Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kata-kata menyakitkan.
Handrian berdiri kaku di depan pintu rumah sakit, dengan nafas yang masih terasa berat. Udara sore yang terlihat semilir justru terasa menusuk kulit, seolah membawa beban yang kian menyesakkan hatinya.
Ia menunduk dan menatap mobil hitamnya yang terparkir di halaman. Jemarinya sempat bergetar saat meraih gagang pintu, seolah ada ribuan tali yang sedang menahan kakinya untuk tidak melangkah.
Namun bayangan wajah Adelina dan suara ibunya yang terus terngiang di kepalanya, membuat ia akhirnya masuk ke dalam mobil.
Kursi pengemudi pun langsung menyambut tubuhnya yang lunglai. Ia berusaha memejamkan matanya sejenak, dan mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedari tadi terasa berdegup tidak terkendali.
Tangan kirinya mencengkeram erat kemudi, sementara tangan kanannya terangkat, dan menutup wajahnya sendiri.
Suasana menjadi hening sejenak, lalu ia membuka matanya, serta menyalakan mesin mobil, dan mulai melaju keluar dari halaman rumah sakit.
Setiap tarikan gas terasa berat, seakan roda mobilnya ikut menanggung dilema yang membebaninya.
Dan disepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Adelina, fikiran Handrian tidak hentinya digelayuti oleh wajah pucat Rosalina.
Bayangan istrinya yang terbaring dengan perban di kepala, bibir yang pucat, dan tubuh yang lemah di atas ranjang rumah sakit, seakan terus menghantui hatinya.
"Maafkan aku, Rosalina…" bisiknya lirih, nyaris tercekat.
"Aku janji, bahwa aku akan segera kembali…"
Mobil itu terus melaju di jalanan yang mulai dipenuhi oleh cahaya lampu sore. Namun semakin dekat ia dengan tujuannya, maka semakin besar pula rasa sesak di dadanya.
Ia tahu, pertemuannya dengan keluarga Adelina bukanlah sekadar pertemuan biasa. Tapi itu adalah sebuah penentuan antara masa depan, kehormatan, dan sekaligus pengkhianatan terhadap perempuan yang kini paling membutuhkannya.
Sementara itu, di rumah sakit...
Langkah cepat seorang dokter keluar dari ruang rawat Rosalina. Wajahnya yang sebelumnya tegang, kini terlihat sedikit lega.
Di tangannya masih tergenggam clipboard berisi catatan medis, dan begitu ia melihat Bu Norma yang duduk di kursi lorong, Dokter itu segera menghampirinya.
"Bu. Apa Ibu keluarga pasien yang bernama Rosalina?" tanya Dokter itu, dengan nada mantap.
Dan saat mendengar pertanyaan dari Dokter itu, Bu Norma pun mengangguk.
"Ya, Dokter! Saya Ibu mertuanya." jawab Bu Norma, yang membuat Dokter itu tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu! Begini Bu, saat ini saya ingin menyampaikan kondisi Ibu Rosalina yang sudah mulai stabil, dan sekarang dia juga sudah sadar." ucap Dokter itu, membuat Bu Norma membulatkan bola matanya.
Awalnya Bu Norma juga sempat tersentak kecil saat mendengar kabar itu, tapi kemudian ia malah memperlihatkan raut wajah datar.
"Oh begitu…" jawabnya, nyaris tanpa ekspresi.
Dokter itu pun mengangguk sambil kembali tersenyum lembut.
"Benar. Memang kondisinya sekarang masih lemah, tapi kesadarannya sudah kembali. Ia tadi juga sempat memanggil nama suaminya… Handrian."
Mendengar hal itu, Bu Norma hanya mendengus pelan, bola matanya juga berputar, seolah tidak peduli. Lalu ia pun menjawab dengan nada dingin.
"Ya, wajar saja kalau dia mencari-cari Handrian. Tapi untuk sekarang, itu bukanlah prioritas. Yang terpenting dia sadar dulu, dan tidak lagi menjadi beban untuk suaminya."
Dokter itu menatap heran kearah Bu Norma, namun ia tidak berkata apa-apa lagi. kemudian ia hanya menutup catatannya lalu pergi meninggalkan Bu Norma.
Begitu dokter berlalu, Bu Norma pun langsung menoleh sekilas ke arah pintu kamar rawat Rosalina. Dan dari balik kaca, ia bisa melihat jika menantunya itu sudah membuka mata, meskipun masih terlihat sayu.
Rosalina juga terlihat berusaha untuk menggerakkan bibirnya, dan seperti ingin memanggil nama seseorang.
Namun bukannya tergerak, Bu Norma justru menyilangkan tangan didepan dadanya, seraya berdiri dengan wajah yang terlihat kaku.
