NovelToon NovelToon
Peluang Pulih

Peluang Pulih

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:771
Nilai: 5
Nama Author: jvvasawa

"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."

Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.

Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.

Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.

Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.


Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!

Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!


Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18 | DESAS-DESUS

Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

...

Lega juga, sih, mendengar ungkapan dari Zofan bahwa Sora tak selalu bersamanya. Itu tandanya Sora memang tidak dekat dengan ketiga orang ini, dan berarti aku tidak perlu sering-sering berpapasan dengan mereka, kalau-kalau suatu saat semakin sering berinteraksi dengan Sora.

Tubuhku hendak berbalik, sebelum tangan Zofan gesit menahan bahuku, membatalkan niatku dari memunggunginya. “Apa?” gerutu mulutku ogah-ogahan.

“Kau … tidak benar-benar serius soal semalam, kan?” Gumamannya masih bisa kudengar dengan jelas.

“Soal yang mana? Soal kau yang bodoh? Tentu saja aku serius.”

Aku tahu apa yang dia maksud, tapi kali ini aku memilih jalur balas dendam. Memang dia saja yang bisa mengerjaiku? Aku juga bisa!

“Bukan itu, Natarin! Soal – kau tak jadi membantuku?” suaranya kembali mengecil di akhir kalimat.

Wajahku menekuk dengan bibir membentuk bulan sabit terbalik, “tergantung jawaban seriusmu soal pertanyaanku semalam, sih. Kau tahu …,” aku sengaja menggantungkan kalimatku, lalu kubuat intonasi suaraku terdengar semisterius mungkin sambil kepalaku sedikit kurendahkan, membuat kepala Zofan otomatis mengikuti gerakanku, “aku lihat di mana gulungan kertas itu disembunyikan, dan …,”

Lagi-lagi kubiarkan kalimatku menggantung, yang mana kali ini tak ada niat untuk kulanjutkan.

“Dan … apa? Dan apa, Nata? Kau serius tahu di mana letaknya?!” celoteh Zofan yang mulai tak sabaran. Aku hanya menanggapi dengan anggukan mantap tanpa membuka suara. Kututup rapat-rapat mulutku ini, sengaja membuat Zofan kelabakan.

“Katakan padaku, Natarin. Aku benar-benar membutuhkannya!”

“Untuk apa?”

“Uh, kau tak perlu tahu.”

Kelopak mataku melebar tak terima, “Aku tak perlu tahu?”

“Kalau begitu, jangan minta bantuanku! Kau urus saja sendiri urusanmu yang tak boleh kuketahui itu, tuan misterius! Lagipula, ini tak akan menguntungkanku. Seperti kata nenekmu, ini petaka.”

Tanganku menepis kasar tangannya yang ternyata masih berdiam di bahuku. Sekarang dia pasti merasa terancam.

“Argh! Baiklah, baiklah, aku beritahu!” erangnya agak frustrasi, seolah-olah dia diharuskan membocorkan rahasia turun-temurun yang tak diketahui banyak orang. “Sebenarnya … ada yang ingin kupelajari dari kertas itu. Aku yakin isinya akan sangat berguna untuk memperdalam kemampuanku, Nat.”

Masih sambil berbisik tak ingin didengar siapa pun, Zofan menerangkan, “menurut beberapa sumber, baru sedikit orang yang berkesampaian membacanya, saking rumitnya memecahkan setiap kata yang tertulis di sana.”

“Isi tulisannya itu bagai bahasa baru yang dirangkai, diciptakan, dan disusun sedemikian rumit dengan rumus-rumus canggih, entah persamaan apa lah yang dipakainya itu, aku tak begitu mengerti. Malahan aku yakin, aku tak mengerti sedikit pun rumus yang ditulisnya itu. Makanya aku butuh kau, Nat.”

Rumus-rumus canggih? Apa itu akan jadi rumus yang belum pernah kutemui sepanjang sejarah kehidupanku? Menarik sekali! Berarti ini juga akan menguntungkanku.

“Oke, tapi itu belum cukup untuk meyakinkanku.”

Aku tetap bertindak seolah belum goyah, yang ditanggapi dengan ekspresi tak percaya dari raut wajah Zofan. “Kau masih belum menjawab pertanyaanku soal nenekmu.”

Mataku menilik tajam pada pupil Zofan, mengekspresikan keseriusanku. Lirikanku menangkap sekilas jakun Zofan yang bergerak naik-turun, secara tak langsung menunjukkan kegelisahannya.

“Kau masih belum baca pesan terakhir dariku semalam, ya?” tebaknya tiba-tiba, dan itu benar.

“Sebentar. Nanti kita lanjutkan,” bisikku.

Dibuat penasaran olehnya, segera saja aku kembalikan posisi dudukku menjadi tegap, menghadap teman-temanku lagi untuk meraih ponselku.

