NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:762
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19 PERANG DIAM-DIAM

Pagi itu rumah besar Atmadja terasa lebih tegang daripada biasanya. Para pelayan bergerak lebih pelan, seakan mencium badai yang belum tampak. Amara turun ke ruang makan, menemukan Meylani sudah duduk dengan gaun elegan, ditemani dua kerabat keluarga yang jarang hadir.

“Amara, duduklah,” ucap Meylani manis. “Kami sedang membicarakan yayasan. Ternyata beberapa sponsor mempertanyakan transparansi programmu.”

Amara menahan napas. “Transparansi apa yang mereka maksud? Semua laporan sudah saya serahkan ke tim.”

Salah satu kerabat menimpali, “Kami dengar ada dana yang tidak sesuai catatan. Jumlahnya memang kecil, tapi cukup membuat orang curiga.”

Amara terkejut. Ia yakin semua pengeluaran sudah ia catat rapi. Ada yang sengaja mengutak-atik laporan

Siangnya, di kantor yayasan, Amara langsung mengecek laporan keuangan. Kepala keuangan terlihat gelisah. “Bu, ada transaksi tambahan tercatat di sistem. Pembelian alat dengan nominal belasan juta, padahal kita tidak pernah memesan barang itu.”

Amara meneliti, lalu menyadari: nama yang dipakai adalah namanya sendiri. “Ini jelas sabotase,” katanya tegas.

Kepala keuangan menunduk. “Saya tidak tahu siapa yang bisa masuk. Tapi user ID-nya sesuai dengan akun Anda.”

Amara menggigit bibir. “Siapa pun bisa memalsukan akun kalau punya akses. Saya ingin log detail server hari itu.”

Sore harinya, Bagas datang. Ia membaca laporan tambahan yang Amara berikan, alisnya berkerut. “Ada orang dalam yang bermain. Dan aku tahu siapa yang paling diuntungkan jika kau terlihat salah.”

“Meylani,” jawab Amara cepat.

Bagas menatapnya. “Aku bisa langsung memanggilnya, tapi tanpa bukti jelas, ia akan balik menyerang. Kau berani menghadapinya dengan cara berbeda?”

Amara mengangguk. “Aku akan mengumpulkan bukti sendiri. Jika dia ingin menjatuhkan lewat angka, aku akan melawannya dengan data.”

Malam itu, Amara duduk di kamar dengan laptop terbuka. Ia menyalin semua catatan keuangan ke dalam file pribadi. Setiap nota, setiap bukti pembelian ia foto ulang. Ia membuat arsip ganda yang disimpan di server eksternal.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan anonim masuk: “Hati-hati. Mereka tidak hanya mengutak-atik laporan. Besok, akan ada berita baru tentangmu.”

Amara merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia menutup laptop dengan tegas. Kalau mereka pikir aku akan mundur, mereka salah.

Keesokan paginya, benar saja. Media gosip online menulis artikel dengan judul: “Istri Muda Keluarga Atmadja Diduga Menyalahgunakan Dana Yayasan.” Foto Amara terpampang besar, dengan narasi miring.

Kerabat keluarga kembali berdatangan, menatapnya penuh tuduhan. Namun kali ini Amara tidak gentar. Ia berdiri, membawa map berisi laporan lengkap.

“Ini bukti asli pengeluaran. Semua cap dan tanda tangan jelas. Kalau ada transaksi fiktif, saya minta audit resmi dilakukan. Dengan begitu kita semua bisa tahu siapa yang benar-benar bermain.”

Ruangan terdiam. Kerabat-kerabat itu saling berpandangan.

Bagas menatap Amara, lalu menoleh ke semua orang. “Aku setuju. Audit resmi besok pagi. Dan kalau terbukti ada yang memanipulasi sistem, aku pastikan mereka tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di yayasan ini.”

Meylani tersenyum tipis, tapi mata dinginnya menusuk Amara.

Malamnya, Amara menulis di catatannya:

“Hari ini mereka menuduhku mencuri. Tapi aku tidak akan lari. Aku akan biarkan kebenaran berbicara lewat data. Dan saat itu terjadi, semua topeng akan jatuh.”

Ia menutup buku itu, lalu menatap cermin. Bayangan dirinya semakin jelas: bukan lagi korban, melainkan pejuang yang siap menghadapi perang diam-diam di rumah besar ini.

Pagi buta, Amara sudah tiba di kantor yayasan. Ruang rapat kecil di lantai dua masih beraroma pembersih lantai. Kepala IT datang membawa flash drive, disusul kepala keuangan dengan setumpuk map.

“Kami mengekstrak log server,” ujar kepala IT, menyalakan layar. “Ada akses ke akun Anda pada pukul 01:13 dini hari, dari jaringan tamu. Perangkat yang dipakai tidak terdaftar di inventaris kantor.”

“Titik aksesnya?” tanya Amara.

“Koridor utara, dekat ruang arsip. Ada kamera di sana. Kami sedang menstabilkan rekaman.”

Kepala keuangan membuka map. “Ini mutasi buku besar hari itu. Transaksi fiktif masuk persis dua menit setelah login anomali. Notanya diarahkan ke vendor baru yang alamatnya belum terverifikasi.”

Amara mencatat cepat. “Vendor ini jangan dihapus dari sistem. Kunci sebagai barang bukti.”

Ia memotret setiap halaman, menyimpan salinan digital di cloud yang telah ia siapkan semalam. Setiap file diberi nama dengan tanggal dan cap waktu. Ketelitian menjadi satu-satunya jawaban di tengah keraguan.

Menjelang pukul delapan, Bagas masuk. “Audit independen sudah dikontrak. Tim tiba siang ini. Tidak ada akses ditutup. Semua pintu dibuka untuk auditor.”

