Kehidupan sempurna. Paras cantik, harta melimpah, suami yang berkuasa. Nayla merasa hidupnya begitu sempurna, sampai ketika Stefan suaminya membawa seorang gadis muda pulang ke rumahnya. Kecewa dan merasa terkhianati membuat Nayla memutuskan untuk menuntut cerai suaminya ...
Dan di saat terpuruknya, ia menerima lagi pinangan dari seorang pria muda bernama Hayden yang menjanjikan kebahagiaan baru padanya ...
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mari bersama-sama simak ceritanya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjaga Jarak
Nayla terdiam menatap Hayden di kejauhan. Ia begitu dilema. Akhirnya, ia menemukan siapa Elf sebenarnya. Tapi, dilain sisi ia juga merasa bingung apa yang harus ia lakukan saat ini.
Walaupun rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. Posisinya saat ini membuatnya tertahan untuk berhubungan lebih dekat dengan Hayden. Akan banyak pasang mata yang mengikuti mereka.
Saat ia tenggelaman dalam pikirannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata Hayden menelponnya dengan nomor Elf. Dengan berat akhirnya, Nayla menerima telepon itu.
"Halo, My Lady ... Apakah anda bisa melihat saya dari atas sana?" Tanya Hayden dengan suara riangnya.
"Hmm." Jawab Nayla singkat.
Pertama kali itu, ia mendengar langsung Elf atau Hayden memanggilnya 'My Lady'. Rasanya aneh sekaligus menggelitik.
"Apakah ada yang salah, My Lady?" Tanya Hayden heran mendengar jawaban singkat dari Nayla.
"Maaf tuan Elf ... Maksud saya tuan Hayden. Sebaiknya, kita tetap mempertahankan hubungan pertemanan ini melalui pesan saja." Ucap Nayla hati-hati.
"Ada apa My Lady? Apa saya sudah berbuat salah pada anda?" Tanya Hayden tak terima.
"Tenanglah tuan. Jangan marah dulu. Saya hanya merasa jika kita berdua terlihat sering bertemu akan muncul rumor yang buruk. Akan banyak mata yang mengamati kita. Kita akan selalu berhati-hati dalam bersikap. Saya rasa itu akan jauh lebih merepotkan." Jawab Nayla berusaha menjelaskan.
Mendengar itu Hayden diam tak menjawab.
"Cukup seperti ini, sudah membuat saya senang. Kata-kata anda selama ini selalu menguatkan saya. Terima kasih ... Ah, ya. Masih ada pekerjaan yang harus saya kerjakan. Saya tutup dulu, selamat malam." Ucap Nayla buru-buru sebelum Hayden menyanggah perkataannya lagi.
Sekilas ia kembali menatap Hayden di kejauhan. Baru setelah itu, ia berbalik dan kembali ke meja kerjanya. Ia menggenggam rapat ponselnya, sambil memejamkan mata seakan berpikir kalau keputusan yang sudah ia ambil saat itu sudah keputusan yang benar.
Hayden sendiri cukup terkejut dengan keputusan Nayla. Ia bertanya-tanya kenapa Nayla memilih untuk tetap berdiam diri dan mengubur perasaannya. Hayden tahu, dia hanyalah seorang pria asing yang baru dikenalnya. Wajar jika Nayla bersikap waspada padanya. Tapi, sikapnya yang berusaha selalu terlihat tegar dan baik-baik saja sampai menekan perasannya sendiri bukanlah hal wajar.
Hayden sudah mengamati Nayla sejak lama. Ia tahu dibalik sikap dewasa, anggun dan dinginnya. Nayla juga hanyalah seorang wanita biasa dengan hati yang lembut. Dibalik wajah kuat dan tegarnya, ia tahu gadis itu sering menangis secara rahasia dan hancur dalam diamnya.
Hayden pernah melihat itu, betapa rapuh dan tak berdayanya Nayla. Lingkungannya bahkan suaminya yang harusnya menjadi tempat ia bersandar justru juga menuntutnya sempurna, tanpa mendengarnya. Saat gadis itu ingin menangis dan berteriak lelah, dunianya membuatnya terus menahan air mata dan kesedihannya. Sampai, ia lupa untuk beristirahat.
Hayden menganggumi sikap Nayla yang bisa terus bangkit sesusah apapun masalah yang dihadapinya. Namun, ia juga menyesalkan sikap Nayla yang terus berusaha menyembunyikan sosoknya yang rapuh, bahkan pada orang terdekatnya. Dan Hayden, ingin menjadi satu-satunya tempat gadis itu pulang dan bersandar.
"Walaupun, kamu menolakku saat ini. Aku akan terus berusaha menggenggammu. Aku tak akan membiarkanmu sendirian lagi ..." Tekad Hayden menatap ruangan Nayla berada dari kejauhan.
...
Matahari pagi menyinari tirai tipis kamar Nayla. Ia menggeliat dalam tidurnya dan mulai membuka matanya. Ia menguap sebelum berusaha menarik diri untuk bangun dari atas tempat tidur. Perasaannya masih terasa berat mengingat percakapan terakhirnya dengan Hayden.
