NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 : Kenangan persaingan.

Hawa dingin Tokyo menusuk kulit. Angin malam berhembus dingin, membawa aroma hujan yang baru saja reda dan aroma khas ramen dari kedai-kedai di sekitar Shibuya. Helena dan Alice melangkah masuk ke markas Reina, sebuah apartemen kecil namun nyaman di sudut tenang Shinjuku. Aroma kayu pinus dan teh hijau menyambut mereka, berbeda jauh dengan aroma sungai dan asap kendaraan yang masih melekat di ingatan mereka dari misi sebelumnya. Helena melepas sepatu boots kulitnya, suara klik yang lembut memecah kesunyian. Ia menghela napas panjang, menguap kecil, mengelus lengannya yang terasa dingin. "Akhirnya," gumamnya, suaranya lelah namun diwarnai sedikit kelegaan. Rambut pendeknya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, menunjukkan betapa melelahkannya pengejaran mereka terhadap informan Andras.

Alice, dengan langkah lebih cepat dan sedikit sempoyongan, menjatuhkan tas ranselnya ke lantai dengan bunyi thud yang cukup keras, menunjukkan ketidak sabaranya. Ia menguap lebar, menunjukkan kelelahan yang teramat sangat. "Huaah… akhirnya sampai juga," gumamnya, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Ia meremas hidungnya, seakan mencoba menghilangkan rasa kantuk yang mulai menguasainya. Ekspresi wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini tampak rapuh dan lelah. Sisa-sisa ketidaksukaannya pada Leon masih terlihat samar, namun kelelahan tampak jauh lebih dominan. Ia berjalan menuju sofa, menjatuhkan tubuhnya dengan berat.

Mereka berdua masuk ke ruang makan yang kecil, terang benderang oleh lampu neon yang lembut. Reina, Alisiya, Mike, dan Jimmy sudah menunggu, duduk mengelilingi meja makan rendah yang terbuat dari kayu jati. Di tengah meja, sebuah panci besar berisi ramen buatan Reina mengepulkan uap harum, aroma kaldu dashi dan kecap Jepang memenuhi ruangan. Wajah-wajah mereka tampak cerah, menunjukkan rasa lega dan antusias. Reina, dengan senyum ramah yang hangat, menyambut kedatangan mereka. "Selamat datang kembali," suaranya lembut, menunjukkan rasa syukur atas kembalinya kedua sahabatnya dengan selamat. Ia bangkit dari kursinya, menawarkan tempat duduk kepada mereka dengan gerakan anggun.

Aroma ramen yang menggugah selera langsung menarik perhatian Alice. Ia bangkit dari sofa, langkahnya sedikit terhuyung karena kelelahan. "Wah… aromanya… apa itu?" tanyanya, suaranya kini terdengar lebih bersemangat, kelelahannya seakan terlupakan sejenak oleh aroma makanan yang menggoda. Ia mencium udara dengan mata terpejam, menikmati aroma tersebut.

Jimmy, dengan senyum nakal, menjawab, "Ramen buatan Reina, khusus untuk kalian yang telah bekerja keras." Ia menyikut Mike pelan, menunjukkan rasa bangga pada masakan Reina. Mike, dengan ekspresi wajah yang serius namun diselingi senyum tipis, menambahkan, "Helena, kau harus makan… Kau terlihat sangat lelah." Ia menatap Helena dengan penuh perhatian, menunjukkan kekhawatirannya. Ia mengulurkan tangannya, menawarkan Helena segelas sake hangat.

Helena, mengeluarkan jepit rambutnya, rambutnya yang pendek terurai. Ia mengusap wajahnya yang lelah, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih," katanya, suaranya terdengar lebih ringan, kelelahannya sedikit berkurang. Ia duduk di kursinya, menatap semangkuk ramen yang menggugah selera di hadapannya. Ia mengambil sumpitnya, memulai menyantap ramen dengan lahap.

Suasana makan malam berlangsung hangat dan penuh canda. Mereka berbagi cerita tentang misi malam itu, tertawa bersama, dan melupakan sejenak beban dan tekanan yang mereka hadapi. Reina sesekali melirik Alice, melihat perubahan ekspresi wajahnya dari kelelahan menjadi lebih rileks dan ceria. Ia memahami betapa beratnya beban yang dipikul Alice, dan ia bersyukur bahwa setidaknya untuk malam ini, Alice bisa melupakan sedikit beban tersebut. Alisiya, dengan diam-diam, mengamati interaksi mereka, menunjukkan rasa syukur atas kebersamaan tim mereka.

Setelah makan malam, Helena mengeluarkan laptopnya, menjelaskan detail misi mereka kepada timnya. Ia menjelaskan tentang teknologi Andras, tentang ancaman yang mungkin muncul, dan tentang rencana mereka selanjutnya. Ekspresi wajahnya serius dan fokus, menunjukkan profesionalismenya. Alice, yang awalnya masih terlihat lesu, kini mulai memperhatikan penjelasan Helena dengan serius, sesekali menambahkan informasi penting. Ia bahkan ikut mengetik di laptopnya, memperbaiki beberapa data yang kurang akurat.

