"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya Denis bertemu Tiara
Galang langsung mengambil jaket dan kunci mobil di kamarnya. Tanpa ragu ia meminta Gilbert satpam di rumah itu untuk segera membuka gerbang mereka. Secepat kilat Galang langsung menuju tempat pemakaman yang sudah diberitahu ibu mertuanya.
Tiba-tiba Galang terdiam,ia baru menyadari jika pemakaman itu, tempat yang sama dengan mendiang istrinya.
"Reina, sudah lama sekali aku tak mengunjungi mu," gumamnya lirih.
Langit sore memudar perlahan menjadi jingga kemerahan, menciptakan bayangan panjang di antara batu nisan. Galang melangkah pelan di jalan setapak yang basah oleh hujan beberapa jam sebelumnya. Aroma tanah basah dan bunga segar memenuhi udara, mengingatkannya pada momen-momen yang dulu selalu ia hindarri, namun kini tak bisa dihindari lagi.
Ia menatap sekeliling, mencoba menemukan Tiara. Tak jauh dari makam Reina, ia melihat sosok wanita itu bersimpuh di depan sebuah batu nisan kecil, bunga lili putih di tangannya. Tubuh Tiara sedikit bergetar, dan rambutnya yang terurai tertiup angin sore.
Galang menelan ludah, dadanya terasa sesak. Matanya tak bisa berpaling dari pemandangan itu. Tiara yang tenang namun penuh kesedihan, dan makam yang sama yang berjarak hanya beberapa meter saja yang selalu membuat hatinya hancur setiap kali ia mengingat Reina.
Ia melangkah mendekat, suara sepatunya tertahan oleh tanah yang lembap. Namun dari kejauhan Galang melihat sosok yang ia sangat kenali sedang mendekat ke arah Tiara
Pria itu semakin mendekat hingga berhenti tepat di depan Tiara.
"Tiara, kau di sini?" ucap Denis.
Tiara menoleh padanya, matanya melebar, namun tubuhnya menolak kehadiran nya. Tiara langsung mengusap air matanya lalu perlahan bangkit dari dudukannya.
"Kau?" ucapnya pelan.
"Akhirnya aku menemukan mu. Aku sudah lama mencari mu." ucap Denis senang sekaligus terharu.
Tiara terdiam sesaat lalu tiba-tiba tersenyum getir.
"Cih... mencari ku? Bukankah kau sudah menceraikan ku ? Dan ibumu sudah mengusir ku, lalu untuk apa lagi kau mencari ku?" kata Tiara tegas,
"Maafkan aku Tiara, Aku menyesal. Menyesal dengan keputusan ku." sahut Denis jujur.
Tiara tertawa getir mendengar penyesalan yang diutarakan Denis barusan. Tiara menatap Denis tajam, senyum getirnya berubah menjadi dingin.
"Penyesalan? Kau pikir penyesalan bisa menghapus semua sakit yang kubawa selama ini? Semua hinaan, semua pengusiran… hanya karena aku tidak bisa hamil lagi? Kau baru ingat menyesal sekarang?"
Denis menunduk sejenak, menelan ludah.
"Aku… aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku ingin memperbaikinya sekarang. Aku ingin kau tahu, semua ini… bukan sepenuhnya salahmu."
Tiara menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca.
"Tidak, Denis. Tidak ada yang bisa kau perbaiki. Semua yang ku butuhkan sudah hilang… dan kau datang sekarang, setelah semuanya terlambat."
Galang, yang berdiri tidak jauh, menahan napasnya. Hatinya bergejolak melihat penderitaan yang Tiara alami. Ada amarah yang membara, tapi Galang tidak punya hak untuk mencampuri urusan mereka.
Galang hanya mengepalkan tangannya saat mendengar bahwa Tiara diceraikan dengan alasan tidak bisa mengandung kembali. Ia tak menduga Denis,rekan bisnisnya adalah seseorang yang dikenal jujur ternyata penyimpan sifat yang egois.
Denis mulai mendekati Tiara, namun dengan cepat Tiara bergerak mundur dan mencegahnya.
"Jangan dekati aku lagi! Kita sudah tidak ada hubungan lagi. Mulai saat ini, jangan pernah mencari ku!" ucap Tiara tegas, penuh dendam dan kebencian.
Denis terhenti, matanya menatap Tiara dengan campuran frustasi dan ketegangan.
"Tiara… tunggu! Aku datang bukan untuk menyakitimu lagi. Aku hanya ingin..."
"TIDAK!" potong Tiara cepat, suaranya bergetar tapi tegas.
"Aku lelah, Denis. Lelah dengan semua penyesalanmu, dengan semua janji yang tak pernah kau tepati. Aku sudah kehilangan segalanya… dan sekarang aku hanya ingin melindungi diriku sendiri. Jangan pernah muncul lagi di hidup ku lagi!" tambahnya.
