Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.
Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.
Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.
•••
Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.
Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.
Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.
⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Nyaman, di Kamar Bencong?
***
Aku mendesah panjang, pelan-pelan memutus panggilan sambil menatap langit-langit.
Oke, Brea Simamora. Hari ini kamu: harus serba bisa.
Dengan langkah cepat, aku mendekati kamar mandi. Langsung ngeliat Dimitry masih nyender di dinding, keringat dingin di pelipisnya, bibirnya tremor, bulu matanya nyaris lepas sebelah.
“Tenang, Ben… eh, Dede… maksudnya,” ujarku sambil jongkok di sampingnya.
“Aku bantuin keluar keluar dulu. Tapi habis ini… kita harus ngobrol. SERIUS.”
Aku meraih lengan Dimitry dengan hati-hati, walau sebenernya aku juga gak yakin ini lengan asli atau hasil gym dan suntik vitamin C.
Dia meringis makin dalam saat aku menyentuhnya.
“Sakit banget ya?” tanyaku, setengah simpati, setengah panik.
“Rasanya tuh kayak... tulang ekorku diaduk-aduk blender, Sis,” desah Dimitry dramatis, lengkap dengan ekspresi ala sinetron striping. “Ini pasti karma. Kemarin aku habis nyinyirin pantat SPG minimarket…”
Aku menghela napas berat. “Terserah kamu deh. Ayo pelan-pelan, berdiri dulu.”
Dengan susah payah, aku bantu dia bangkit. Posisi kami… janggal. Tanganku di bawah ketiaknya, sementara badannya nempel di dadaku. Keringatnya udah membasahin daster ungu fantanya, dan baunya… surprisingly harum. Wangi hair mist mahal ketemu bedak bayi.
“Aduh... pelan, pelan, sayang...” Dimitry merintih manja.
“Eh, jangan panggil aku sayang. Fokus dulu, kita harus keluar dari kamar mandi sebelum kepalamu benjol lagi,” sahutku cepat.
Langkahnya terpincang, tapi dia bersikeras gak mau aku gendong.
“Maaf, Princess. Aku memang bencong, tapi bukan beban hidup. Masih bisa jalan sendiri.”
Aku nyaris ketawa, tapi ku tahan. Gak tega juga. Satu tangan derek nempel di pinggangku, satu lagi nyangkut di tembok, gaya kami udah kayak pengantin baru abis nyoba pose yoga patah tulang.
Sampai akhirnya kami berhasil tiba di ranjang. Aku bantu dia duduk perlahan.
“Sebelah kanan, lemarinya,” lirih Dimitry sambil pegang pinggang.
Aku buru-buru buka laci biru kecil itu. Isinya… penuh.
Obat-obatan, balsem, tumpukan tisu basah, sampai notes kecil warna pink bertuliskan: ‘Minum jam 10 pagi atau gue bacok!’
Tanda tangan di bawahnya: Yasmin .
Aku angkat satu botol putih tutup merah.
“Ini, ya?” tanyaku sambil menunjukkan.
Dia mengangguk lemah. “Kamu malaikatku… meski wajah kamu kayak mau nendang aku keluar jendela.”
“Udah minum dulu obatnya, baru kamu bisa ku tendang dengan tenang,” sahutku ketus sambil bantuin dia buka tutup botol.
Setelah telan dua kapsul dengan air putih, Dimitry akhirnya rebahan perlahan. Napasnya masih berat, tapi wajahnya mulai tenang. Bulu matanya nggak bergetar lagi.
Aku duduk di tepi ranjang, masih bengong.
Ini pagi macam apa? Udahlah salah kamar, ketemu bencong, nyelamatin bencong, terus sekarang...
Aku duduk di kamar bencong, sambil nontonin dia istirahat kayak anak ayam jompo habis gladi resik.
Tiba-tiba, suara serak Dimitry terdengar pelan.
“Tadi kamu manggil aku Ben, ya? Maksudnya Bencong, Kan?”
Dia membuka matanya sebelah, senyumnya tipis tapi jahil.
“Cantik-cantik, ternyata mulutmu LEMES juga ya, Sis.”
'Pamp!!!'
Auto ku lempar bantal di tangan ke mukanya dia.
***
Setelah perang bantal selesai, kami kelelahan.
Dimitry lanjut selonjoran di atas ranjang, napasnya udah mulai stabil. Tapi dari sorot matanya, aku tahu: dia belum sepenuhnya tenang.
“Kalau kamu haus, ambil aja minuman di kulkas,” katanya, nada suaranya udah gak se-nyinyir sebelumnya. “Minuman kaleng. Gak ada alkohol, tenang aja. Aku lagi puasa dunia malam.”
