Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tour
Udara malam di mansion Evander terasa… lain.
Bukan dingin, bukan hangat, tapi ada nuansa mewah yang aneh—seolah udara saja ikut mahal.
Lovy berdiri di aula utama, menatap chandelier kristal yang bergelantungan di atas kepalanya. Mulutnya sedikit terbuka. "Aku… aku yakin, kalau ini jatuh, bisa langsung bayar hutang negara," gumamnya.
Samuel yang berdiri di sampingnya menghela napas panjang. "Lovy, jangan norak. Ingat, kamu juga orang kaya. Rumah kita di Balikpapan sudah masuk majalah arsitektur tiga kali."
Lovy menoleh cepat, mengangkat satu alis. "Iya, Kak. Tapi mansion ini…" ia melingkarkan tangannya dramatis, "kayak rumah orang yang nggak tahu lagi mau beli apa, jadi beli istana."
Samuel menepuk jidat. "Astaga."
Sebelum Samuel bisa menambah ceramah, langkah sepatu kulit terdengar dari arah tangga. Kael muncul—rapi, tenang, dengan kemeja abu lembut dan celana hitam.
"Kalau kalian tidak keberatan," suaranya datar, "aku akan menunjukkan beberapa ruangan utama."
Lovy langsung menoleh, matanya berbinar. "Tour rumah? YES! Eh, iya, tentu saja," katanya buru-buru, mencoba terdengar anggun.
Samuel hanya melirik, "Tour atau tidak, jangan ribut Lovy."
Lovy melirik Samuel sambil mengangguk dengan semangat. "Okey!"
Kael berjalan pelan, langkahnya mantap. Lovy mengikutinya seperti anak kecil di taman hiburan. Setiap sudut rumah dikomentari.
Di ruang perpustakaan—ruangan megah dengan rak buku setinggi langit-langit—Lovy memutar badan. "Kalau aku belajar di sini, nilai ku bakal A+ semua! Eh, tapi buku-bukunya nggak ada komik, kan?"
Kael menoleh sekilas. "Tidak."
Lovy manyun, bibirnya mencibir kecil . “Fix. Aku harus selundupin komik Doraemon ke sini biar vibes-nya balance,” ucapnya, setengah bercanda tapi sungguh-sungguh di matanya yang berbinar kesal.
Samuel hanya bisa mendesah panjang, seolah napasnya ikut membawa segumpal resah yang tak terucap. “Lovy…” suaranya lirih, ada teguran tapi juga kelembutan di sana.
Lovy menoleh dengan wajah polos, alisnya terangkat sedikit. “Kenapa, Kak? Emang gitukan harusnya?” tanyanya, nada suaranya ringan, seperti anak kecil yang mencari pembenaran.
Samuel terdiam sebentar, menatap Lovy dengan pandangan sulit dijelaskan, antara ingin menertawakan dan menghela napas lagi. “Iya, tapi…” kalimatnya menggantung, seperti tersapu udara perpustakaan yang hening.
Dari sisi lain ruangan, Kael yang sejak tadi hanya mendengar, akhirnya angkat bicara. Suaranya tegas, datar, tapi cukup untuk memotong ketegangan tipis di antara mereka. “Aku akan membawa kalian ke tempat lain,” katanya singkat, lalu tanpa menunggu reaksi, ia melangkah lebih dulu keluar dari perpustakaan.
Sepatu Kael berderap pelan di lantai marmer koridor, meninggalkan jejak gema yang membuat Lovy dan Samuel saling berpandangan sebentar sebelum akhirnya mengikuti. Tak lama kemudian, Kael menuntun mereka menuju sebuah pintu kayu dengan ukiran halus—pintu menuju ruang musik, tempat yang terasa punya cerita sendiri.
Di ruang musik, langkah Lovy terhenti. Matanya langsung terpaku pada sebuah piano putih berkilau di sudut ruangan—permukaannya memantulkan cahaya lampu kristal di atas, seperti ada kilau bulan yang terperangkap di sana.
"Ini… piano beneran?" suaranya bergetar setengah bercanda, setengah kagum. Ia mendekat dengan langkah ragu, lalu mengulurkan jari, seperti takut menyentuh sesuatu yang terlalu mahal untuk sekadar dipegang. "Kalau aku pencet tombolnya, bakal ada alarm keluar nggak?"
Kael hanya menatapnya datar, ekspresinya hampir tak berubah. Tapi di bibirnya, ada senyum tipis—begitu samar sampai nyaris tak terlihat. “Itu piano. Tidak ada alarm,” ucapnya tenang, seolah jawaban itu lebih dari sekadar kalimat.