Galang, yang berdiri beberapa langkah di belakang, menahan amarahnya. Detak jantungnya meningkat, dan nalurinya sebagai pelindung Tiara langsung muncul. Namun saat ia hendak melangkah maju, Tiara sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Dengan langkah cepat, Galang ikut meninggalkan tempat itu dan mengejar Tiara tanpa sepengetahuan Denis. Denis yang tak menyadari kehadiran Galang itupun langsung mengejar Tiara. Tapi ia kehilangan jejaknya.
"Tuan, Anda di sini?" ucap Tiara panik saat Galang tiba-tiba menariknya
Galang menempelkan jari telunjuknya pada bibir mungil Tiara. Sementara pandangannya seperti mengintai Denis yang mulai kehilangan jejak Tiara.Setelah memastikan Denis pergi, Galang langsung menjaga jarak dengan Tiara.
"Tuan, Anda di sini?" tanya nya lagi.
"Mama mencemaskan mu. Terpaksa aku mencari mu." sahut Galang datar.
"Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud..."
"Sudah lah! Sebaiknya kita pulang, sebelum hujan kembali turun." potongnya cepat.
Di dalam mobil, Tiara menarik napas panjang, menatap keluar jendela, mencoba meresapi kejadian sore itu. Galang menyalakan mesin dan mulai melaju pelan ke arah rumah.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu...Tiara?" ucap Galang pelan.
Tiara menoleh, menelan ludah dan merasakan detak jantungnya yang tak biasa.
"Apa yang harus ku katakan? Aku rasa tuan sudah mendengarnya. Semuanya." sahut Tiara lirih.
Galang menatap Tiara sebentar, lalu memusatkan pandangannya ke jalan di depan. Hujan mulai menetes lebih deras, menimbulkan ritme lembut di atas atap mobil. Keheningan yang ada terasa tegang, tapi tidak canggung. Ada rasa lega yang samar, karena keduanya selamat dari pertemuan yang bisa saja berakhir lebih buruk.
"Kalau begitu… kita pulang dulu. Nanti Mama akan semakin cemas," ucap Galang akhirnya, suaranya tenang tapi tegas.
Tiara mengangguk, menunduk kembali, membiarkan tangannya bermain dengan ujung gaunnya. Di dalam hatinya, ada rasa terima kasih yang sulit diungkapkan. Meski ia masih marah dan terluka, kehadiran Galang memberinya rasa aman yang tak pernah ia rasakan sejak peristiwa itu.
Mobil melaju di jalanan basah, lampu kota memantul di genangan air. Sesekali Tiara menatap Galang sekilas, dan sesekali menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya melayang.
"Aku… tidak tahu harus bilang apa," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Galang menoleh sekilas, pandangannya lembut.
"Tidak perlu bilang apa-apa, Tiara. Aku hanya ingin kau sampai rumah dengan selamat."
Tiara menelan ludah, merasa kehangatan yang asing mengalir di dadanya. Ia masih lelah, tapi untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di halaman rumah. Hujan mulai reda, meninggalkan aroma tanah basah dan udara segar. Galang mematikan mesin, menoleh ke Tiara.
"Kau baik-baik saja ?" tanya Galang, nada suaranya hangat.
Tiara mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil dan menapak perlahan ke teras. Ia merasakan tanah lembap di bawah sepatu, tapi langkahnya mantap.
Begitu mereka masuk rumah, Raisa langsung menyadari perbedaan pada Tiara. Wajahnya sedikit lebih tenang, matanya meski merah tapi ada secercah ketenangan, berbeda dari kekhawatiran yang biasa terlihat.
"Tiara… kau baik-baik saja?" tanya Raisa lembut, sedikit cemas tapi tersenyum hangat.
"Iya, Nyonya… maaf telah membuat mu cemas, Nyonya," sahut Tiara sambil tersenyum tipis.
Galang berdiri di samping Tiara, menatap Raisa sebentar, kemudian menunduk pelan.
"Biarkan Tiara istirahat dulu, Ma. Nanti saja tanya-tanyanya."
Raisa mengangguk, hatinya lega. Ia menatap Tiara, lalu pandangannya menyapu Galang dengan rasa terima kasih. Ia tahu anak menantunya itu, meski keras dan tegas, selalu menjadi pelindung yang bisa diandalkan.
Di kamar, hujan yang mereda seakan membawa ketenangan.Setelah selesai berganti pakaian, Tiara berdiri menatap tubuhnya di depan cermin. Wajah Denis tadi kembali terngiang di kepalanya. Tatapan mata penuh kejujuran dan penyesalan yang tidak bisa disembunyikan membuat hati Tiara terenyuh.
"Denis, kau benar-benar terlambat." gumamnya lirih.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️