—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Tangannya meraih botol yang dimaksud.
Dan saat membaca huruf kecil di balik label palsu yang sengaja ia pasang, darahnya terasa dingin.
Itu bukan obat tidur. Bukan juga obat penenang.
Itu adalah sisa obat perangsang yang ibunya paksa berikan padanya—obat yang dimaksudkan untuk mendorongnya ‘berfungsi sebagai pria’, untuk melupakan Tania, untuk menyerah pada tekanan dunia dewasa yang menjijikkan.
Kael tidak pernah meminumnya. Ia hanya menerimanya, menyimpannya, pura-pura patuh agar ibunya berhenti mengganggunya. Ia bahkan membayar wanita-wanita sewaan yang dikirim ibunya untuk berbohong, mengatakan malam mereka ‘berhasil’.
Semua itu adalah kebohongan yang ia rancang dengan teliti.
Tapi kini…
Kini Ara—gadis yang tidak seharusnya menyentuh sisi gelap hidupnya—justru menjadi korban dari sesuatu yang bahkan tidak pernah ia niatkan.
Kael memejamkan mata. Rahangnya mengeras. Jemarinya mengepal.
Sial.
Dia tidak pernah berniat seperti ini.
Dan Ara… Ara tengah duduk di sana, dengan tubuh yang mulai kehilangan kendali, dengan mata yang berkabut, bibir yang bergetar, dan napas yang terdengar seperti rintihan tertekan.
Kael tahu ini adalah titik berbahaya.
Satu kesalahan… bisa menghancurkan gadis itu.
Dan mungkin juga dirinya sendiri.
“Aku akan menyiapkan air dingin. Kau butuh menurunkan suhu tubuhmu,” kata Kael cepat, nyaris seperti pelarian. Suaranya datar, tapi ada retakan kecil yang tak bisa disembunyikan.
Ia berbalik, namun belum sempat mengambil langkah, suara lirih itu menahannya.
“Jangan tinggalkan aku sendirian, Kael…”
Langkahnya membeku.
Dan sebelum ia sempat berkata apa pun, sepasang lengan melingkar di pinggangnya.
Ara.
Tubuhnya panas, dadanya bergetar, dan tangan kecilnya mencengkeram Kael seakan hidupnya bergantung pada sentuhan itu. Pelukan itu bukan sekadar permohonan—itu adalah jeritan dari tubuh yang sedang terbakar pelan-pelan dari dalam.
Kael menegang. “Ara, jangan—”
“Aku mohon…” suara itu nyaris tak terdengar, terengah, putus-putus. “Kael… tolong aku…”
Dan sebelum Kael bisa melepaskan diri, bibir Ara sudah menempel di lehernya—basah, ragu, namun sangat nyata.
Kael memejamkan mata.
Darahnya mengalir deras ke tempat-tempat yang tidak seharusnya. Jantungnya berdetak keras, bukan karena gairah—tetapi karena ketakutan. Ketakutan akan dirinya sendiri.
Ia tahu gadis ini tidak sadar penuh. Ia tahu ini bukan pilihan yang benar.
Namun pelukan Ara begitu erat. Nafasnya menghangatkan kulit Kael. Tubuh mungil itu seperti sedang memohon agar tidak dibiarkan sendiri dalam pusaran panas dan ketakutan yang tidak ia mengerti.
Kael menggenggam pergelangan tangan Ara, mencoba melepaskannya perlahan.
Tapi dia tidak bisa bergerak.
Karena tubuhnya juga mulai kehilangan kendali.
“Ara… kau lihat lagi siapa aku?”
Suara Kael berat. Serak. Seperti ditarik paksa dari kedalaman dirinya yang paling gelap. Tangannya masih menggenggam lengan Ara, tapi cengkeramannya melemah saat tatapan gadis itu menembusnya—basah, penuh, seperti meminta sesuatu yang tak bisa ia beri.
Ara mendongak perlahan, menatap wajah Kael.
Matanya berkabut.
Tapi jemarinya mantap—gemetar, tapi tetap—satu per satu mulai membuka kancing di baju Kael. Setiap suara kancing yang lepas seperti alarm di kepala Kael, tapi tubuhnya justru diam, kaku, seolah dibelenggu oleh hasratnya sendiri.
“Kael…” bisik Ara.
Bibirnya nyaris menyentuh dadanya.
Kael mengepalkan tangannya. Ia menggigit sisi dalam bibirnya hingga hampir berdarah. Ia bukan malaikat—bahkan jauh dari itu. Tapi ia tidak ingin menjadi monster.
“Jika kau tidak berhenti sekarang…” suaranya pelan, hampir seperti peringatan terakhir sebelum jatuh ke jurang. “Kau akan menyesal.”
Mata mereka bertemu. Nafas mereka memburu.
Kael menunduk, nyaris menyentuh keningnya pada Ara.
