NovelToon NovelToon
Cinta Mulia

Cinta Mulia

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Pernikahan Kilat / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hoax

Setelah pukulan telak yang diberikan Kartika dengan membocorkan dokumen penggelapan pajak, Bu Hanim bukannya mundur, ia justru maju dengan kegilaan yang lebih terorganisir. Ia tahu, untuk memenangkan pertempuran, ia harus mengendalikan narasi dan melumpuhkan hukum.

Bu Hanim kembali melancarkan propaganda lewat media massa dan platform daring. Dengan uang yang masih melimpah, ia membayar influencer dan pemilik media untuk menenggelamkan isu penggelapan pajak suaminya. Mereka kembali memuat Mulia Anggraeni sebagai headline.

Narasinya semakin keji: "Mulia adalah dalang utama penembakan Ikhsan. Motifnya adalah dendam dan ambisi harta. Ia ingin Ikhsan tewas untuk mendapatkan asuransi dan mewarisi Rumah Sakit Medika Sejahtera. Kebocoran pajak Pak Wibowo hanyalah pengalihan isu yang direncanakan Mulia bersama Kartika untuk membersihkan namanya."

Mulia, yang kini bersembunyi di sebuah apartemen aman bersama Ikhsan, melihat berita itu di televisi. Wajahnya kebas, ia hanya bisa menatap layar dengan mata kosong.

"Mereka gila," bisik Mulia. "Mereka benar-benar gila."

"Mereka pengecut, Lia," kata Ikhsan, yang kini sudah bisa berjalan, meskipun masih harus berhati-hati. "Mereka menyerangmu karena mereka tahu kelemahan mereka adalah image mereka."

****

Isu penggelapan pajak Pak Wibowo seharusnya menghancurkan Bu Hanim, tetapi ia segera mengambil tindakan pencegahan yang ekstrem. Ia menyuap lebih banyak petugas dan pejabat tinggi di kepolisian dan Kantor Pajak. Uang dalam jumlah fantastis dialirkan untuk merintangi setiap langkah penyelidikan yang diinisiasi oleh bocoran Kartika. Dokumen-dokumen mulai hilang, saksi-saksi kunci mendadak bungkam atau menghilang, dan berkas penyelidikan berjalan di tempat.

Kartika mengetahui pergerakan Bu Hanim. Ia masuk ke ruangan Ikhsan, wajahnya dipenuhi amarah.

"Mereka meloloskan diri lagi!" seru Kartika, melemparkan koran ke meja. "Penyelidikan pajak Pak Wibowo dibekukan! Polisi bilang 'kurangnya bukti kuat'! Padahal aku menyerahkan seluruh berkas asli!"

"Dia membeli mereka semua, Ma," kata Ikhsan, rahangnya mengeras. "Dia membeli hukum di negara ini."

"Aku tidak akan terima ini!" Kartika mengepalkan tangan. "Aku akan menghubungi jaringan lama. Kita akan melawan melalui jalur politik, jalur manapun yang bisa menyentuhnya!"

Mulia menatap Kartika dan Ikhsan, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Mereka mempertaruhkan segalanya, tidak hanya harta, tetapi juga keselamatan dan kehormatan mereka, demi melindunginya.

"Tante, Ikhsan... aku mohon hentikan. Aku tidak mau kalian terluka lagi," pinta Mulia.

"Tidak, Mulia," balas Kartika tegas. "Ini bukan lagi tentang kamu atau Ikhsan saja. Ini tentang melawan tirani uang yang membuat mereka berpikir mereka di atas hukum. Kita akan melawan, bersama-sama."

****

Bu Hanim tidak hanya berjuang di meja hukum, ia juga menyerang basis kekuatan Ikhsan: Rumah Sakit Medika Sejahtera.

Melalui tangan-tangan rahasia, Bu Hanim membayar sekelompok orang—terutama preman yang menyamar—untuk melakukan demonstrasi besar-besaran di depan gerbang rumah sakit. Mereka membawa poster-poster yang menuduh rumah sakit itu sarang malpraktik dan tempat pembunuhan pasien.

"Tutup Rumah Sakit Pembunuh!"

"Ikhsan Pembohong!"

"Kami Korban Malpraktik Medika Sejahtera!"

Teriakan dan yel-yel mereka menggema di jalanan. Mereka beraksi seolah-olah mereka adalah korban malpraktik yang menuntut keadilan, sementara faktanya, mereka adalah aktor bayaran. Citra rumah sakit yang baru saja dihantam oleh isu penembakan, kini semakin terpuruk. Pasien lama menarik diri, dan pasien baru enggan datang.

Melihat kekacauan itu dari rekaman CCTV, Ikhsan nyaris meledak.

"Mereka menyerang anak buahku! Mereka menyerang nama baik yang kubangun bertahun-tahun!" Ikhsan meninju meja, rasa sakit di bahunya tidak terasa lagi dibanding rasa sakit di hatinya.

"Ikhsan, jangan terpancing," Mulia memohon, memegang lengan Ikhsan.

