Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lavanya
Anin duduk di kursi kayu di samping ranjang pesakitan, jemarinya menggenggam erat tangan Ningrum yang basah oleh peluh. Bau obat dan antiseptik menusuk hidung, cahaya lampu neon pucat menelanjangi kegelisahan di ruang bersalin.
“Tarik napas lalu embuskan secara perlahan, Bu,” ujar bidan.
Ningrum menggertakkan gigi, tubuhnya tegang, lalu mengejan dengan sekuat tenaga. Anin menggenggam tangan Ningrum, wajahnya ikut menegang.
“Ibu pasti bisa ... Semangat, Bu!” seru Anin, memberi semangat.
Ningrum mencengkeram balik tangan Anin. Jeritannya menggema. “Arghhhh!”
Beberapa detik kemudian, suara tangis bayi yang nyaring memenuhi ruangan. Bidan mengangkat bayi mungil yang masih berlumuran darah.
“Alhamdulillah,” ucap bidan sembari mengembuskan napas lega.
Senyum tipis melintas di bibir Ningrum, napasnya terengah-engah, tetapi tatapannya penuh sayang ke bayi itu.
“Selamat ya, Bu. Bayinya cantik sekali,” puji bidan, lalu menyerahkan bayi itu ke perawat untuk dibersihkan.
Tatapan Ningrum tampak sayu. “Sekarang aku bisa pergi dengan tenang,” ucapnya tiba-tiba.
“Kenapa ibu bilang begitu?” tanya Anin.
Ningrum menoleh pelan, menatap Anin dengan lekat. “Anin ... Terima kasih sudah membawa saya ke sini tepat waktu. Berkat kamu akhirnya, saya bisa merasakan yang namanya melahirkan dan melihat wajah putri saya.”
Seketika hati Anin mencelos. Air mata bahagia berubah menjadi tangisan pilu. “Jangan ngomong gitu, Bu. Ibu bakal sehat kok,” katanya berusaha meyakini.
Ningrum menggeleng pelan. “Sayangnya... Saya nggak kuat, Nin. Tubuh saya remuk dan saya mau istirahat.” Napasnya tersendat-sendat, dan dadanya naik turun tak beratur.
Anin menggeleng kecil, tangisannya semakin pecah. Sementara senyuman Ningrum semakin samar.
“Saya titip anak saya ya ... Cuma kamu yang saya percaya,” ucapnya.
Tiba-tiba mata Ningrum melotot, menatap kosong ke langit-langit. Dalam hitungan detik, Ningrum mengembuskan napas terakhir.
“Ibuuuuu!!” Anin menjerit histeris sembari mengguncang tubuh Ningrum yang telah tidak bernyawa.
“Anin ....” Suara berat terdengar dari arah belakang. Anin menoleh, melihat Sudarsono berdiri di ambang pintu sembari memegangi perutnya.
Ayah ....
Anin langsung berlari memeluknya, Sudarsono membalas pelukan itu, dan mengusap punggung putrinya.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya Sudarsono dengan suara parau.
“Bu Ningrum udah nggak ada, Yah ...” ucap Anin dengan suara melirih.
Sudarsono menghela napas panjang. “Innalillahi, ternyata dia menyusul Yasir ke surga. Ayah pikir dia selamat.”
“Kenapa harus Burum? Dia baik banget, dia udah anggap aku kayak anak kandungnya dan aku pun juga anggap dia kayak ibu kandung sendiri. Tapi kenapa Tuhan harus ambil Burum? Apa nggak cukup Tuhan ambil ibu dari aku?” Isak Anin semakin menjadi.
Sudarsono tertegun, matanya tampak berkaca-kaca. “Ini takdir, Nak. Kamu harus ikhlas,” ujarnya.
“Aku kurang ikhlas apalagi? Dari lahir, aku belum pernah lihat wajah ibu kandungku. Dan aku juga nggak pernah ngerasain kasih sayang, selalu Delima yang diprioritaskan. Mulai dari sekolah, baju, sampai makanan. Bu Siti nggak pernah masak makanan kesukaan aku. Satu-satunya orang yang masak makanan kesukaan aku cuma Burum.” Anin berbicara dengan terengah-engah, sementara Sudarsono hanya membisu—mendengar keluh kesah putrinya.
“Maafin Ayah, Nak. Ayah gagal jadi ayah yang baik buat kamu,” ucap Sudarsono.
Anin tak menjawab, perlahan melepas pelukannya, dan menjauh dengan langkah gontai. Tiba-tiba Giandra berdiri di hadapannya.
“Kamu kenapa, sayang?” tanya Giandra dengan wajah cemas.
