Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20
Lintang berdiri di balik tirai kantor lantai empat, tatapannya tajam menembus kaca. Dari atas sana, ia bisa melihat mobil hitam milik Livia baru saja tiba di pelataran gedung.
Pintu terbuka dan Ganendra dengan cekatan membukakan pintu untuk wanita itu. Seulas senyum Livia melengkung, tangan kirinya dengan santai menepuk bahu Ganendra. Entah kenapa pemandangan itu membuat napas Lintang tercekat.
"Kenapa harus dia? Kenapa selalu dia yang dapat segalanya?" gumamnya lirih, nyaris seperti desahan kesal yang tertahan lama di dada.
Tangannya mengepal. Kukunya sampai menancap di telapak. Cinta yang selama ini ia simpan rapat untuk Ganendra, perlahan berubah menjadi bara. Ia tahu siapa dirinya hanya cucu kedua, bukan pewaris utama, bukan juga perempuan yang diperhitungkan. Tapi bukan berarti ia tak punya rasa. Dan pria itu Ganendra bukankah selama ini selalu sopan padanya? Bukankah sempat ia pernah mengatakan cinta tapi,pemuda itu terang-terangan menolaknya malah tatapan Ganendra melihat Livia seperti tatapan bukan bawahan ke majikannya.
"Apa semua itu cuma basa-basi sopan seorang bawahan? Cuma karena aku bukan Livia?"
Matanya mulai berkaca. Tapi air mata itu tak ia izinkan jatuh.
"Aku nggak akan tinggal diam. Kalau Kakek bisa buat Livia bersinar, aku juga bisa. Bahkan lebih. Dan kamu, Ganendra..." Lintang menyeringai getir, "kamu akan lihat siapa yang pantas di sisimu nanti."
Perlahan ia melangkah pergi, langkahnya mantap, tapi hatinya retak. Cinta yang seharusnya indah, kini berubah jadi racun yang siap menyebar dalam diam.
Sore itu langit mendung, tapi suasana dalam salon mewah di pusat kota justru hangat dan tenang. Livia duduk di kursi perawatan dengan rambut separuh terurai, wajahnya dirias lembut oleh tangan-tangan profesional.
Di sisi lain, Ganendra tampak canggung duduk di kursi grooming pria, sesekali melirik ke arah Livia yang sedang tertawa kecil dengan hair stylist.
"Baru kali ini saya disuruh masuk salon," gumam Ganendra pelan sambil melihat ke cermin, memperhatikan rambutnya yang mulai ditata.
Livia yang mendengarnya hanya melirik sejenak lalu tersenyum geli.
“Udah waktunya penampilan kamu berubah,” ujarnya ringan. “Nggak enak dilihat orang kantor kalau kamu masih kelihatan kayak supir pribadi.”
Ganendra menghela napas singkat, mencoba bersikap biasa. “Saya nggak keberatan kok kelihatan kayak supir, asal masih bisa jagain Mbak.”
Ucapan itu membuat Livia menoleh, menatapnya lekat lewat cermin. Untuk sesaat, dunia seolah meredam suara hair dryer dan tawa orang-orang. Ada yang menghangat di dada Livia.
“Kamu selalu ngomong kayak gitu,” bisiknya pelan.
Ganendra tersenyum kaku, tidak tahu harus menanggapi apa. Tapi dalam hati, ia pun merasakan detakan aneh yang berbeda.
Ketika perawatan selesai, keduanya keluar dari salon dengan penampilan yang segar. Ganendra tampak lebih rapi dan berkelas, tak lagi terlihat seperti mantan supir.
Ia mengenakan kemeja putih bersih yang baru saja diberikan Livia, celana hitam slim fit dan rambutnya kini tersisir ke belakang.
Sedangkan Livia, dengan sentuhan makeup natural dan rambut bergelombang lembut, tampak semakin memikat.
"Kayak pasangan," celetuk resepsionis salon sambil tertawa kecil.
Livia pura-pura tak dengar, tapi pipinya merona. Ganendra hanya menunduk, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
“Sekarang, kita lanjut ke butik,” ucap Livia sembari melangkah duluan.
Ganendra hanya mengangguk, namun dalam hatinya ia tahu sore ini bukan cuma penampilannya yang berubah, tapi juga sesuatu di antara mereka yang mulai bergetar pelan, perlahan, namun pasti.