Saat kepalaku tak sengaja mendongak, penglihatanku langsung disuguhi sorot-sorot mata penuh penasaran dari beberapa temanku, yang tak perlu aku sebut satu-satu namanya itu.

“Nat, apa kau …,” salah satu temanku angkat bicara, mewakili teman-teman yang lain.

Kemudian disahut dengan suara lain, yang terkesan menduga-duga, “apa kau berkencan dengan Zofan?”

“Hah? Apa?!” pekikku terkejut. “Darimananya terlihat seperti itu?!”

“Yah, kalian tiba-tiba terlihat dekat seperti barusan. Itu terlalu dekat, dan sangat tidak biasa untuk seorang Natarin,” sahut teman yang pertama kali angkat bicara. “Padahal, kita semua tahu, kau paling tidak ramah kalau sudah dihadapkan dengan laki-laki.”

Benar … juga. Aku bukannya anti laki-laki, bukan juga membenci laki-laki. Aku hanya … merasa canggung, dan entah mungkin memang sudah naluriku untuk otomatis bersikap ketus jika sudah berurusan dengan laki-laki. Rasanya jiwa berdebatku meluap-luap tiap bicara dengan salah satu dari mereka.

Bahkan kalau kalian masih ingat, pada Sora pun, aku pernah hampir berdebat di awal pertemuan kami semenjak kepindahannya di sekolah ini.

Kelembutan dan ketenangan Sora dalam menghadapiku lah yang berhasil memadamkan baranya.

“Tidak, aku tidak ada apa-apa dengan Zofan, kok. Kalian jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku masih Natarin yang sama! Dia hanya butuh bantuanku untuk menghitung sesuatu – soal matematika!” sanggahku sejelas mungkin, dengan templat yang sama.

Aku masih Natarin yang sama, kecuali untuk Sora~

“Ah, kalian ini bagaimana, sih? Tentu saja Natarin tak ada rasa pada Zofan, begitu sebaliknya. Mereka tidak cocok dari sisi manapun, tahu? Malah menurutku …”

Satu-satunya temanku yang sedari tadi diam di antara kami, tiba-tiba saja ikut menyela dengan suara cempreng andalannya, tak lupa dengan kebiasaannya mendekatkan wajah ke tengah, menyelonong di antara kami untuk menambah rasa kepo para pendengar, “… Natarin itu lebih cocok dengan Sora, tahu~!”

Badum! Badum! Badum!

Itu suara jantungku yang langsung memompa cepat, mengalirkan seluruh darah yang rasanya sekarang menumpuk di kedua pipiku.

Bibir bawahku tergigit pelan oleh deretan gigi atas, menahan lekukan bibirku agar tak membentuk apa pun yang bisa menyadarkan mereka akan perasaan yang sedang menggerogoti hatiku sekarang.

Ternyata ada yang berpikir aku dan Sora serasi?

“Aku setuju, sih! Lagipula, memangnya kalian tidak dengar desas-desus soal Zofan?”

Kedua alisku terangkat spontan, mendengar celetukan halus temanku yang bersuara lebih berat dari teman sebelumnya. Sesekali temanku itu melirik ke arah Zofan yang aku tak tahu sedang apa, karena posisiku membelakangi laki-laki itu.

Sepertinya hanya memastikan kalau Zofan tak memasang telinga untuk menguping, karena setelah gerak-gerik waspadanya itu, temanku kembali berbisik, “kudengar, Zofan buat ulah di parkiran fakultas Ekonomi dan Bisnis dari kampus A. Kalian tahu, kan, kampus yang itu?”

“Apa? Memangnya dia buat apa?!”

“Ssh! Jangan keras-keras! Nanti orangnya dengar! Makanya, dengar dulu! Aku belum selesai bicara,” cicit temanku sambil membekap teman yang lain.

“Katanya, di fakultas itu ada kekasihnya. Kekasih Zofan itu mahasiswa baru di sana, dan kabarnya mereka sedang bertengkar. Karena pertengkaran ini, jadinya Zofan memunculkan dirinya di sana dan menyeret paksa lengan kekasihnya yang menolak bicara."

"Dari situ lah tersebar rumor kalau ternyata Zofan punya kekasih yang rupanya anak kuliahan.”

...

Bersambung

1
Avocado Juice🥑🥑
Luar biasa kisahnya
Jwasawa | jvvasawa: Huhu terima kasih banyaak sudah luangin waktu membaca Peluang Pulih! 🥺💛
total 1 replies
Aishi OwO
Mantap, gak bisa berhenti baca
Jwasawa | jvvasawa: Waaaa terima kasih banyak! Semoga betah terus bacanyaa. /Whimper//Heart/
total 1 replies
Tsuyuri
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
Jwasawa | jvvasawa: Aaaa terima kasih banyak dukungannya! 🥺 akan aku usahakan! ♡♡
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!