“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS7
“Apakah engkau ingin tetap berada di dalam istana ini, mendampingi kehidupanku ... ataukah kau lebih memilih pergi, menjalani hidupmu sendiri di luar sana ... sebagai perempuan merdeka?” tanya Bey Murad.
Pria itu menunggu jawaban Esma dengan detak jantung tak karuan.
“Hamba ... emmh ... jika hamba memilih untuk tetap tinggal, apakah ada biaya sewa kamar di harem ini? Dan apakah sudah termasuk biaya makan tiga kali sehari?” Pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari bibir Esma.
Sejenak Bey Murad terdiam, menatap Esma dengan alis terangkat. Lalu, tanpa bisa menahan diri, tawanya akhirnya meledak, menggelegar di ruangan.
“Astaghfirullah, Esma!” Bahu Bey Murad berguncang sangking gelinya. “Apa yang kau katakan itu?! Harem ini bukan penginapan, dan engkau bukan tamu yang harus membayar kamar!”
Bey Murad masih terbahak-bahak. Para pelayan yang berjaga di luar pintu pun saling pandang, terheran-heran mendengar tuannya tertawa untuk pertama kali—dan sebegitu lepas.
Penguasa Ottoman itu mengusap matanya yang basah, lalu menatap Esma dengan senyum lebar. “Sungguh ... hanya kau yang mampu membuatku terbahak seperti ini di tengah perkara serius.”
Esma langsung menundukkan kepalanya, wajahnya memerah hingga ke telinga. “Ampuni hamba, Baginda ... lidah ini jadi berbelit karena hati ini terlalu bimbang. Di satu sisi ... hamba merindukan kedua orang tua hamba yang berada di Ruthenia, selalu terbayang apakah mereka sehat atau justru merana menanti kabar tentang diri ini. Namun di sisi lain ....”
Ia mengangkat pandangannya perlahan, menatap langsung mata Bey Murad yang penuh wibawa, sekaligus hangat.
“Di sisi lain, hamba merasa sudah terikat pada tatapan Baginda. Bagai burung yang takut kehilangan langitnya ... hati hamba seakan tak lagi tau jalan pulang, selain ke dalam diri Baginda.”
Pipi Esma makin bersemu. Ia segera menunduk lagi, kali ini dengan senyum malu-malu yang tak bisa ia sembunyikan.
Ujung jemari Bey Murad menyentuh lembut pipi Esma yang masih merona. Pandangan Bey Murad terhenti di sana—bibir Esma. Bibir bewarna merah muda alami, lembut bagai kelopak bunga mawar yang baru saja merekah di taman Topkapi.
Rasanya dada Bey Murad bergemuruh hebat, sebuah dorongan liar menyeruak dalam dirinya. Keinginan untuk merengkuh, untuk merasakan hangatnya ciuman sebagai pembuka rasa nikmat. Namun, lagi-lagi, hukum syariat kekhalifahan berhasil menahannya dari godaan.
“Sayang sekali, engkau bukan perempuan yang bisa ku sentuh semaunya, Esma,” ucapnya pelan, “karena itu ... tinggal lah di dalam istana ini, agar aku bisa memandangmu lebih lama ... sampai Tuhan sendiri yang merestui waktunya.”
Bey Murad kemudian menarik napas panjang, lalu lanjut berkata. “Mengenai kedua orang tuamu ... setiap tiga bulan, saat sefer izni (masa izin perjalanan) tiba, kau akan kuizinkan pulang ke Ruthenia. Temui orang tuamu, pastikan mereka sejahtera, agar rindumu tak merana. Namun, kembalilah padaku setiap kali kau usai menjenguk mereka. Jika tidak ... aku pasti akan menggila.”
“Terima kasih, Baginda ... kemurahan hati ini tak akan hamba lupakan seumur hidup. Baginda tak perlu risau, tak perlu juga sampai menggila.” Esma mengulum senyum. “Hamba bersumpah, hamba akan selalu kembali. Karena mulai saat ini ... hidup hamba bergantung pada kasih Baginda, sebagaimana paru-paru ini bergantung pada udara. Tak ada alasan bagi hamba untuk pergi dari sisi Baginda.”
