Amira menikah dengan security sebuah pabrik di pinggiran kota kecil di Jawa Timur. Awalnya orang tua Amira kurang setuju karena perbedaan status sosial diantara keduanya tapi karena Amira sudah terlanjur bucin maka orang tuanya akhirnya merestui dengan syarat Amira harus menyembunyikan identitasnya sebagai anak pengusaha kaya dan Amira harus mandiri dan membangun bisnis sendiri dengan modal yang diberikan oleh orang tuanya.
Amira tidak menyangka kalau keluarga suaminya adalah orang-orang yang toxic tapi ia berusaha bertahan sambil memikirkan bisnis yang harus ia bangun supaya bisa membeli rumah sendiri dan keluar dari lingkungan yang toxic itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Saat semua orang dirumah bu Asih sedang asik minum teh sambil berbincang. Terdengar suara motor berhenti di halaman rumah yang luas itu.
Mereka menoleh melihat siapa yang datang. Ternyata Gunadi dan Dewi.
“Assalamualaikum, sapa kedua tamu itu.
“Waalaikumsalam,” mari silahkan masuk. Kebetulan kami sedang minum teh sore.”
Keduanya menyalami semua orang. Lalu duduk di kursi tamu.
Amira kebelakang untuk membuat kopi.
“Saya tidak menyangka kalau menantu uwak Asih adalah anaknya pemilik restoran tempat saya bekerja. Saya kesini mau minta maaf atas sikap saya tadi siang wak.” Kata Gunadi.
“Lupakan saja, uwak sudah memaafkan.” Bu Asih menjawab datar saja.
“Silahkan diminum kopinya. Dan dicicipi rotinya. Ini produk dari toko roti kami yang di Surabaya.” Amira menjelaskan.
Gunadi mengambil salah satu roti disuguhkan dan memakainya.
“Rasanya sama dengan roti yang kami produksi disini,” kata Gunadi.
“Semua produk kami memang resepnya sama” kata Amira.
Gunadi mengangguk-angguk kemudian menyeruput kopinya dan matanya membelalak.
“Ini kopi rempah cafe kami. Siapa yang membuat kopi ini?”
“Saya sendiri yang membuatnya. Ini kopi resep saya sendiri.” Kata Amira.
“Wah ternyata di semua cabang resepnya sama.” Katanya lagi.
“Bagaimana kabarmu Gus. Maaf kami tidak memberitahukan meninggalnya ibumu. Saya tidak memiliki kontak kamu.” Kata Gunadi.
“Iya tidak apa-apa toh semua sudah terjadi dan ibu sekarang sudah tidak merasakan sakit lagi.” Jawab Agus.
“O ya kedatangan kami kemari sekalian mau menanyakan sesuatu sama kamu Gus mumpung kamu ada disini.” kata Gunadi.
“Menanyakan soal apa mas?” tanya Agus agak heran karena selama ini dia merasa tidak punya urusan apapun dengan keluarga suami ibunya.
“Apa kamu tahu surat tanah yang dimiliki ibumu?” Tanyanya.
“Iya saya tahu. Ibu menyerahkannya kepada saya.” Jawab Agus.
“Bagus kalau begitu. Apa bisa surat tanah itu kamu serahkan kepada kami Gus?” pinta Gunadi.
“Maaf tidak bisa mas. Surat tanah itu kan milik ayah saya almarhum dan di surat keterangan ahli waris tertulis ahli waris nya adalah ibu saya dan saya.”
“Ya tidak bisa begitu Gus ibumu kan menikah dengan ayah saya, harta istri disitu juga ada hak suaminya Apalagi dari pernikahan ibumu dan ayahku ada anak. Dewi adalah anak ibumu dengan ayahku.” Gunadi dengan tidak tahu malunya ngeyel merasa berhak atas apa yang diwariskan ibu tirinya ke Agus.
“Saya tidak ingin berdebat mas, kalau keluarga dari pihak suami ibuku tidak bisa menerimanya ya silahkan saja menggugatnya lewat pengadilan.” tegas Agus.
“Saya tidak ingin berbelit-belit urusannya Gus sebaiknya kita selesaikan saja secara kekeluargaan. Toh ini urusan keluarga kenapa harus lewat pengadilan segala” dalih Gunadi.
“Kalau secara kekeluargaan ya saya harap keluarga suami ibu saya mau mengerti bahwa warisan ayah kandung saya tidak ada hubungannya dengan keluarga suami kedua ibuku. Karena tanah warisan ayahku bukan harta gono-gini perkawinan ibuku dengan ayah kalian.” tegas Agus.
“Dewi adalah anak kandung ibumu Gus apa kau lupa?” Desak Gunadi.
“Warisan untuk Dewi adalah harta bersama antara ibuku dan ayah kalian. Bukan dengan ayahku.” Debat Agus.
“Kau jangan serakah begitu dong Gus.” Gunadi agak melunak.
“Saya tidak serakah mas, tapi memang seperti itu adanya. Harta milik ayah kandung ya turunnya ke anak kandungnya bukan ke suami baru yang dinikahi istrinya apalagi anak hasil perkawinan istrinya dengan lelaki lain.” Agus bersikeras.
“Orang yang menggarap sawah ibumu biasanya selalu setor hasil panennya ke rumah. Aku harap itu tidak berubah.” Kata Gunadi.
“Dulu memang hak ibu untuk menerima hasil sawah itu dan uangnya untuk membiayai hidupku dan pendidikanku. Karena sekarang ibu sudah tidak ada lagi maka hasil sawah ya saya yang menerimanya mas.” Tegas Agus.
“Ayolah Gus jangan serakah dengan saudara sendiri. Toh kamu tinggal di Surabaya. Sawahnya bakal nganggur lebih baik dijual dan hasilnya dibagi-bagi.” Dengan tidak tahu malunya Gunadi tetap ngotot.
“Sawah itu tidak akan nganggur mas, nanti akan saya sewakan dengan bagi hasil. Dan nanti mas Dedy yang menyewa sawah itu. Dia akan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai security dan akan menjadi petani seperti dulu.” Agus menjelaskan.
Gunadi mengacak rambutnya. Kemudian melihat ke arah adiknya.
“Lihatlah adikmu Gus, dia sebentar lagi punya anak apa kau tidak kasihan lihat kondisi adikmu. Bagaimana masa depan anak yang dikandungnya?”
“Saya sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada Dewi tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa mas, saya tidak kenal dengan pacarnya Dewi. Lagipula bukankah selama ini kalian yang menjaga Dewi kenapa Dewi bisa sampai seperti ini?” Tanya Agus.
“Sudahlah jangan berdebat terus, kalau pihak keluarga mu tidak bisa menerima bahwa Agus lah yang mewarisi sawah peninggalan dari ayah kandung nya. Silahkan kalian gugat Agus ke pengadilan.” Kata Bu Asih.
“Gunadi maaf bukan bermaksud mengusir tapi pulanglah. Lama-lama pusing saya.” Ketus bu Asih.
Gunadi dan Dewi bangkit dan berpamitan pulang dengan wajah ditekuk.