Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 7
...-Aku adalah seniman dalam hidupku, tak akan kubiarkan orang lain memegang kuasku-...
...***...
Tergesa-gesa kaki kecil Yara menyongsong motor maticnya, sebuah pesan pagi ini seperti pedang panjang yang memangkas banyak waktu senggangnya, sebelum berangkat ke sekolah.
Mengabaikan Latif yang tidur dengan kepala hampir mengenai ubin dan kaki menjulang ke bahu sofa, Yara menutup pintu dan segera meninggalkan rumah sederhana itu.
"Saya lagi sibuk, Arum nggak mau diantar supir ke sekolah. Dia maunya anda yang menjemput dan membawanya ke sekolah."
Tak ada kata perintah dalam pesan singkat Barra, namun, Yara tahu hal apa yang harus dia lakukan.
Berhenti sejenak di tepi jalan, gadis ini memeriksa lokasi yang dikirim Barra padanya. Setelah melihat lebih seksama, Yara menyadari kediaman mereka tak begitu jauh, namun, Barra tinggal di komplek mewah, sedang Yara di perkampungan biasa.
Bukan main, Yara diinterogasi sebelum masuk ke perumahan elit itu, hingga dirinya harus menelepon Barra untuk meyakinkan pak satpam.
"Masya Allah!" Spontan gadis ini berseru. Kediaman Barra membuatnya terperangah. Begitu besar dan mewah, juga ada beberapa pekerja di sana yang menyambut kedatangannya.
"Duduk dulu ya, Bu Yara," ujar seorang pelayan mempersilakan Yara duduk di sofa ruang tamu.
"Ya. Terima kasih." Sejenak menatap ruang tamu kediaman mewah itu, Yara terpaku pada sebuah foto keluarga.
"Cantik sekali, itu pasti mama Arum."
"Iya, itu memang mama Arum."
Jawaban seseorang mengejutkan Yara. Rambutnya berantakan, juga pakaiannya. Dia datang dari arah pintu utama.
"Ah, Pak Barra. Se ... selamat pagi."
"Selamat pagi. Maaf jadi ngerepotin anda. Saya baru selesai syuting, jadi nggak bisa nganterin Arum ke sekolah. Anda nggak keberatan 'kan kalau bantu saya kali ini?"
Menggeleng cepat. "Enggak 'kok. Rumah saya dekat sini, kalau cuman jemput Arum dan berangkat barengan ke sekolah sih nggak pa-pa. Tapi saya cuman naik motor, takut anda keberatan aja."
Barra mengambil duduk pada sofa lain, dia menutupi mulutnya yang menguap kemudian berkata, "Justru karena anda naik motor ke sekolah, Arum jadi pengen nebeng."
"Oh ya? Dan anda nggak keberatan?"
"Enggak. Asalkan anak saya aman."
"Insa Allah bakal aman," sahut Yara.
Usai mengobrol singkat, Barra pamit undur diri. Sikapnya kali ini berbeda sekali dengan saat berada di kantor kepala sekolah, saat Arum terluka kemarin.
"Bunda ...!" Teriakan Arum membuat Barra urung meninggalkan ruang tamu.
Merentangkan kedua tangan, putrinya berlarian menyongsong Yara.
"Jangan lari-lari, kakinya masih sakit, 'kan?"
Hup! Meloncat seperti kodok, Arum kini berada dalam pelukan Yara, kemudian sang guru meletakan gadis kecil itu dalam pangkuannya. Dia memeriksa lutut Arum yang kemarin terluka. "Masih sakit, nggak?" kini dia kembali dalam posisi duduk.
"Masih. Tapi karena ada Bunda, sakitnya jadi berkurang banyak."
Yara tertawa ... ada-ada saya ocehan bocah ini.
"Sudah dikasih obat belum?"
"Sudah." Arum turun dari pangkuan Yara dan meloncat-loncat.
"Lihat ... Arum sudah bisa loncat-loncat, Bun."
Yara tersenyum hangat sembari mengusap bedak yang nampak belepotan di wajah Arum, "Arum sayang, lain kali kalau main hati-hati, ya."
Bocah itu mengangguk dengan polosnya, "Iya, Bunda."
Begitu bahagia, Barra sangat jarang melihat putrinya seceria ini. Dia bersandar pada dinding tempatnya mengintip interaksi Arum dan Yara. Andai saja setiap hari putrinya seceria itu.
