Kiara dan Axel berteman sejak kecil, tinggal bersebelahan dan tak terpisahkan hingga masa SMP. Diam-diam, Kiara menyimpan rasa pada Axel, sampai suatu hari Axel tiba-tiba pindah sekolah ke luar negeri. Tanpa memberitahu Kiara, keduanya tak saling berhubungan sejak itu. Beberapa tahun berlalu, dan Axel kembali. Tapi anak laki-laki yang dulu ceria kini berubah menjadi sosok dingin dan misterius. Bisakah Kiara mengembalikan kehangatan yang pernah mereka miliki, ataukah cinta pertama hanya tinggal kenangan?
*
*
*
Yuk, ikuti kisah mereka berdua. Selain kisah cinta pertama yang manis dan menarik, disini kita juga akan mengikuti cerita Axel yang penuh misteri. Apa yang membuatnya pindah dan kembali secara tiba-tiba. Kenapa ia memutus hubungan dengan Kiara?.
MOHON DUKUNGANNYA TEMAN-TEMAN, JANGAN LUPA LIKE, DAN KOMEN.
Untuk menyemangati Author menulis.
Salam Hangat dari tanah JAWA TENGAH.❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Story Yuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Pura-pura Mabuk
“Ikuti instruksi ku,” bisik Kiara pada Axel, langkahnya berat karena tubuh mungilnya menopang gapura kabupaten.
Di teras rumah, Widia tampak berdiri dengan cemas. Sudah malam dan anak-anak belum ada yang pulang.
Suara pintu gerbang terbuka, Widia segera menghampiri, matanya langsung membelalak melihat Kiara yang menyeret tubuh bongsor putranya.
“Ada apa Ara? Kenapa Axel?” tanyanya panik, melihat wajah Axel tertutup rapat oleh jaket Kiara.
“Tante! Ara lihat Axel sudah linglung keluar dari taksi,” sahut Kiara, wajahnya tampak panik, ia mulai berakting.
Saat mendekat, Widia langsung menutup hidungnya, aroma alkohol menyengat indera penciumannya. “Kenapa bau alkohol?”
“Nggak tau tante, cepat buka pintunya tante!” seru Kiara, sengaja membuat kehebohan.
Widia sontak lari membuka lebar pintu rumah. “Cepat Ara!” serunya memberi jalan pada gadis yang menopang tubuh anaknya.
Kiara bergegas masuk, saat Widia hendak mengikuti dari belakang, Kiara langsung berseru lagi. “Tante! Pintunya ditutup dulu!”
“Hah?!” Widia mengangkat alisnya bingung, ia sempat berdiri kikuk, suara heboh Kiara menghancurkan fokusnya. “Iya, pintu,” ucapnya akhirnya berbalik menutup pintu.
Sementara Widia sibuk dengan pintu, Kiara meminta Axel segera berlari menaiki tangga.
“Cepat,” bisik Kiara sambil mengikuti langkah kecil Axel dari belakang. “Jangan lupa gerbang tante!” serunya lagi, sengaja mengulur waktu.
“Iya! Tante kunci semuanya,” sahut Widia masih sibuk seputar pintu dan gerbang.
Axel segera masuk ke kamarnya lalu menguncinya rapat. Kiara masih berakting cemas di depan kamar pria tampan itu.
Selesai dengan pintu, Widia bergegas naik ke lantai atas untuk memeriksa putranya.
“Ada apa dengan Axel?” tanyanya dengan wajah panik, matanya menatap lekat Kiara.
Kiara menggelengkan kepalanya pelan. “Kiara juga nggak tau tante, waktu Ara keluar dari toserba, Ara lihat Axel udah oleng turun dari taksi,” sahutnya dengan nada meyakinkan.
“Benarkah? Dia mabuk?”
“Kiara juga nggak tau tante,” balasnya pelan, jari-jarinya terus mengetuk tas kecilnya, gelisah karena sudah membohongi Widia.
“Tante mencium bau alkohol tadi, anak nakal itu,” desis Widia, rahangnya mengeras menatap pintu kamar putranya yang tertutup rapat. “Jaketmu, kenapa ada di wajah Axel?”
“I-itu… Axel terus ingin muntah, jadi Kiara membungkam mulutnya dengan jaket,” jawabnya terbata, nyaris ketahuan. Tapi mulutnya dengan lihai menyusun alasan.
Sementara di balik pintu, Axel menguping pembicaraan dua wanita itu. “Huhh…” desisnya menyeringai. “Gadis itu memang ahli membuat orang ternganga.”
“Dia muntah?” sahut Widia sambil melotot, “Axel! Buka pintunya!” serunya mengetuk keras pintu kamar putranya.
Sial! Aku salah bicara. batin Kiara tercekat, ia terus memutar bola matanya, menyusun rencana baru.
“Tante… aduh,” ucapnya tiba-tiba sambil memijat pelipisnya.
Widia sontak menoleh. “Kenapa sayang?” tanyanya, ia maju mendekati gadis yang tampak kesakitan.
“Kiara nggak kuat sama aroma alkohol, sedikit pusing,” bisiknya lirih, kini berpura-pura sakit kepala.
“Aduh… gimana ini, sini-sini masuk ke kamar dulu,” ujar Widia, segera menuntun Kiara menuju ke kamarnya.
Kiara masih berakting, ia terus memegang keningnya. Maafin Ara tante, sekali lagi maaf! serunya dalam hati, merasa tak enak terus membohongi calon mertuanya.