Kepala IT mengangguk. “Kami siapkan workstation read-only. Auditor bisa melihat log mentah, bukan hanya laporan kami.”

Amara menatap Bagas. “Terima kasih. Aku juga menyiapkan binder pembanding, catatan manual yang berpasangan dengan catatan digital.”

“Bagus,” jawab Bagas singkat. “Kita bertarung dengan terang.”

Di kampus, artikel gosip tentang dugaan penyelewengan dana sudah beredar di grup mahasiswa. Ponsel Amara bergetar tanpa henti. Beberapa pesan bernada sinis, tetapi ada juga dukungan mengalir.

Indra mengirim pesan: Aku baca berita. Kalau butuh saksi untuk kegiatan kemarin, aku siap bantu.

Dosen pembimbing mengirim surel singkat: Tetap masuk. Selama belum ada putusan audit, kamu mahasiswa aktif dan berhak presentasi besok.

Amara menatap layar ponselnya. Tekanan dan kekuatan datang bersamaan. Ia menghela napas, lalu membalas satu per satu dengan ucapan terima kasih. Ia tidak ingin terlihat bersembunyi.

Siang, auditor independen tiba. Dua pria dan satu perempuan membawa tas laptop dan segel bukti. Mereka memperkenalkan diri singkat, lalu langsung bekerja. Kepala IT menyerahkan salinan log, kepala keuangan memberikan akses ke buku besar, sementara Amara duduk di ujung meja menyusun binder kedua.

Auditor perempuan menatap Amara. “Kami butuh kronologi ringkas dari sisi pemilik program. Lima menit saja.”

Amara menyajikan alur: pengajuan program, persetujuan rapat, implementasi kelas, dokumentasi, hingga munculnya transaksi fiktif. Ia menyampaikan tanpa emosi, hanya fakta. Auditor menulis cepat, sesekali bertanya untuk mengunci waktu.

“Baik,” ucapnya. “Fokus kami: siapa yang mengeksekusi transaksi, dari perangkat mana, dan lewat jalur apa. Jika ada intervensi manusia, jejaknya biasanya tersisa.”

Amara mengangguk. “Saya sediakan semua akses yang diperlukan.”

Menjelang sore, ruang rapat diberi jeda. Amara berdiri di balkon kantor. Kota berdenyut tanpa peduli badai yang ia hadapi. Di bawah, Arman menerima telepon. Ia naik beberapa anak tangga dan memberi isyarat agar Amara turun.

“Rekaman koridor sudah stabil,” lapor Arman pelan. “Ada seseorang lewat sebelum akses anomali. Tudung jaket menutupi kepala. Ciri yang tertangkap jelas hanya gelang mutiara di pergelangan tangan dan kuku berwarna merah.”

Ciri itu memukul ingatan Amara. Gelang dan kuku yang sama pernah disebut satpam kampus saat insiden foto. Ia menahan gejolak di dada. “Simpan rekamannya. Jangan sebar ke siapa pun sampai auditor melihat.”

Arman mengangguk. “Sudah saya segel.”

Sore menjelang malam, kerabat keluarga kembali bermunculan di rumah. Mereka duduk di ruang tamu bersama Meylani. Nada suara mereka berusaha ramah, tetapi pertanyaan menyempit seperti jerat.

“Kapan audit selesai?”

“Apakah perlu kamu dinonaktifkan sementara dari program?”

“Demi kebaikan nama keluarga.”

Amara menatap satu per satu. “Audit berjalan hari ini. Hasil awal butuh verifikasi. Menonaktifkan saya sekarang justru mengirim pesan buruk ke publik. Yang kita perlukan ketenangan dan prosedur.”

Meylani mengangkat alis. “Ketenangan atau penundaan?”

Bagas masuk dan berdiri di sisi Amara. “Kita tidak menunda. Kita menegakkan tata kelola. Siapa pun yang menyentuh sistem tanpa wewenang akan keluar dari yayasan. Tidak peduli pangkatnya.”

Kerabat terdiam, lalu pamit satu per satu. Tatapan Meylani dingin, tetapi ia tidak bicara lagi. Ia tahu kalimat Bagas bukan gertakan.

Di kamar, malam turun dengan pelan. Binder yang tadi kosong kini penuh tab pembatas berwarna. Amara menomori halaman, menandai lampiran, lalu mengikatnya dengan karet bening. Ia menulis ringkasan satu halaman untuk memudahkan auditor membaca.

Ponselnya bergetar. Kepala IT mengirim pesan: Ada hal baru. Login anomali memakai user Anda dilakukan dari mesin kerja bernama ADM-07. Menurut catatan HR, pemilik meja itu mengambil cuti hari itu. Kami duga akunnya dipakai orang lain.

Selang satu menit, pesan Arman masuk: Tangkapan kamera parkir menampilkan seseorang turun dari mobil putih kecil pada pukul 00:57. Ciri gelang dan kuku sama. Rekaman disegel.

Amara menutup mata sejenak. Potongan-potongan mulai menyatu, belum menjadi gambar utuh, tetapi cukup untuk menuntun langkah. Ia merapikan meja, menyimpan binder ke dalam tas, lalu menulis satu baris di catatan malamnya.

Kebenaran butuh sabar dan urutan. Besok aku letakkan potongan itu di meja yang terang.

Ia mematikan lampu. Di luar, angin malam menyusup lewat celah tirai. Di dalam, ada ketenangan yang lahir dari kerja yang rapi. Audit menunggu, tetapi untuk pertama kalinya sejak tuduhan itu muncul, Amara merasa garisnya lurus dan pijakannya kuat. Besok, angka-angka akan berbicara, dan suara fitnah akan kekeringan sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!