“Burum udah meninggal ... Tapi anaknya lahir dalam kondisi sehat,” jawab Anin sembari menunduk.
Giandra menghela napas berat, mencengkeram kedua pipi Anin, kemudian mengangkat wajahnya.
“Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Dan sebagai keluarga yang ditinggalkan, kita harus ikhlas,” tutur Giandra.
Anin mengangguk kecil, menatap Giandra dengan mata sembap. “Aku bakal berusaha ikhlas walau aku nggak nyangka Burum pergi secepat ini.”
Giandra mengusap pipi Anin, lalu memalingkan tatapan ke arah Sudarsono. “Di mana bapak?”
“Bapakmu juga sudah meninggal, Gian. Dia meninggal di tempat kejadian,” jawab Sudarsono.
Giandra termenung, lidahnya mendadak kelu, dan matanya terasa panas. Namun, ia berusaha menahan air mata yang mendesak keluar.
“Permisi, mohon maaf mengganggu. Saya ingin menyerahkan bayi almarhumah Bu Ningrum pada pihak keluarganya,” ucap seorang perawat yang datang menghampiri Sudarsono.
Sudarsono mengambil bayi mungil itu dari gendongan perawat. “Tragis sekali nasibmu, Nak. Baru lahir tapi sudah jadi yatim-piatu,” ucapnya dengan lirih.
Giandra melirik Anin. “Kita lihat adikku yuk,” ajaknya.
Mereka pun melangkah, dan berdiri di sisi Sudarsono. Tatapan mereka tertuju pada wajah mungil bayi itu.
“Kalau dilihat-lihat, wajahnya mirip Yasir dan Gian ya,” celetuk Sudarsono.
Giandra tersenyum tipis. “Karena kamu nggak punya orangtua, mas dan mbak yang akan merawatmu.”
“Kamu mau kasih nama siapa?” tanya Anin sembari melirik Giandra.
Giandra mengernyit. “Siapa ya?”
“Lavanya,” ucap Sudarsono tiba-tiba.
“Lavanya?” Anin dan Giandra saling melempar pandangan.
“Itu dari Sansekerta. Artinya anggun dan mempesona,” jawab Sudarsono.
“Nama yang cantik. Cocok buat adik kamu yang cantik ini,” sahut Anin.
Giandra tersenyum hangat. “Baiklah. Mulai sekarang bayi ini bernama Lavanya Sarasvati Wijaya.”
Senyuman lebar terukir di bibir Anin. Sementara Sudarsono hanya diam, melempar tatapan tajam pada Giandra.
“Gian, ada yang mau saya bicarakan sama kamu,” kata Sudarsono.
Anin mengernyit, menatap Sudarsono.
“Tentang apa, Yah?” tanyanya.
“Bukan urusanmu. Ayo, ikut saya, Gian!” tegas Sudarsono.
Sudarsono menyerahkan bayi itu ke gendongan Anin, lalu melangkah pergi.
Giandra melirik Anin sekilas. “Aku pergi dulu ya.” Dia pun mengikuti Sudarsono yang berjalan keluar rumah sakit.
“Ada apa, Pak?” tanya Giandra setibanya di parkiran rumah sakit.
“Kamu masih sekolah, kan?” Sudarsono bertanya balik dan tanpa basa-basi.
Giandra terperangah. “Bapak tahu dari mana? Saya belum pernah bilang.”
“Mata-mata saya banyak. Saya tahu selama ini kamu nggak jaga toko bangunan punya bapakmu, kan? Karena kamu belajar di Sekolah Menengah Teknik,” jawab Sudarsono.
Giandra menghela napas panjang. “Iya, Pak. Saya sekolah, tapi saya belum bilang karena takut bapak suruh saya cerai dari Anin,” ungkapnya jujur.
Sudarsono mendengus kecil. “Kenapa harus marah? Saya justru bangga. Akhirnya saya menemukan orang yang tepat untuk mewarisi kontraktor saya.”
Giandra terdiam, mimik wajahnya berubah sendu. “Sayangnya ... Bapak udah nggak ada jadi saya nggak bisa lanjut sekolah karena harus benar-benar mencari nafkah.”
Sudarsono menepuk bahu Giandra.
“Tenang saja. Saya akan menanggung semua biaya pendidikanmu dan saya juga akan memberi kamu dan Anin nafkah sampai kamu lulus,” ucapnya.
“Ta–tapi ... Saya nggak enak, Pak. Masa nafkah masih dikasih sama bapak mertua,” tutur Giandra.
Sudarsono menatapnya tajam. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk putri saya. Tugasmu cuma satu yaitu setia pada Anindira. Paham?”
Giandra mengangguk. “Paham, Pak.”