Widia membantu Kiara berbaring di ranjang, ia menawarkan obat dan minuman segar. Namun gadis itu menolak.
“Ara… cuma butuh istirahat tante,” ucap Kiara, matanya menatap sendu ke arah Widia.
Widia menghela napas berat. “Ya Sudah, istirahat saja. Maafin Axel ya, lagi-lagi bikin kamu susah.”
Widia segera keluar dari sana, di depan ia mendekat lagi ke kamar putranya. “Axel, tunggu besok. Mama akan memberimu perhitungan.”
Di dalam kamar, Axel mendengar ucapan geram ibunya. “Oke, Ma. Kita lanjut saja besok,” gumamnya pelan, sambil memikirkan alasan apa untuk menghadapi ibunya besok pagi.
Pemuda tampan itu merebahkan dirinya di atas kasur. Ia terus mendesah pelan, hari ini begitu melelahkan baginya. Pertemuan dengan ayahnya setelah sekian lama, bukannya menjadi temu kangen yang hangat, pertemuan kali ini justru menjadi penyesalan bagi Axel.
Jemarinya meraba pipinya yang masih terasa panas, tamparan ayahnya terus berputar di kepalanya. Bayangan wajah sang ayah saat marah, kepalan tangan pria paruh baya itu melekat dalam ingatan Axel.
Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya yang remang, sunyi, kesepian, terluka, tamparan ayahnya tadi seolah menghantam keras perasaannya. Pelupuk matanya memerah, air mata jatuh di pipinya.
Ia menghela napas berat. “Seharusnya aku menolak saat dia menawarkan diri untuk menemuiku,” gumamnya, menyesali keputusannya.
Tok, tok.
Suara ketukan pintu pelan terdengar. Axel spontan menoleh, Mama? pikirnya ibunya belum menyerah di depan kamar.
“Axel… ini aku,” suara bisikan Kiara, pelan, namun cukup terdengar jelas di telinga Axel.
Pria itu segera mengusap pipinya yang basah, ia terbangun, melangkah membuka pintu.
Di sana, Kiara berdiri membawa satu kantong kompresan dan es batu. Dengan wajah berbinarnya ia menatap lekat pipi Axel yang masih memerah.
“Nih, kompres lagi biar cepat hilang bengkaknya,” ucapnya sambil menyodorkan tangan yang menggenggam kompresan.
Axel mengangkat alisnya, “Bukankah tadi sudah di kompres?” balasnya heran, kenapa harus di kompres lagi.
“Yang tadi kurang maksimal, sekarang kamu kompres lagi sebelum tidur,” sahut Kiara, masih mengulurkan tangannya di depan Axel.
Tak segera menerimanya, Axel justru menatap Kiara lekat-lekat. Entah apa yang dipikirkannya, namun jelas tatapan kali ini tak seperti biasanya.
Kiara memicingkan matanya bingung, “Axel…” panggilnya, membuat Axel tersentak dari lamunannya.
“Kamu… mau aku yang ngompres?” tanya Kiara, wajahnya tertunduk malu-malu. Matanya sesekali melirik kamar Axel.
Axel membulatkan matanya, ia menyadari Kiara yang terus melirik dalam kamarnya. “Apa yang kamu pikirkan?” cetusnya sambil menjitak pelan kening gadis itu.
Kiara menyentuh dahinya, bibirnya mengerucut, merespon ketukan pelan tangan Axel.
Axel segera meraih kompresannya. “Thanks, biar ku kompres sendiri.”
“Baiklah, semoga cepat sembuh,” ucap Kiara, matanya membulat dan berbinar lucu.
Axel mengalihkan wajahnya, menyembunyikan senyum tipisnya, lalu menoleh lagi dengan tatapan datar. “Tidurlah, sudah larut. Otakmu harus istirahat agar bisa bekerja dengan baik besok.”
Kiara mendengus malas. “Otakku selalu baik, tau!” balasnya tak terima dengan ejekan pria di hadapannya.
Axel hanya menyeringai, “Tidurlah, sana-sana,” ujarnya sambil mendorong bahu Kiara agar kembali ke kamarnya sendiri.
“Iya, iya, aku bisa sendiri,” balas Kiara langsung berbalik menuju kamarnya, saat hendak menutup pintu, wajahnya kembali menatap Axel. “Good night,” ucapnya sambil mengedipkan mata nakal, lalu buru-buru menutup pintu.
Axel sontak melotot, mulutnya sedikit ternganga, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Gadis itu…” gumamnya masih syok dengan kegilaan Kiara.
Axel hanya bisa menghela napas panjang, sudut bibirnya terangkat singkat nyaris melengkung membentuk senyuman. Namun ia segera menepisnya, lalu cepat-cepat masuk ke kamarnya.
Di kamar, Axel duduk di depan meja belajarnya. Matanya menatap sebuah kompresan yang kini terletak disana.
“Kiara… entah apa yang akan kulakukan pada gadis itu,” gumamnya, pikirannya kini dipenuhi oleh Kiara.
...****************...
Bersambung...
Mohon Dukungannya Teman-teman Sekalian...
Jangan Lupa Like, Vote dan Coment! Untuk Menyemangati Penulis.
Salam Hangat Dari Author, 🥰🥰
🤣
ak pasti menunggunya thor
otakku baru bangun nih