Mendengar penuturan Esma yang begitu tulus, seulas senyum lega terukir di bibir Bey Murad. Gejolak yang sempat menguasai dadanya perlahan mereda, digantikan oleh kehangatan dalam relung hatinya.
Malam itu, di salah satu sudut istana yang dihiasi permadani mewah dan cahaya temaram dari lentera, mereka menghabiskan waktu bersama. Bukan dengan sentuhan fisik yang dilarang syariat, melainkan dengan untaian kata dan tawa yang mengisi keheningan. Esma bercerita tentang Ruthenia, tentang masa kecilnya, dan impian-impian sederhananya. Bey Murad, dengan sabar mendengarkan, sesekali menyelipkan kisah-kisah kepahlawanan dan kebijaksanaan para pendahulunya. Mereka bertukar pikiran tentang makna hidup, tentang takdir, dan tentang iman yang membimbing langkah mereka.
Malam itu, mereka tidak hanya berbagi cerita, tetapi juga berbagi jiwa, membangun fondasi sebuah hubungan yang lebih dalam dari sekadar nafsu.
‘Esma ... sepertinya, aku benar-benar jatuh cinta padamu ....’
...***...
Safiye—dayang pribadi Yasmin, berlari tergesa-gesa di lorong-lorong istana. Wajahnya merah padam, napasnya tersengal-sengal. Tanpa mengetuk pintu, ia menerobos masuk ke kamar Yasmin.
“Yang Mulia!” serunya panik, membuyarkan lamunan Yasmin yang tengah duduk di dekat jendela. “Hamba membawa kabar buruk. Budak itu ... diberi kamar serta pelayan pribadi! Baginda sendiri yang memerintahkannya! Dari rumor yang beredar, Baginda amat puas dengan pelayanannya. Jika begini ... bukan tidak mungkin sundal itu akan segera memberikan keturunan.”
Yasmin memejamkan mata sejenak, rahangnya menegang. Lalu, ia segera bangkit dan melangkah mendekat, menatap tajam dayang kepercayaannya itu.
“Safiye, sekarang juga ... kau pergilah ke desa utara. Bawa orang itu diam-diam masuk ke istana.” bisiknya, menekan setiap kata. “Katakan padanya aku memerlukan bantuannya. Tidak ada seorang pun yang boleh tau, apalagi Baginda.”
Mata Yasmin menyipit, raut wajahnya menunjukkan kebencian yang mendalam. Setelah Safiye bergegas pergi menjalankan perintahnya, Yasmin berbalik, amarahnya kembali meledak.
Ia meraih vas bunga porselen besar yang berdiri di atas meja kecil di sudut kamar. Dengan sekuat tenaga, ia membantingnya ke dinding, serpihan keramik dan air pun berserakan di lantai.
“Kurang ajar kau, Budak Sialan! Kau pikir, siapa kau sampai berani bermimpi meraih cinta Baginda! Cinta, kasih dan sayang dari Bey Murad—hanya untuk diriku seorang!”
.
.
“Esma,” bisik Alena dengan senyum lebar di bibirnya, “aku sudah menjalankan perintah mu. Gosip itu kini beredar di setiap sudut harem, bahwa kau telah berhasil memuaskan Baginda. Bisa kubayangkan wajah Yasmin Hatun saat mendengarnya. Pasti ia tengah terbakar amarah sekarang.”
“Bagus sekali.” Esma terkekeh puas. “Dengan sifatnya yang katanya sering meledak-ledak, aku yakin saat ini ia sedang memecahkan segala benda di kamarnya. Aku akan terus mengusik emosinya. Setidaknya, Baginda harus sadar ... wanita dengan sifat buruk seperti itu, tak boleh diberikan posisi yang lebih besar.”
“Wohoooo, kau licik sekali,” goda Alena.
“Itu balasan yang setimpal, Alena. Balasan karena dia berani menampar wajahku tadi malam, kini biarlah ia sendiri yang dibakar oleh murka dan cemburunya.”
*
*
*