 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pramudya Kembali
Pramudya memberikan kopernya kepada Pak Yusuf untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobilnya. Hari ini akhirnya Pramudya berencana untuk pulang ke rumahnya, setelah perdebatan yang cukup alot dengan Nyonya Julia semalam.
"Aku tidak bisa memaksakan diri untuk berlama-lama di sini Julia. Aku harap kamu bisa mengerti."
Pramudya mengemasi baju-bajunya ke dalam koper sementara Julia hanya bisa menatapnya nanar dari atas ranjang di apartemennya. Ini memang tidak sesuai dengan rencana awal.
Semula Pramudya dan Julia berencana untuk menghabiskan satu minggu penuh bersama di apartemennya. Namun ternyata keberadaannya diketahui oleh pak Yusuf, sehingga mau tidak mau Pramudya harus merubah rencananya. Dan hal ini membuat Julia merasa kesal.
"Seama hubungan kita masih bisa dirahasiakan kita punya banyak waktu untuk kembali bersama. Tapi kalau aku memaksakan diri tetap di sini tidak menutup kemungkinan Yusuf akan menceritakan semuanya kepada Anita. Kalau itu terjadi justru kita akan semakin sulit untuk bertemu."
"Aku tidak menyangka ternyata kamu setakut itu kehilangan Anita."
"Ayolah Julia, jangan seperti anak kecil. Kita sudah pernah membahas ini."
"Ya Ya, baiklah bagaimanapun aku harus sadar diri bahwa aku hanyalah seorang simpanan."
Julia melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan yang sinis.
"Kenapa kamu selalu mengatakan hal itu? Kamu tahu sejak awal bahwa aku adalah pria beristri. Dan kita sepakat untuk menjalani hubungan ini tanpa merusak keluarga satu sama lain bukan?"
Julia tak menjawab, iya melemparkan pandangannya ke arah televisi yang menyala dengan suara yang sangat pelan. Julia mengingat kesepakatan itu. Kurang dari setahun yang lalu, saat pertama kali Julia dan Pramudya berkomitmen sebagai sepasang kekasih. Namun ia tidak menyangka bahwa menjadi kekasih simpanan adalah hal yang tidak mudah untuk ia jalani.
"Aku akan berusaha untuk mengunjungimu sesering mungkin. Tapi karena Yusuf sudah mengetahui semuanya, aku harus lebih berhati-hati sekarang."
"Ya, lakukan saja apa yang menurutmu benar."
Julia mengalah. Iya berlindung di balik selimut tebalnya berusaha untuk tidak memperhatikan Pramudya yang sedang berkemas. Meskipun di dalam hati Julia masih belum bisa menerima perpisahan kali ini. Bahkan malam terakhir mereka berdua semalam terlewati dengan dingin. Tidak ada gairah bercinta maupun pelukan hangat. Hanya punggung mereka yang saling beradu.
"Kita langsung pulang ke rumah Tuan?"
Pak Yusuf menatap Pramudya dari kaca tengah mobilnya. Namun sepertinya Pramudya masih belum sepenuhnya berniat meninggalkan apartemen Julia. tatapan matanya nanar ke arah pintu masuk di ujung lorong basement. Iya tak berharap Julia mengantarnya sampai ke basement, namun tak bisa dipungkiri hati Pramudya Masih berat meninggalkan tempat itu.
"Tuan?"
Pak Yusuf bertanya sekali lagi. Iya masih memperhatikan Pramudya lewat kaca spion tengah mobilnya. Pramudya yang duduk di kursi belakang hanya mengangguk. Meskipun Pak Yusuf tahu Pramoedya masih setengah hati, namun ia tersenyum senang. Setidaknya ancamannya kepada Pramoedya kemarin sore berhasil.
Mobil meluncur keluar dari basemen apartemen Julia. Meninggalkan sejuta keresahan Pak Yusuf akan rumah tangga majikannya itu. Seandainya ia tidak bertemu dengan Pramudya kemarin, mungkin hari ini dan hari-hari setelahnya Pramudya masih tertahan di apartemen Julia.
"Tuan mau langsung pulang ke rumah atau mau ke kantor dulu Tuan?"
"Kalau menurutmu bagaimana baiknya Pak Yusuf?"
"Menurut saya langsung pulang saja ke rumah. Lagi pula Nyonya Anita sudah tahu kalau saya pergi untuk menjemput tuan di bandara."
"Baiklah kalau begitu kita pulang saja."
Hening sesaat. Pramudya terus melemparkan pandangannya ke arah jendela mobil. Memperhatikan pucuk-pucuk pohon di pinggir jalan yang sepertinya baru saja diguyur hujan.
"Kamu tidak menceritakan kepada siapa-siapa kan pak Yusuf?"
"Tentu tidak Tuan."
Pak Yusuf sekejap melirik Pramudya dari kaca spion. Ia tidak mungkin berterus terang bahwa ia telah menceritakan semua ini kepada Bi Karti.
"Tuan Apa boleh saya bertanya?"
"Kalau kamu mau tanya soal hubunganku dengan perempuan itu ,lebih baik tidak sekarang Pak Yusuf."
"Saya hanya ingin tahu kenapa Tuan sampai hati mengkhianati Nyonya Anita."
"Saya juga tidak tahu pak Yusuf. Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu."
"Apa Tuhan sudah tidak mencintai Nyonya Anita lagi?"
"Tentu tidak begitu Pak Yusuf. Aku masih sangat mencintai istriku."
"Jadi kenapa tuan,-"
"Pak Yusuf, sudahlah saya mohon. Jangan bahas ini sekarang."
Pak Yusuf menghela nafas panjang. Dari kaca spion Tengah mobil yang ia kendarai, terlihat Pramudya tampak gusar. Matanya tak berani menjurus ke depan.
"Baiklah tuan. Tapi saya harap Tuan pikirkan ini lagi baik-baik. Jangan sampai melakukan hal yang membuat rumah tangga Tuhan hancur."
Pramoedya terdiam. Iya benar-benar tidak tahu harus bagaimana menanggapi perkataan Pak Yusuf. Sementara di lubuk hatinya yang terdalam ia mengakui bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan yang besar. Namun untuk meninggalkan Julia saat ini, ia merasa belum mampu. Rasa cinta Pramudya kepada Julia yang lama terkubur, kini kembali dalam kondisi yang sangat menggelora. Hingga ia sendiri tak mampu untuk memadamkannya.
***