Mobil melaju tenang membelah jalanan sore kota, menyisakan rintik hujan tipis di kaca jendela. Musik klasik instrumental mengalun pelan dari sistem audio, menambah suasana hangat yang aneh di dalam kabin.
Ganendra, yang duduk tegap di kursi kemudi, sesekali melirik ke spion untuk memastikan keadaan sekitar. Sedangkan Livia bersandar santai di jok belakang, memainkan jari di pinggiran tasnya yang elegan.
“Ndra,” panggil Livia lembut.
“Iya, Bu?” sahut Ganendra cepat, matanya tetap fokus ke jalan.
“Hari ini kamu keliatan beda banget,” Livia menggoda dengan nada datar tapi mengandung sesuatu.
Ganendra sempat menoleh sekilas lewat spion tengah. “Berarti selama ini saya kelihatan buruk, ya?”
Livia tertawa pelan. “Bukan gitu maksudku namun hari ini kamu kelihatan kayak cowok-cowok di drama Korea yang sering bikin tante-tante susah tidur.”
Ganendra terkesiap kecil, refleks menelan ludah. “Saya nggak ngerti maksudnya.”
Livia tersenyum simpul matanya menatap wajah Ganendra melalui bayangan kaca depan.
“Coba kamu pikir cewek seusia aku, tujuh tahun lebih tua dari kamu, lihat anak muda yang seger, rajin, tampan dan setia jagain gimana nggak kepikiran yang macem-macem?”
“Mbak..” suara Ganendra melemah, hampir seperti bisikan. “Saya ini cuma..”
“Supir pribadi?” sela Livia cepat. “Tapi siapa bilang supir pribadi nggak bisa bikin jantung majikannya deg-degan?”
Mobil sempat melambat saat lampu merah menyala. Ganendra menarik napas dalam, menahan gejolak yang entah kenapa terasa asing di dadanya.
Sementara Livia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menyandarkan dagu di sandaran jok depan.
“Aku tahu kamu nggak biasa digombalin, tetapi percayalah, kalau kamu terus kelihatan kayak gini, bisa-bisa aku yang makin susah jaga perasaan.”
Ganendra terdiam, tangannya masih menggenggam erat kemudi. Lampu hijau menyala dan mobil kembali melaju.
Namun sejak detik itu, suara hujan tak lagi terdengar sama dan detak jantung mereka terasa mulai berpacu tak beraturan di dalam keheningan kabin.
Mobil masih melaju tenang di tengah kota yang mulai padat oleh lalu lintas sore. Di dalam kabin yang hangat dan remang-remang, Livia kembali bersandar santai, menyilangkan kakinya dengan anggun. Matanya melirik ke arah wajah Ganendra dari pantulan kaca depan.
Tiba-tiba tanpa aba-aba, ia bertanya pelan tapi tajam, “Kamu dua puluh tiga, kan?”
Ganendra menoleh sekilas, ragu menjawab, “Iya, mbak. Memangnya kenapa?”
Livia tersenyum tipis, bibirnya menahan sesuatu yang sengaja ingin ia ucapkan dengan lirih.
“Aku tiga puluh menurut kamu, masih cocok nggak?” tanyanya pelan, nada suaranya seperti bercanda, tapi matanya menatap penuh makna.
Ganendra seketika kaku. Tangannya mencengkeram kemudi sedikit lebih erat dari sebelumnya. Ia menelan ludah, bingung harus menanggapi dari sisi mana.
“Cocok untuk... apa, Mbak?” tanyanya hati-hati.
Livia tertawa ringan. “Ya cocok aja. Jalan bareng, nongkrong, duduk sebelahan. Kamu malu kalau orang lihat kita berdua? Takut dibilang anak muda yang digodain tante?”
Ganendra diam, sorot matanya kembali ke arah jalanan di depannya namun jantungnya berdetak tak karuan.
“Saya nggak malu, Mbak. Cuma saya takut salah bersikap,” ucapnya jujur.
Livia menatapnya lama udara di antara mereka menghangat.
“Kalau kamu takut salah, berarti ada niat buat ngelakuin hal yang bisa salah dong?” lirihnya sambil tersenyum nakal.
Ganendra menarik napas panjang. Kali ini ia benar-benar tak sanggup membalas. Ia hanya memfokuskan diri pada jalanan yang tiba-tiba terasa terlalu sempit.
Sementara di jok belakang, Livia tersenyum puas. Ia tahu permainan barunya baru saja dimulai.