selucu dan seramai itu. Mereka saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut dan bingung.
"Terjadi lagi ya?" bisik seorang murid kepada temannya.
"Sepertinya aku sudah mulai terbiasa." jawab temannya sambil mengangkat bahu.
"Bukankah ini sudah seminggu ?" tanya murid yang lain dengan nada heran.
"Sepertinya semenjak kedatangan Nona Xin Lan, Tetua Qin dan Tetua gong menjadi orang yang berbeda." jawab temannya sambil menunjuk ke arah Xin Lan yang sedang berlari menghindari Tetua Qin.
Para murid-murid itu sudah mengetahui bahwa Xin Lan adalah putri dari salah satu anggota dari segitiga emas yang melegenda. Mereka sudah mulai terbiasa Dengan kedua tetua mereka yang bisa bertingkah seperti itu saat bertemu Xin lan.
"Apa Nona Liu menolak lagi memanggil kedua Tetua itu paman?" tanya seorang murid dengan nada penasaran.
"Yah seperti biasanya." jawab temannya.
Sementara itu, aksi kejar-kejaran antara Xin Lan dan Tetua Qin semakin seru. Xin Lan terus berlari dan menghindar, sementara Tetua Qin terus mengejarnya sambil berteriak-teriak.
"Ayolah, Xin'er! Jangan lari dariku!" teriak Tetua Qin dengan nada memohon. "Panggil aku paman sekali saja! Kumohon!"
"Tidak akan!" jawab Xin Lan dengan nada tegas. "Aku tidak akan pernah memanggilmu paman!"
"Kenapa?" tanya Tetua Qin dengan nada sedih. "Apa aku tidak pantas dipanggil paman?"
"Aku hanya merasa aneh memanggil kalian paman!" jawab Xin Lan dengan nada jujur.
"hey Itu tidak adil!" protes Tetua Qin dengan nada merajuk. "Kau akan terbiasa!"
"Terserah kau saja!" jawab Xin Lan sambil terus berlari.
Tetua Gong menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Ia merasa lelah melihat tingkah laku kedua orang itu.
.....