Lovy perlahan menepuk-nepuk permukaan piano itu, seakan sedang memberi salam kepada benda yang dianggapnya sakral. “Piano mewah… chandelier mewah…” matanya menelusuri ruangan dengan kagum, melihat pantulan cahaya di dinding dan udara yang terasa ‘mahal’. Bibirnya tersenyum miring. “Rumah ini kayak level bonus di The Sims.”
Samuel memejamkan mata. "Aku benar-benar harus ingetin kamu: kamu lahir kaya, jangan berperilaku seperti turis baru masuk mall besar."
Lovy menunjuk sekeliling dengan dramatis. "Kak, serius, ini beda. Rumah kita kalau dibandingin ini kayak hotel butik lucu. Mansion ini? Ini bandara internasional!"
Kael mendengarnya, tapi hanya mengangkat alis tipis, membiarkan Lovy dengan komentar-komentar liarnya.
Sore menjelang malam. Lovy sudah ganti baju jadi dress sederhana tapi anggun—hasil Samuel yang memaksa.
Meja makan panjang dengan lilin-lilin ramping dan peralatan makan perak sudah disiapkan. Lovy duduk di salah satu kursi, masih ternganga melihat susunan sendok yang terlalu banyak.
Pelayan menyiapkan meja makan panjang, lengkap dengan lilin-lilin ramping dan peralatan perak yang memantulkan cahaya.
Lovy dengan tatapan waspada melihat jumlah sendok. "Kenapa banyak banget? Ini lomba sendok?"
Samuel langsung menepuk jidat. "Basic table manner, Lovy. Jangan bikin malu."
Lovy cengengesan, senyum jahilnya muncul begitu saja. “Santai, Kak. Kael nggak kelihatannya tipe orang yang suka ribet cuma gara-gara sendok.”
Kael tidak menanggapi, bahkan sekilas wajahnya tampak dingin seperti biasa—tenang, nyaris datar. Tapi… ada momen-momen singkat di mana tatapannya berhenti pada Lovy lebih lama daripada seharusnya, seperti ada sesuatu yang ia pikirkan, tapi tak pernah diucapkan.
Samuel melihat semua itu dari kursi seberang meja. Rahangnya menegang, matanya sedikit menyipit. Dalam hatinya, gumamnya terdengar seperti peringatan bagi dirinya sendiri. “Adrian Kaelith Evander. Nama yang terdengar tenang, tapi menyimpan banyak rahasia? Bisa jadi. Aku harus tetap waspada. Kalau dia macam-macam… aku siap.”
Kael masih tetap diam, hanya menatap. Tapi tatapan itu—meskipun tak berkata apa-apa—terkadang kembali singgah di wajah Lovy, seakan mencari sesuatu yang hanya ia tahu jawabannya.
Hening tipis itu terpecah ketika pelayan datang, menghidangkan sup creamy yang beraroma gurih. Lovy berusaha makan dengan anggun, mencoba meniru cara makan di film-film. Namun, beberapa kali tangannya salah mengambil sendok, dan suara sendok yang beradu pelan membuat Samuel menepuk jidatnya sendiri, campuran antara lelah dan tak habis pikir.
Lovy menyendok sup dengan hati-hati. Setelah beberapa suapan, ia tidak tahan. "Kael…" suaranya setengah berbisik, "aku penasaran… mansion sebesar ini, keluarga Evander tinggalnya di mana aja? Ada berapa orang sih?"
Kael menatapnya sebentar. "Hanya aku yang tinggal tetap di sini. Yang lain datang sewaktu-waktu."
Lovy langsung mencondongkan tubuh. "Serius? Rumah segede ini cuma buat kamu?"
Kael angguk kecil.
Lovy melongo. "Wow. Sendirian di istana kayak begini… nggak kesepian?"
Kael tidak menjawab. Hanya tatapan dingin yang—anehnya—membuat Lovy merasa hangat.
Dan tentu saja, Lovy tidak berhenti di situ.
"Terus… soal rumor… mantan-mantan kamu itu beneran banyak ya?" tanyanya tiba-tiba, polos.
Samuel hampir keselek air. "LOVY!"
Pelayan yang menuang wine pura-pura tidak dengar.
Kael menatap Lovy lama. Tatapannya menusuk, tapi bukan marah—lebih ke menilai. "Kenapa kamu menanyakannya?"
Lovy mengangkat bahu santai, seolah beban dunia tidak ada di pundaknya. Ia melontarkan senyum lebarnya—senyum dramatis yang jelas-jelas sengaja dibuat untuk memancing reaksi.
“Aku cuma penasaran,” katanya ringan, lalu menambahkan dengan nada seenaknya, “Tapi… aku nggak peduli, sih. Mau mantan kamu segunung juga bodo amat. Yang penting kamu ganteng.”
Samuel langsung terbatuk keras, hampir tersedak udaranya sendiri. “Astaga…” desisnya, menatap Lovy seperti baru saja mendengar kalimat paling absurd hari itu.
Dan di tengah semua itu, sesuatu yang jarang terjadi… terjadi. Untuk pertama kalinya, bibir Kael melengkung—hanya sedikit, sangat samar, hampir seperti bayangan senyum daripada senyum sebenarnya. Tapi cukup untuk memecah aura dinginnya, cukup untuk membuat Lovy terbelalak.
Matanya membesar, jemarinya refleks menunjuk ke arahnya. “OMG…” katanya setengah berbisik, setengah menjerit, “Casanova dingin bisa senyum juga!”
"Khmm..." dememnya mendengar hal itu cukup membuat Kael menunduk, memilih kembali fokus ke makanannya.
****
SETELAH MAKAN MALAM
Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam.
Samuel memutuskan masuk kamar lebih dulu, menutup pintu dan berkata, "Lovy, tolong jangan bikin masalah malam-malam."
Lovy mengacungkan jempol. "Tenang, Kak."
Tapi begitu Samuel hilang dari pandangan, Lovy menoleh ke koridor panjang mansion, matanya berkilat. "Waktunya tour pribadi."
Lovy mulai melakukan tour pribadinya. Ia mulai mengendap-endap di koridor, membuka pintu-pintu.
Pintu pertama—dapur. "Oh my God, kulkasnya aja gede kayak kamar kos," bisiknya.
Pintu kedua—ruang kerja. "Serius ini kayak markas Batman, minus Batmobile."
Ia terus jalan, sampai akhirnya berhenti di satu pintu kayu besar. "Hmm… kamar siapa ya ini?"
Lovy memutar gagang pelan. Dan…
"—"
Pintu terbuka. Dan di dalamnya, Kael.
Berdiri di depan meja, hanya dengan kemeja abu yang lengannya digulung, kancing atas terbuka.
Lovy langsung membeku. "UH—"
Kael menoleh pelan. Tatapannya dingin tapi tidak terkejut. "Kamu nyasar."
Itu bukan pertanyaan, tapi penyataan. Membuat Lovy tergagap. "I-itu… iya… aku cuma… hmm… liat-liat…"
Kael berjalan mendekat, langkahnya tenang. Ia tidak marah, hanya mengangkat alis tipis. Wajahnya maju semakin dekat di samping kanan Lovy. Ketika sudah tidak ada jarak di antara mereka, Kael membisikkan sesuatu tepat di telinga Lovy. "Mungkin lebih baik kamu lanjutkan lihat-lihatnya... besok."
Lovy mengangguk cepat. Wajahnya panas berada sangat dekat dengan Kael. "Baik! Bisa minggir dikit? Kalau aku gak sengaja hadap kanan dikit, maka akan terjadi percipokan kan?" ceplosnya dengan jantung berdetak kencang.
Kael menjauh dari telinga Lovy terkekeh sambil berkata, "tunggu apa lagi?" sambil menunjuk ke arah pintu keluar.
"Iya! Besok! Oh, Oke! Sorry!" panik Lovy. Ia langsung mundur, hampir menabrak pintu, lalu lari kecil kembali ke kamarnya.
Tapi beberapa menit kemudian, Lovy belum bisa tidur. Ia keluar ke balkon kecil di kamarnya, menatap langit malam.
Dan dari balkon di ujung lain—Kael ada di sana.
Mereka saling menatap, jaraknya jauh tapi tatapannya terasa dekat.
Lovy menggigit bibir, lalu setengah berteriak pelan. "Kael!"
Kael menoleh. "Apa?" hanya gerakan mulut tanpa suara. Alisnya terangkat sedikit, tapi matanya terasa lebih lembut dari sebelumnya.
Lovy mengangkat tangan, melambai kecil. "Thanks buat makan malam… dan tour rumahnya… dan… semuanya."
Kael hanya menatap. Tapi ada senyum tipis di bibirnya. "Ah ya! Selamat datang di mansion, Lovy. Kamu harus betah di sini."
Lovy terdiam. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat mendapat tatapan Kael. Ia tidak dengar apa yang di ucapkan Kael karena memang pria itu tidak berteriak sepertinya. Tapi ia paham maksud gerakan mulut Kael.
"Casanova dingin…" bisiknya, "kayaknya aku bakal betah di sini."
Malam itu, mansion yang terlalu besar itu terasa sedikit lebih hangat.
.
.
.