Setelah izin pada Barra, Arum akhirnya beranjak ke sekolah bersama Yara. Naik motor saja, keceriaan Arum semakin menjadi saat sampai di lampu merah, tanpa sengaja dia bertemu teman sekelasnya, Naima.
"Bwek!" Arum menjulurkan lidah.
"Bwek!" balas Naima.
Ibunda Naima menoleh pada Yara yang meminta Arum untuk diam, kemudian ia menatap lembut pada Naima.
"Selamat pagi, Naima," sapa Yara.
"Selamat pagi, Bunda Yara," sahut Naima.
Ibunda Naima melempar senyuman pada Yara hingga mereka berbalas senyuman. Namun, berbeda dengan Arum, mendengar Naima menyebut Yara 'Bunda', hatinya jadi tak rela.
Bocah itu melengos kesal, dia membuang muka. Naima senang melihat Arum kesal, maklum saja mereka berdua ini memang kerap bertengkar.
"Si pengangguran itu, sudah nongkrong aja, bukannya tadi masih tidur di rumah," gumam hati Yara ketika menemukan Latif, tengah duduk santai sambil ngopi di warung simpang lampu merah.
Latif memicingkan kedua mata melihat Yara bersama seorang gadis kecil. Ia merasa tidak asing dengan wajah gadis kecil itu. Otaknya yang sebenarnya pintar, langsung menggali informasi yang terkubur dalam ingatan, dan ... "Dia anak artis terkenal itu!" seru Latif begitu senang.
Ini ladang uang, dan Latif tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Membayar kopi tersebut dan meninggalkan warung kopi, Latif kembali ke rumah dan berselancar ke dunia maya. Dia mencari informasi tentang jadwal pekerjaan Barra. Oh! Hal itu bukan mudah ditemukan di dunia maya sekalipun!
Baiklah, demi masa depan cerah, Latif rela bergabung dengan fans berat Barra. Ada sebuah pertanyaan yang harus dia isi sebelum masuk dalam fanbase tersebut, akh! Ternyata dia tak cukup persiapan dalam misinya kali ini.
Melangkah mundur untuk menggali informasi tentang Barra lebih banyak, waktu yang terbuang rasanya tak mengapa, demi cita-cita menjadi orang kaya.
Kembali pada Yara, dia menyetujui keputusan Barra meminta pertanggungjawaban atas luka di lutut putrinya, tapi ternyata dalam waktu singkat luka itu membaik tanpa Yara yang merawatnya. Awalnya keputusan itu hanyalah ancaman belaka, demi memberikan efek jera kepada Yara. Tapi, saat mengetahui kisah sebenarnya dari Arum, Barra rasanya malu untuk bertemu dan meminta maaf kepada ibu guru itu.
Sekali Yara bertandang ke kediaman mereka untuk menjemput Arum, ternyata gadis kecil itu juga berniat bertandang ke kediaman Yara.
"Boleh ya, Bunda!" pintanya tanpa memberikan celah untuk Yara menolak.
"Kamu mau ngapain ke rumah Bunda? Nggak ada apa-apa lho di sana."
"Mau main aja," jawab gadis itu menatap Yara, dengan kedua mata berkedip nakal.
"Jujur aja deh, kamu mau ngapain?"
"Mau main aja, Bunda. Beneran," ujar Arum lebih meyakinkan. "Boleh, 'kan?
Mengangguk kecil seolah memahami maksud dari bocah di hadapannya, pada akhirnya Yara menyetujui keinginan Arum.
"Terima kasih, Bunda. Nanti sore jam 4, Arum bakalan datang ke rumah Bunda." Kedua manik mata gadis kecil ini seperti lampu warna-warni di tengah malam, kerlipnya begitu indah menghiasi malam.
"Emang kamu sudah tau di mana rumah Bunda?" tanya Yara. Ia tengah menikmati bekalnya siang itu, roti dengan isian selai coklat.
"Belum tau pasti, sih. Tapi sepertinya Arum tau kok. Nanti kalau nggak ketemu Arum telepon aja Bunda," sahut Arum. Ia tertarik dengan bekal Yara, dan tanpa malu membuka mulut, meminta disuapi.
Terlihat begitu akrab, jika orang lain tak mengenal mereka, bisa jadi mengira mereka adalah ibu dan anak.
Satu suapan masuk ke dalam mulut Arum, ada sedikit selai coklat yang mengenai tepian bibir Arum.
"Enak?" tanya Yara sembari mengusap wajah Arum.
"Enak sekali, Bunda."
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum