perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ular siluman
Senja merayap turun, mewarnai langit Kedung Dadap dengan gradasi jingga dan ungu. Sekitar pukul lima sore, setelah Manto pulang dari pekerjaannya yang melelahkan, Ko Acun menghampirinya dengan tatapan serius.
"To, di mana kuburan desa ini?" tanya Ko Acun, suaranya berat dan penuh misteri.
"Kuburan desa? Oh, di sana, Mbah," jawab Manto, menunjuk ke arah barat daya dengan tangan kanannya.
"Ok," jawab Ko Acun singkat. "To, antar aku ke sana, yuk," ajaknya, membuat Manto terkejut.
Dengan mata yang berkedip penuh pertanyaan, Manto mengangguk. "Baik, Mbah," jawabnya, meski hatinya dipenuhi rasa ingin tahu.
Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak yang berdebu menuju arah barat daya. Lima belas menit kemudian, mereka tiba di kuburan desa Kedung Dadap. Suasana mistis begitu terasa, pepohonan besar yang tumbuh rimbun menciptakan kegelapan yang mencekam.
Ko Acun memandang sekeliling, matanya seolah mencari sesuatu. Ia berhenti di depan sebuah pohon beringin tua dan besar, tatapannya terpaku pada pohon itu, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat oleh mata biasa.
Ko Acun mendekat ke pohon beringin, sementara Manto mengikuti dengan gugup di belakang. Jika hanya sekadar berkunjung ke kuburan seperti biasa, Manto tak akan merasa takut. Namun, aura mistis hari ini terasa kuat, dan bulu-bulu halus di tubuhnya berdiri, seolah merasakan kehadiran sesuatu yang tak kasat mata. Hati dan jiwa Manto bergidik, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Ketika Ko Acun sampai di pohon beringin, ia berjongkok dan mulai menggambar sesuatu di tanah dengan gerakan-gerakan misterius. Setelah selesai, ia berdiri dan berbicara dalam bahasa Tionghoa yang tidak dimengerti oleh Manto. Ia lalu menghentakkan kakinya di tanah tiga kali, menciptakan suara gemuruh yang memecah kesunyian kuburan.
"To, yuk balik," ajak Ko Acun, berbalik dan mulai meninggalkan pohon beringin.
"Iya, Ko," jawab Manto dengan nada lega. Dalam hatinya, ia merasa senang bisa segera meninggalkan tempat yang membuatnya merasa tidak nyaman itu.
Mereka berdua berjalan pulang, menyusuri jalan setapak yang berdebu. Lima belas menit kemudian, mereka sampai di rumah Mbok Yam.
Ko Acun duduk di kursi bambu di ruang tamu. Di situ, Mbok Yam, Mbah Rotib, Yati, dan Nyonya Liu sudah menunggu dengan cemas.
"Ti," suara Ko Acun memecah keheningan.
"Iya, Ko, bagaimana?" tanya Yati, merasa khawatir dengan apa yang akan dikatakan oleh Ko Acun.
"Sakitmu sebenarnya bukan sakit medis, dan kelahiran anakmu juga bukan karena sial semata. Ada yang menyengaja," ujar Ko Acun, mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Mendengar perkataan Ko Acun, semua yang ada di rumah itu terkejut. Dada mereka berdegup kencang karena panik.
"Maksud Ko Acun, ada yang menjahati anakku?" seru Mbok Yam, suaranya bergetar.
Ko Acun menghela napas panjang, menatap Mbok Yam dengan tatapan tulus. "Iya, begitulah, Mbok Yam," jawab Ko Acun, mengiyakan ucapannya.
Mendengar Ko Acun mengiyakan, hati Mbok Yam terasa sakit. Sejak kecil, Yati telah mengalami banyak penderitaan. Bahkan, ia tumbuh besar tanpa ada di sampingnya. Kini, cucunya pun harus menderita sedari kecil. Lebih ironis lagi, sejak dalam kandungan sudah mendapat ancaman untuk dimatikan. Tak terasa, air mata tipis menggenang di pelupuk matanya.
Melihat Mbok Yam berkaca-kaca, Ko Acun menambahkan, "Jangan khawatir, Yati dan anaknya akan selamat. Aku akan melindungi mereka."
Mbok Yam menghela napas, merasa sedikit lega mendengar ucapan Ko Acun. "Ko, apakah ada yang harus saya lakukan untuk menjaga anak dan cucu saya dari kekuatan jahat itu?" tanya Mbok Yam, berharap ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk melindungi keluarganya.
"Oh, tidak perlu. Jika ada kelinci abu-abu masuk ke halaman, usir saja. Atau, jika bisa, bunuh," jawab Ko Acun, mengingatkan mereka akan pesan yang telah disampaikannya sebelumnya.