Tak mau berlarut-larut dalam masalah itu. Nayla segera menepuk-nepuk wajahnya untuk menyadarkan diri. Barulah setelah itu segera ke kamar mandi.
Kemudian, saat ia masih bersiap-siap. Seorang pelayan datang dan menyampaikan pesan dari Stefan.
"Maaf mengganggu waktu anda nyonya. Tuan Stefan ingin bertemu dan mengobrol dengan anda sekarang di ruang makan." Ucap pelayan itu dengan sopan.
"Sekarang?" Tanya Nayla acuh. Ia ingin menolak ajakan Stefan itu.
"Iya nyonya. Kata beliau, ini berhubungan dengan jamuan makan malam akhir pekan nanti." Ucap pelayan itu hati-hati. Nayla hanya bisa membuang nafas berat mendengarnya.
"Baiklah." Ucap Nayla singkat.
Setelah selesai bersiap, Nayla segera menemui Stefan di ruang makan.
"Ada apa?" Tanya Nayla setelah memasuki ruang makan tanpa basa-basi.
"Bisakah kamu menyediakan satu kursi lagi di jamuan makan malam istimewa itu?" Tanya Stefan yang juga langsung ke intinya.
"Kenapa mendadak sekali? Adakah salah satu tamu yang mengundurkan diri atau proposal pekerajaannya di rasa kurang memuaskan?" Tanya Nayla bingung.
"Tidak. Bukan itu." Jawab Stefan singkat.
"Lalu, untuk siapa?" Tanya Nayla bingung.
"Aku ingin mengundang Roselyn lagi ke jamuan makan malam itu, seperti saat event tahun baru kemarin." Ucap Stefan dengan suara yang cukup tercekat di tenggorokannya.
Nayla masih diam mematung mendengar alasan Stefan meminta ada tambahan kursi.
"Kenapa bertanya padaku? Bukankah selama ini kau juga sudah melakukan banyak hal dengan keinginanmu sendiri." Sindir Nayla sambil menatap jengah pada Stefan.
"Itu kan menunjukkan kalau aku masih menganggapmu." Ucap Stefan tak mau disalahkan. Nayla hanya diam dengan ekspresi muak.
"Lalu bagaimana? Kamu belum menjawab pertanyaanku. Bisa tidak?" Tanya Stefan sekali lagi.
"Tidak bisa." Jawab Nayla santai. Seketika alis Stefan mengerut.
Ia memang sudah menduga jawaban itu. Kemungkinan kecil memang ia bisa mengajak Roselyn lagi. Tapi, mendengar penolakan yang begitu tegas dari Nayla membuatnya tak senang.
"Apa sungguh tidak ada cara lain? Sepertinya kamu sama sekali tidak memikirkan permintaanku, Nay." Ucap Stefan tak terima.
"Tidak bisa Stef. Kalau kau mau terus memaksa, tentu saja aku bisa menambahkan satu kursi lagi. Tapi, kau juga tau konsekuensinya. Tentu saja, gadis kesayanganmu itu akan menjadi pusat perhatian. Terlebih dia tak punya proposal bisnis apapun. Asal usulnya tak jelas. Kepentingannya pun tak ada. Silahkan saja, kalau kau mau hubungan gelapmu itu diketahui orang banyak." Cerca Nayla menantang. Mendengar itu, ekspresi Stefan berubah jadi dingin.
"Kamu sangat dingin Nay ..." Ucap Stefan sambil menatap kesal ke arah Nayla.
"Tentu saja. Ini kan yang kau mau dariku selama ini. Lagipula, dia kan simpananmu. Kenapa kau selalu saja mengusikku untuk kepentingannya. Selesaikan lah sendiri masalah simpananmu Stefan. Jangan selalu libatkan aku." Seru Nayla yang juga mulai merasa kesal.
Setelah itu, Nayla lebih memilih langsung meninggalkan ruang makan sebelum Stefan kembali menjawabnya. Pagi itu, perasaannya jadi langsung berubah kacau. Ia segera kembali ke kamar. Ia sangat terkejut melihat makanan sudah tersaji di meja kamarnya.
"Kenapa ada makanan di sini?" Tanyanya bingung.
"Kami sengaja menyiapkannya untuk anda nyonya. Kami tau anda tak akan berselera makan di sana tiap kali tuan Stefan memanggil anda. Jadi, nikmatilah makanan anda dengan tenang di sini nyonya." Ucap Ana mewakili yang lain. Senyum Nayla kembali tersungging di wajah cantiknya.
"Terima kasih untuk perhatian kalian. Mari kita sarapan bersama. Hari ini aku butuh teman untuk makan." Ajak Nayla dengan senyuman di wajahnya.
"Tapi, nyonya ..."
"Sudahlah, anggap saja ini undangan makan dari teman. Ayoo. " Seru Nayla memaksa. Akhirnya, Ana dan yang lainnya segera duduk bersama Nayla dan mereka bersama-sama menikmati sarapan itu.
Nayla merasa bersyukur, ia masih memiliki orang-orang yang menyanyanginya dengan tulus.
.
.
.
Bersambung ...