"Aku tidak bisa diam, Lia! Ini adalah bisnis. Jika rumah sakit ini bangkrut, semua yang Mama dan Papa bangun akan hilang!"

"Itu memang tujuan mereka," kata Mulia, matanya menatap dingin ke layar yang menampilkan wajah-wajah marah para demonstran bayaran. "Mereka ingin kita bangkrut. Mereka ingin kita putus asa."

****

Di markas operasinya, Bu Hanim tersenyum melihat laporan kerusuhan di depan rumah sakit. Ia mengangkat gelas sampanyenya ke arah Dinda.

"Cheers, Dinda. Untuk kehancuran Medika Sejahtera. Dan untuk keputusasaan Mulia Anggraeni," ucap Bu Hanim.

"Kita menang, Ma," kata Dinda, ikut tersenyum.

"Belum," koreksi Bu Hanim, matanya menyala. "Kemenangan sejati adalah saat aku melihat Mulia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Ketika Ikhsan jatuh dan tidak bisa melindunginya, saat itulah Mulia akan menjadi milikku."

Bu Hanim mengambil ponselnya, mengirimkan pesan singkat kepada salah satu media online bayarannya: Naikkan berita: 'Saksi Mata Malpraktik Medika Sejahtera Ungkap Mulia Anggraeni Dicurigai Meracuni Ibunya Sendiri'.

Mulia tidak tahu, serangan baru telah dilancarkan. Serangan yang jauh lebih keji dan personal dari sebelumnya. Ia tidak hanya menghadapi musuh di ranah hukum dan publik, tetapi juga musuh yang tak segan menyerang ingatannya tentang mendiang ibunya.

****

Di sebuah ruangan yang aman, Mulia dan Ikhsan duduk berdampingan di depan laptop. Layar itu memancarkan cahaya dingin yang menerangi wajah Mulia yang kini tak lagi menunjukkan air mata, melainkan hanya kekosongan yang membatu.

Berita hoax terbaru besutan Bu Hanim telah menyebar bak kilat beracun. Media online dan akun-akun gosip beramai-ramai memberitakan narasi yang paling keji: Mulia Anggraeni sengaja membunuh Dewi, ibu kandungnya sendiri.

"Mereka bilang... aku membunuh ibuku," bisik Mulia, suaranya parau, bahkan tak mampu mencapai nada sedih. "Mereka bilang aku membunuhnya karena Ibu menentang ambisiku untuk menguasai rumah sakit dan menikahi Ikhsan."

Narasi itu disusun dengan sangat halus, tetapi penuh hasutan. Dicampur dengan isu malpraktik rumah sakit dan penembakan Ikhsan, publik kini menghujat Mulia habis-habisan sebagai wanita amoral, pembunuh, dan haus harta.

Ikhsan memegang tangan Mulia erat, rahangnya mengeras menahan amarah. "Ini gila, Lia. Ini sudah melampaui batas. Kita harus membuat pernyataan resmi!"

Ia melihat komentar-komentar yang brutal. Mereka memanggilnya 'anak durhaka', 'pembunuh berdarah dingin', dan 'monster'. Mulia merasa jiwanya tercabik-cabik. Tuduhan lain ia bisa terima, tetapi tuduhan membunuh ibu kandungnya sendiri, yang sudah berkorban segalanya, adalah pukulan paling mematikan.

****

Di kediamannya, Bu Hanim sedang bersantap siang mewah. Di hadapannya, Dinda membaca berita itu dengan ekspresi campur aduk antara ngeri dan puas.

"Mama, ini sangat kejam. Mereka bahkan menyebutkan kalau Mulia yang mencekik ibunya," kata Dinda.

Bu Hanim tertawa membahana, tawa yang keras, serak, dan tanpa kendali. Ia meletakkan garpunya, matanya berkobar penuh kemenangan.

"Ini yang aku inginkan, Dinda! Inilah kehancuran total!" seru Bu Hanim. "Dia mencintai ibunya lebih dari segalanya, dan sekarang? Publik percaya dia yang membunuh ibunya! Mulia tidak hanya kehilangan ibunya, dia kehilangan nama baiknya, kehormatannya, dan semua simpati publik! Sekarang, dia benar-benar sendirian!"

Dinda tersenyum tipis. "Lalu, apa rencana kita selanjutnya, Ma? Menyingkirkan Kartika?"

"Tentu saja," Bu Hanim mengangguk. "Tapi sebelum itu, aku akan nikahkan kamu dengan Satria. Pernikahan itu akan menjadi berita besar yang akan mengkonfirmasi: wanita baik-baik seperti Dinda mendapatkan Satria, sementara Mulia, sang pembunuh, mendapatkan stigma dan neraka."

Bu Hanim mengambil wine dan menuangkannya ke gelas. "Aku akan terus menekan, Dinda. Aku akan pastikan Ikhsan tidak bisa bertahan lebih lama lagi dengan beban wanita amoral di sisinya. Aku akan menghancurkannya dari sisi sosial dan emosional."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!