Menjadi istri tapi sama sekali tak di anggap? Bahkan dijual untuk mempermudah karir suaminya? Awalnya Aiza berusaha patuh, namun ketidakadilan yang ia dapatkan dari suaminya—Bachtiar membuat Aiza memutuskan kabur dari pernikahannya. Tapi sepertinya hal itu tidak mudah, Bachtiar tak semudah itu melepaskannya. Bachtiar seperti sosok yang berbeda. Perawakan lembut, santun, manis, serta penuh kasih sayang yang dulu terpancar dari wajahnya, mendadak berubah penuh kebencian. Aiza tak mengerti, namun yang pasti sikap Bachtiar membuat Aiza menyerah.
Akankah Aiza bisa lepas dari pernikahannya. Atau malah sebaliknya? Ada rahasia apa sebenarnya sehingga membuat sikap Bachtiar mendadak berubah? Penasaran? Yuk ikuti kisah selengkapnya hanya di NovelToon!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter —20
“Kenapa, Bapak, nggak pernah ngomong sama, aku, kalau selama ini penyakit jantung, Bapak, semakin parah?” tanya Aiza. Wajah lemah Nasir membuatnya sungguh pilu. Tak tega, sekaligus takut kehilangan andai saja Ausal tak tanggap langsung membawa sang Bapak ke rumah sakit.
“Bapak, nggak sakit, Aiza, Hanya saja—” Nasir menggantungkan kalimatnya. Mengingat akan alasan Bachtiar melayangkan gugatan cerai kepada Aiza membuat dadanya tiba-tiba saja sesak.
“Bapak, kenapa? B- Bapak istirahat saja. Pertanyaan, aku, barusan nggak usah dijawab.” Aiza begitu panik. Melihat sang Bapak yang memegangi dada, ia langsung mengulurkan tangan reflek mengusap bagian yang tersentuh oleh tekanan tangan Nasir.
Hendak membantu meredakan kesakitan dibagian tersebut. Tetapi ia paham apa yang dilakukannya sama sekali tak berguna untuk meredakan kesakitan itu.
Bangkit dari duduknya, Aiza bergegas memanggil perawat untuk memeriksakan keadaan Bapaknya. Perasaan cemas menyelimuti, tak sanggup melihat Nasir yang kesakitan karena perntanyaannya?
Aiza menjadi paham kenapa Dokter menyarankan agar Nasir dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Saking kronisnya penyakit jantung yang Nasir derita, sehingga mendengar pertanyaan yang menurut Aiza ringan seperti tadi saja Nasir tidak bisa?
perawat kemudian datang, berikut dengan satu Dokter jaga memeriksa keadaan Nasir. Menyuntikkan cairan obat sebagai pereda atas rasa tertekan yang dirasakan oleh Nasir.
Usai memberi obat penenang, Dokter kemudian mengajak Aiza berbicara. Membahas bukan hanya tentang penyakit, namun juga rujukan yang harus disegerakan.
“Jadi, Mbak, saran saya hari ini juga, Bapak Nasir, harusnya dibawa ke rumah sakit yang lebih memadai. Agar mendapat penanganan lebih lanjut sesegera mungkin,”ucap Dokter muda tersebut.
Aiza tampak linglung. Ucapan Dokter yang mengatakan agar Nasir segera dipindahkan membuat ia sakit kepala jadi banyak pikiran.
Bagaimana tidak, untuk saat ini saja Aiza sama sekali tidak memegang uang. Lantas, dengan apa ia harus membawa Nasir ke rumah sakit lebih besar—yang pasti akan menghabiskan biaya lebih besar pula.
Selama ini Nasir tidak mengurus jaminan kesehatan. Bukan karena tak mau, melainkan tak mampu. Untuk makan sehari-hari saja susah, bagaimana lagi ia bisa memikirkan untuk iuran bulanannya?
“Makanya, jadi orang itu yang tahu diri. Udah enak dapat lelaki kaya, tapi malah disia-siain. Begini ‘kan jadinya!” Intan yang baru saja datang tiba-tiba menimpali, saat melihat ekspresi murung Aiza usai ditinggal pergi oleh Dokter untuk membuatkan surat rujukan terhadap Nasir.
Ya, entah apa yang ada dalam pikiran Aiza. Ia yang saat ini tidak memiliki apa-apa itu langsung meminta sang Dokter untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar Nasir bisa segera dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar.
“Asal kau tahu, ya. Jangan karena gara-gara pengobatan, Bapak, kau berharap kami mau menjual rumah. Aku pastikan, aku dan Ibu nggak akan pernah menyetujui hal itu. Toh, Bapak, juga sudah tua. Mungkin sudah saatnya kini ia menemui ajalnya!” dengkus Intan.
Keterlaluan. Aiza sama sekali tidak menyangka jika sang kakak akan berujar demikian. Selama ini selain menyayanginya, Nasir juga tak urung melimpahkan kasih sayang terhadap Intan.