"Oh, iya, Ko," jawab Mbah Rotib, Mbok Yam, dan Manto serempak, mengingat pesan Ko Acun.
"Dan jika kalian melihat atau menemui hal-hal aneh di sekitar Larashati, jangan khawatir," lanjut Ko Acun, memberikan petunjuk lebih lanjut. "Karena anak ini akan hidup di antara dua dunia."
Mendengar ucapan Ko Acun, mereka semua teringat peristiwa semalam, ketika dua auman macan terdengar setelah mereka memberi nama bayi itu, diikuti hujan lebat dan angin kencang yang menerjang desa mereka.
"Oh, benar, Ko! Tadi malam, setelah kami memberi bayi ini nama, ada dua auman macan, dan setelah itu hujan lebat dan angin kencang. Apakah itu yang Ko Acun maksud?" tanya Manto dengan gugup, mencoba memastikan apa yang sedang terjadi.
Ko Acun menengok, menatap Manto dengan lembut, kemudian mengangguk. "Ya, salah satunya seperti itu. Makanya, jangan panik atau heran," jawab Ko Acun, memberikan penjelasan.
Mereka semua mengangguk tanda mengerti, mencoba mencerna semua informasi yang telah disampaikan oleh Ko Acun.
"Baiklah, To, Ti, Mbok, Mbah," Ko Acun berpamitan, berdiri dari kursi bambu. "Saya mohon undur diri, ya. Besok pagi ada pasien yang datang, jadi tidak bisa nginap di sini."
"Oh, iya, Mbah. Terima kasih banyak sudah berkunjung," jawab Mbah Rotib, merasa sungkan karena Ko Acun tidak bisa berlama-lama.
"Iya, lain kali jika ada waktu luang, saya pasti akan sering berkunjung ke sini untuk melihat cucu saya, Larashati," kata Ko Acun, tersenyum tulus.
"Iya, Ko, Yati sangat senang anaknya diakui sebagai cucu oleh seorang sinse hebat," timpal Yati, merasa terharu dengan perhatian Ko Acun.
Ko Acun mengangguk, lalu keluar dari rumah Mbok Yam dan menaiki mobil. Nyonya Liu, yang sedari tadi tidak banyak bicara di rumah Mbok Yam, duduk di sampingnya.
Mobil sedan tua itu melaju perlahan, meninggalkan rumah Mbok Yam yang mulai sunyi. Ko Acun menyetir dengan tenang, sementara Nyonya Liu memandang keluar jendela, menyaksikan pepohonan yang dilalui.
Setelah beberapa saat hening, Nyonya Liu akhirnya membuka suara. "Cun, tadi di kuburan... apa yang kamu temukan?" tanyanya, nadanya hati-hati.
Ko Acun menghela napas pendek. "Tidak enak, Liu. Banyak energi aneh di sana."
Nyonya Liu menoleh, mengerutkan kening. "Anomali apa? Ada yang pasang susuk?"
Ko Acun menggeleng. "Lebih dari itu. Ada siluman ular. Pesugihan."
Nyonya Liu terdiam sejenak. "Lalu, ada hubungannya dengan Yati?"
Ko Acun mengangguk pelan. "Sepertinya iya. Tapi yang bikin pusing... yang memasangnya adalah orang dekat."
Nyonya Liu langsung menegang. "Orang dekat? Maksudmu... keluarga sendiri?"
Ko Acun mengangguk lagi, kali ini lebih berat. "Itu yang bikin saya tidak enak berbicara di depan mereka. Saya tidak ingin menambah beban pikiran mereka."
Nyonya Liu menghela napas. "Siapa, Cun? Siapa yang berbuat segitu?"
Ko Acun menggeleng. "Saya tidak bisa menyebutnya sekarang. Tapi yang jelas, dia sudah bertindak nekat. Perbuatannya sudah lewat batas. Ini bisa bahaya bagi semua orang."
Nyonya Liu terdiam, membayangkan apa yang akan terjadi pada Yati dan bayinya. "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Cun? Kita tidak bisa hanya diam saja."
Ko Acun memijat pelipisnya. "Kita tidak bisa membiarkannya. Tapi kita juga tidak bisa langsung bertindak. Harus pelan-pelan. Kita lihat dulu apa yang bisa kita lakukan."
Nyonya Liu mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. "Semoga Yati dan anaknya kuat. Kasihan mereka."
Ko Acun mengangguk setuju. "Iya, Liu. Mari kita doakan yang terbaik. Semoga mereka bisa selamat dari semua ini."
Suasana di dalam mobil kembali hening. Kegelapan malam semakin pekat, seolah menyelimuti mereka dengan misteri dan ketidakpastian.