Aku berdiri pelan, nyamper ke kulkas kecil di pojok ruangan. Buka pintunya, dan… benar aja. Deretan minuman kaleng manis, ada yang rasa jeruk, anggur, dan satu lagi bertuliskan “Choco Almond Milk for Broken Hearts.”
Aku ambil dua. Kasih satu ke dia, satu buatku.
Kami duduk berdampingan di ujung ranjang. Dia nyeruput pelan, aku juga. Beberapa detik cuma diisi suara desisan kaleng dan embusan AC.
Lalu, aku nanya.
“Yasmin ... temenku. Sejak kapan kamu kenal dia?”
Dimitry senyum kecil, tapi gak langsung jawab. Dia muter-muter kaleng minumannya dulu, kayak lagi nyari keberanian di balik logo botol.
“Dua tahun lalu. Aku sempat... breakdown. Waktu itu belum tahu apa yang aku alamin tuh namanya panik attack. Aku pikir cuma kebiasaan pick me doang. Tapi suatu hari, aku pingsan pas syuting, literally kayak bencong habis nonton film horor. Yasmin ada di sana. Dia yang bawa aku ke tempat dia, terus... sejak itu dia jadi kayak... pengingat hidup.”
Aku noleh, menatap dia. “Dan kamu... nurut aja disuruh minum obat tiap hari sama dia?”
Dimitry nyengir. “Kamu pikir gampang nolak Yasmin ? Suara dia aja bisa nyilet hati netizen. Aku nurut bukan karena takut, tapi... ya... kadang butuh satu orang yang maksa kita hidup waras, walau kita keras kepala.”
Aku diem.
Rasanya... aneh. Baru kenal, tapi aku duduk di sini, di sebelah banci dasteran yang barusan kepleset, sambil minum susu almond dan ngobrolin trauma hidup.
“Aneh ya,” gumamku lirih. “Biasanya aku langsung kabur kalau ketemu yang... chaotic kayak kamu.”
“Chaotic?” Dia tertawa pelan. “Kamu juga gak kalah chaos, Sis. Lihat aja, baru sejam kenal, kamu udah ngurusin pinggang aku dan nemu lemari rahasia obat-obatan aku.”
Aku ikut ketawa.
Tapi detik berikutnya, kepalaku rasanya berat. Kelopak mataku mulai jatuh gak kerasa, napas makin pelan.
Gak tau kenapa, atau gimana, tapi tiba-tiba matras empuk ini kayak magnet. Aroma ruangan ini—campuran parfum maskulin dan sabun bayi—aneh banget… menenangkan.
“Ngantuk ya?” suara Dimitry terdengar samar.
"Hum,,," Aku cuma bergumam, “Cuma bentar... rebahan dikit doang...”
Lalu semua jadi gelap.
Aku, Brea Simamora, konsultan digital branding andalan Jakarta...
Tertidur di kamar seorang banci bernama Dede, .
Setelah salah kamar.
Setelah bantuin dia bangun dari kamar mandi. Aku malah merasa nyaman, entah kenapa.
Dan aku lupa tujuan sebenarnya aku datang kesini buat apa. Sampai,,,,
***
Besoknya,,,
Aku bangun dengan mata sepet, leher pegal, dan mulut bau minuman kaleng bekas kemarin.
Cahaya lampu tidur nyorot brutal ke mata. Aku refleks duduk, mataku langsung ngarah ke jam digital di atas nakas.
04.17
“YA ALLAH! RAPAT BARENG MBAK KEKE?" jeritku panik, lompat kayak ikan mujair kesetrum.
Tapi baru setengah detik setelah panik, muncul panik yang lebih besar:
AKU GAK PAKAI BAJU.
“…HAH?!”
Aku nengok ke kanan—dan dunia rasanya langsung kebalik. Serius, ini bukan sinetron klasik.
Ada cowok. Di sebelahku. Gak pakai baju juga. Tidur.
“DE-DE?!!” teriakku dalam hati sambil nahan napas, takut dia kebangun.
Apa yang terjadi semalam?!
Kenapa aku telenji?!
Kenapa dia telenji juga?!
Kenapa ada bulu mata palsu nyangkut di ujung bantal?!
INI APA?! RITUAL?!
Aku buru-buru narik selimut sampai dagu, jantungku rasanya mau copot.
Baru mau mikir keras, tiba-tiba.
'DUG DUG DUG DUG!!!'
Pintu depan digedor keras.
Bukan digedor biasa. Ini mah gaya Densus 88 mau gerebek sarang teroris.
“BREA CELESTINE SIMAMORA! BUKA PINTUNYA SEKARANG JUGA!!”
Aku langsung membatu.
Suara itu…
Suara Ayah.
“YA AMPUN YA ALLAH YA RABBI! Ayahku—!!” aku hampir pingsan saking syoknya. “Kok bisa dia di sini?!”
***