Sedari kecil, Intan terlalu peminta—segala hal menuntut dipenuhi oleh Nasir. Sampai membuat lelaki tua itu memerah keringat bekerja sangat keras hanya untuk bisa mewujudkan apa yang di-inginkan putrinya.
Tapi sekarang saat pria tua itu sudah tidak bertenaga, sang putri yang sedari kecil sudah dipenuhi segala keinginannya itu malah sama sekali tidak ingin berjuang untuknya?
Aiza memicing. Ia menatap rendah pada Intan. Bagaimana bisa ada anak kandung sebegitu rendah seperti Intan, yang sama sekali tak memikirkan kesehatan serta kesembuhan orang tua?
Aiza berkata,- “Tidak perlu, Kakak, jual rumah yang harganya tak seberapa itu. Aku akan membiayai sendiri pengobatan, Bapak, sampai sembuh!”
Nada bicara Aiza terdengar ketus. Rautnya memancarkan kemarahan. Intan bisa melihat itu, lantas tidak senang menimpali,- “Silahkan! Lagi pula memangnya kau punya uang untuk biaya berobat, Bapak? Bukankah kau sudah dicerai oleh suamimu yang kaya itu, karena ketahuan berzina dengan lelaki lain?”
Lontaran kalimat yang begitu menyakitkan. Belum lagi tatapan rendah Intan yang jelas sekali melihat Aiza bagai seorang perempuan bi nal, membuat Aiza seketika murung.
Merasa di atas angin melihat kemuraman di wajah Aiza. Intan kembali menimpali ucapannya,- “Harusnya sekarang kau bisa bantu, Bapak. Bisa minta sama suami kayamu itu. Tetapi sekarang malah nggak bisa dimanfaatin. Gara-gara kau nya sendiri sih, punya apem sekali digaruk langsung gatal terus, sampai nyodorin sana-sini!”
Berharap mental Aiza semakin jatuh. Tetapi sepertinya hal tersebut tidak terjadi. Intan harus memekik kesakitan akibat pergerakan mulutnya yang terlalu gegabah, yang langsung ditimpali Aiza dengan telapak tangannya.
Plaaakk!!
Pekikan terdengar. Orang-orang sekitar juga tak urung melihat. Kegaduhan dari kakak beradik itu menjadi tontonan para perawat yang berlalu lalang tidak berani mendekat. Yang membuat Intan malu adalah ia terlihat memalukkan karena merasa kalah?
Ingin membalas. Intan melayangkan tamparan yang sama terhadap Aiza. Namun, pergerakannya tak sampai melandas, karena kini pergerakan tangannya tergenggam erat oleh tangan Aiza.
Aiza memelintir.
“A- aduuuhhh…” Keriuhan di mulut Intan semakin tak terkendali.
Bagaimana tidak, belum lagi habis rasa sakit dari tamparan yang ia terima dari Aiza, sekarang anak pungut tak tahu diri itu malah mau mematahkan tangannya?!
“Kurang ajar! B- berani … beraninya kau, Aiz—”
“Akhhhh!!”
Plaaaaakkkk!
Kali ini tak hanya Intan yang merasakan sakit. Tapi juga Aiza. Namun, berbeda dengan Intan, wanita muda itu tak bersuara.
Aiza memicingkan pandangannya. Sorotnya tampak tajam ke arah sosok yang barusan telah berhasil membuat sebagian dari wajahnya terasa panas. Wanita muda itu tak mengerjap, sampai membuat sosok yang selama ini tak pernah dibantahnya berang.
“Dasar anak nggak tahu diri! Sudah syukur selama ini kami tampung, dan kami hidupi. Tapi kau malah nggak ada tahu terimakasihnya. Sekarang, kau pukul anakku. Besok aku. Memang seharusnya dari dulu aku larang kau di pungut oleh suamiku, jika saja aku tahu kau bisa sekurang ajar ini dengan kami!” ucap Ningsih.
Teriakan Ningsih semakin menambah keriuhan suasana di dalam area penting pasien tersebut. Mencuri atensi tak hanya perawat serta dokter jaga, tapi juga para kerabat pasien yang sedang berjaga.
Tak terkecuali Nasir yang saat ini sudah sadar. Air matanya luruh tatkala ia mendengar gema sang istri yang memenuhi ruangan. Aiza sudah datang, ia memegangi dadanya. Lantas mengeluh sakit tidak tertahankan, terlihat oleh kerabat pasien yang ada di sebelahnya.
“Dokter, perawat! Perawat! Cepat datang ke mari! Penyakit jantung, Pak Nasir, kambuh!”
Alhasil tak hanya perawat yang kalang kabut mendengar hal tersebut. Aiza, Ningsih, serta Intan juga ikut cemas. Namun, ketika Aiza ingin melihat keadaan sang Bapak. Langkahnya langsung dicegat oleh Ningsih.
“Kau lihat ‘kan? Ini semua karena ulahmu yang tidak bisa benar menjadi istri, Bachtiar!” bentak Ningsih menyoroti Aiza dengan tatapan nyalang serta merendahkan, dihadapan semua orang yang ada di sana, membuat Aiza semakin larut dalam rasa bersalah nya.
Bersambung.