*****
Bu Norma melangkah masuk ke kamar rawat dengan langkah tenang, tetapi setiap gerakannya memancarkan hawa dingin yang begitu menusuk.
Ia menutup pintu perlahan di belakangnya, lalu berdiri di samping ranjang sambil menatap Rosalina, dan tersenyum.
Namun senyum yang terbentuk di bibirnya saat itu bukanlah senyum yang menenangkan, melainkan senyum sinis yang membuat udara di sekitarnya ikut mengeras.
Disaat-saat seperti itu, ia pun menatap tajam kearah Rosalina, dan berkata...
"Bangun juga kamu, Lina?" suaranya terdengar tajam, namun terkontrol.
"Aku fikir kamu akan betah tidur beberapa hari di rumah sakit, supaya bisa menghabiskan uang anakku." sambungnya lagi.
Mendengar perkataan Ibu mertuanya itu, Rosalina yang sedang berbaring diranjang hanya bisa mengelus dadanya.
Nafas perempuan cantik itu masih tersengal. Dan ia pun menundukkan kepala sejenak, lalu mengangkat wajahnya meski bibirnya terlihat begitu pucat.
Dengan suara yang bergetar namun jelas, ia berusaha menjawab perkataan Bu Norma.
"Bu, apa ibu fikir aku menginginkan musibah ini terjadi padaku? Kalau Mas Handrian tidak menghalangi keinginanku untuk pergi waktu itu, maka aku juga tidak akan terjatuh dan masuk ke rumah sakit seperti ini."
Sementara itu, Bu Norma yang mendengar jawabannya langsung tertawa pelan, dan nada tawanya itu terdengar seperti duri yang menusuk gendang telinga Rosalina.
Detik kemudian ia melangkah lebih dekat, serta mencondongkan tubuhnya, seolah-olah ia ingin membaca setiap kata Rosalina dengan lebih teliti.
"Oh begitu? Jadi sekarang kamu sudah kuat kan? Dan sekarang pasti kamu juga masih punya keinginan untuk pergi dari hidupnya Handrian? Kalau begitu pergilah, Rosalina. Karena saat ini Handrian tidak berada di sini, jadi kamu akan punya kesempatan untuk pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Handrian."
Seketika bola mata Rosalina melebar, karena perasaan kaget dan terluka. Ia menatap Bu Norma seperti mencari secercah belas kasih yang tidak pernah datang untuknya.
Tangannya yang semula mengusap dada kini terlihat bergetar, air matanya pun sudah mengumpul di sudut mata tetapi belum terjatuh.
"Apa... apa maksud Ibu?" tanya Rosalina, dengan suara yang nyaris patah.
"Aku… aku tidak bisa pergi. Aku sedang terluka, Bu. Bagaimana aku bisa pergi dalam keadaan seperti ini? Aku butuh waktu..."
Belum sempat Rosalina menyelesaikan kalimatnya tersebut, namun Bu Norma langsung menyela dengan ucapan yang terdengar begitu dingin.
"Waktu? Waktu sudah habis untukmu, Lina. Jadi jangan membuat anakku menjadi seperti seorang lelaki yang hidupnya tidak berguna sama sekali."
Kemudian ia mencondongkan kepala seraya menatap lurus kedalam mata Rosalina.
"Kalau memang kamu ingin pergi, maka pergilah. Jangan pernah lagi menunggu belas kasihan dari kami."
Rosalina hanya menatap mertuanya itu dengan air mata yang berlinang, namun ia berusaha mengusapnya, meskipun air mata itu terus mengalir membasahi pipinya yang pucat.
"Bu, kenapa Ibu begitu kejam sama aku? Kenapa juga Ibu sangat membenciku?" tanya Rosalina.
Namun Bu Norma kembali menatap kearahnya dengan tatapan yang menusuk dan juga tidak bersahabat.
"Karena kamu adalah seorang perempuan yang tidak pernah aku sukai, Lina. Saat Handrian menerima wasiat dari kedua orang tuamu, untuk menikahi dan menjagamu, aku sudah tidak setuju. Tapi anakku itu terlalu keras kepala, dan akhirnya pernikahanmu dan Handrian terjadi juga."
"Tapi tidak apa-apa kok, Rosalina! Sebentar lagi kamu sudah tidak akan menjadi menantuku lagi, karena posisimu akan digantikan oleh seorang perempuan, yang kini sudah mengandung anak dari Handrian. Dan aku yakin, meskipun kamu tidak akan pergi dari hidup Handrian, maka dia sendiri yang akan membuangmu kejalanan.
"Nyess."
Hati Rosalina begitu sakit mendengar perkataan wanita yang saat itu berdiri dihadapannya, seraya menatapnya dengan wajah sinis.
Bersambung...