Mike dan Jimmy sibuk memeriksa data-data yang mereka kumpulkan, sesekali bertukar pandangan dan berdiskusi. Alisiya, dengan tenang, mencatat semua informasi penting yang disampaikan Helena. Reina, dengan senyum lembut, menyiapkan minuman hangat untuk mereka semua. Suasana kerja sama tim yang kuat dan solid terasa di ruangan itu. Di tengah kesibukan, Alice tiba-tiba berbisik kepada Helena, "Kau tahu… aku masih memikirkan kata-kata Leon…" suaranya sedikit lirih, menunjukkan keraguan dan kerentanan. Ia menatap Helena dengan mata berkaca-kaca. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

Helena meletakkan laptopnya, menatap Alice dengan penuh pengertian. Ia meletakkan tangannya di pundak Alice, menunjukkan dukungannya. "Aku tahu… tapi kau harus mencoba melepaskannya, Alice…" katanya, suaranya lembut dan penuh empati. "Kita semua ada di sini untukmu…"

Alice mengangguk pelan, meneteskan air mata. Ia memeluk Helena erat-erat, menunjukkan rasa syukurnya atas dukungan dan persahabatan yang ia miliki. Di tengah malam yang dingin di Tokyo, di sebuah apartemen kecil, persahabatan dan dukungan mereka saling menguatkan, memberikan harapan dan kekuatan untuk menghadapi tantangan di masa depan. Perjalanan mereka masih panjang, namun dengan tim yang solid dan persahabatan yang kuat, mereka siap untuk menghadapi apapun yang datang. Mereka adalah tim yang tak tergoyahkan, diikat oleh ikatan persahabatan dan tekad yang kuat.

Reina, kaki disilangkan, menyesap teh chamomile hangat. Tatapannya tajam mengamati Helena. Udara di apartemen menegang, hanya diiringi suara hujan di jendela. "Helena," suaranya lembut namun penuh penasaran, "kau bilang kau saingan Andras? Ceritakan masa lalumu." Ia meletakkan cangkirnya, serius.

Helena menghela napas, jari-jarinya memainkan gelas sake. Setetes sake jatuh, membentuk lingkaran kecil di meja kayu. "Baiklah," katanya, suaranya berat. "Semuanya berawal di sekolah menengah pertama Moskow, kelas 8..." Ia menatap jauh, mengingat kenangan yang terpendam. Rambut coklat pendeknya berkilau, mata silvernya tajam.

Flashback

Salju tebal menyelimuti Moskow. Di kelas yang hangat, Helena, dengan rambut coklat pendek dan mata silvernya yang tajam, membaca Dostoevsky. Tiba-tiba, bayangan tinggi menjulang: Andras. Rambut ungu tua panjangnya bergelombang, terurai di bahunya. Mata kirinya biru muda, kanan merah menyala, kontras mencolok. Ia bersandar di meja Helena, menghalangi cahaya matahari.

"Zhivago Helena," Andras memulai, sedikit mengejek, namun ada kagum di baliknya. "Kita sekelas, ya?" Senyum tipisnya tak sampai ke mata, dingin dan penuh perhitungan.

Helena, tanpa mengangkat wajah, menyesuaikan kacamatanya. "Ada apa?" Suaranya datar, tak tertarik. "Andras," tambahnya, formal, menunjukkan jarak.

Andras terkekeh pelan, suaranya meninggi. "Kau selalu di peringkat atas. Hampir mengalahkan peringkatku. Bagaimana kalau kita berteman? Bersaing secara sehat?" Ia mengulurkan tangan, ragu-ragu. Mata biru dan merahnya berkedip-kedip.

Helena menutup bukunya dengan tegas, menatap Andras dengan tatapan dingin yang menusuk. "Aku tidak tertarik pada persaingan," katanya, tegas dan dingin. Ia menolak uluran tangan Andras.

Andras terkejut, wajahnya merah padam. "Takut?" Suaranya meninggi, kesal dan tersinggung. Ia mengepalkan tangannya.

Helena menghela napas panjang, suaranya sedikit lebih lembut. "Aku belajar untuk kepuasan pribadiku, bukan untuk bersaing," katanya, menunjukkan sedikit kelembutan.

Andras mendengus, "Cih," gumamnya. Lalu, sebelum pergi, ia menambahkan dengan nada sedikit menantang, "Baiklah, mau ke kantin bersama setelah pelajaran ini selesai?"

Helena, tanpa melihat Andras, menggelengkan kepala. "Aku sibuk," jawabnya singkat, kembali fokus pada bukunya. Andras, dengan wajah yang semakin merah padam karena penolakan tersebut, akhirnya pergi membanting pintu.

Saat itu juga, Leon dan Alisiya masuk. Alisiya, dengan rambut panjang pelanginya yang berkilauan, riang berkata, "Andras! Ayo ke kantin! Leon ada di sini!" Ia melambaikan tangannya. Leon, dengan rambut putih gradasi merah muda yang agak panjang, tersenyum ramah, namun melirik Helena sekilas, menunjukkan rasa hormat.

Leon, lembut namun tegas, berkata pada Andras, "Andras, jangan ganggu Helena lagi." Andras, masih kesal, hanya menghela napas dan pergi. Helena kembali membaca bukunya.

Bisikan Alice dari belakang memecah konsentrasinya. Alice, dengan rambut hitam di kiri dan putih di kanan, mata hijau zamrudnya tajam, bergumam, "Leon lebih memilih Alisiya daripada aku. Aku sahabatnya sejak kecil, tapi dia memilih Alisiya."

Helena menutup bukunya, menatap Alice dengan simpati. "Membosankan," katanya, datar, namun ada sedikit iba.

End Flashback

Helena menyesap sake-nya, menatap teman-temannya. "Begitulah awal persaingan kami," katanya, sedikit getir. "Persaingan yang tak pernah kuinginkan, namun tak bisa kuhindari." Ia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang menyimpan banyak cerita dan beban masa lalu. Mata silvernya berkilat, menunjukkan kekuatan dan keteguhan hatinya.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!