“Karena aku tidak akan berhenti melakukannya,” bisiknya akhirnya—suara yang nyaris terdengar seperti luka yang dibuka paksa.
Ara tak menjawab. Tak mundur. Tak gemetar.
Ia hanya berjinjit perlahan, menarik tengkuk Kael dengan jemarinya yang kecil namun tak tergoyahkan—seolah tubuhnya tahu persis apa yang ia inginkan, walau pikirannya masih terjebak dalam kabut.
Dan saat bibir mereka bersentuhan…
Itu bukan sekadar ciuman.
Itu adalah permulaan. Sebuah ledakan kecil di dalam dada Kael yang selama ini ia tekan habis-habisan. Satu sentuhan yang menumbangkan seluruh tembok yang ia bangun.
Mata Kael terbuka, menatap Ara dari jarak begitu dekat. Gadis itu masih menutup matanya, menyandarkan dirinya sepenuhnya padanya.
“Persetan…” gumam Kael rendah, hampir seperti lolongan hewan terluka.
Tangannya naik, mendarat di pinggang Ara—mengerat, menariknya lebih dekat, hingga tidak ada lagi udara di antara tubuh mereka. Nafasnya berat, dan untuk pertama kalinya… dia tidak menahan diri.
Dia tidak peduli lagi siapa Ara.
Tidak peduli bahwa hubungan mereka seharusnya hanya pura-pura.
Tidak peduli lagi pada Tania.
Malam ini, dia akan memiliki gadis itu—seutuhnya.
Kael mencium Ara—bukan lembut, bukan pelan. Tapi dalam, intens, dan haus akan sesuatu yang tak bisa dia namai. Gadis itu membalasnya dengan putus asa yang membuat tubuh Kael menegang. Dia tahu ini bukan Ara yang biasa. Bukan gadis yang menatapnya dengan ketegangan dan hati-hati setiap malam. Ini adalah versi Ara yang terbakar dari dalam.
Bibir Mereka saling bertaut. Saling mencari saat ada jarak. Ara terus memeluk Kael. Membiarkan Kael leluasan untuk menyentuh tubuhnya. Tangan Kael sudah menyusup di punggung Ara. Melepaskan pengaitnya.
Tidak ada tanda-tanda Ara meminta berhenti. Dia justru meminta lebih.
Kael memaksakan diri melepaskan ciumannya. Menggendong Ara dan melemparkan gadis itu ke atas tempat tidur.
Dia melemparkan kemejanya. Kembali mendekati Ara dan mencium lebih dalam gadis dibawahnya. Tangannya bergerak. Merasakan kelembutan kulit Ara.
Pakaian mereka jatuh satu demi satu ke lantai dingin.
“Kaell…mm”
Ara mengerang sambil mencengkram rambut kael di sela jarinya. Saat bibir Kael melumat puncak dadanya sementara satu tangan yang lain aktif menjelajahi setiap lekuk tubuh Ara.
“Kael…Aku mohon lakukan sekarang Kael” rengek Ara.
“Ara…” bisik Kael, untuk terakhir kalinya mencoba menghentikan badai yang sudah terlanjur menyapu batasnya.
Tapi Ara tidak menghentikannya.
Dia menarik Kael lebih dalam. Menyambut semua ketakutannya dengan luka, panas, dan permintaan yang terdengar seperti tangisan.
Dan Kael—untuk pertama kalinya dalam hidupnya—benar-benar kehilangan kendali.
Dia memposisikan dirinya. Dan Ara membuka pintunya. Mempersilahkan Kael dengan begitu mudah.
“Hmmp…” Ara tersentak saat tubuh Kael menerobos ke dalam tubuhnya. Dia mengejang sesaat sebelum memeluk tubuh didepannya dengan kuat.
Kael memejamkan mata. Otot Ara membelitnya kuat. Dia bukan perjaka. Tapi Wanita ini sangat enak.
Perlahan Kael menggerakan tubuhnya. Ara kembali mengerang. Bergerak mengikuti irama Kael.
Tubuh mereka saling menggali. Dalam kegelapan, hanya ada napas yang pecah, cengkraman di kulit, dan suara ranjang yang berderit lirih. Kael tenggelam dalam sensasi, dalam tubuh gadis yang tak pernah ia izinkan masuk terlalu dekat. Tapi sekarang dia sudah di sana—lebih dalam dari siapa pun sebelumnya.
Dan saat semuanya mencapai akhir…
Kael sengaja menekan tubuhnya lebih dalam. Rintihan Ara terdengar ketika cairannya membasahi rahim gadis itu.
Keduanya diam dalam posisinya. Saat semua sudah tenang, Kael beranjak bangun. Namun begitu melihat Ara dibawahnya. Tak berdaya. Dengan bekas ciuman miliknya dan rambut berantakan.
Dia kembali naik dengan cepat. Mengejutkan. Kael tidak pernah segila ini pada seorang wanita sebelumnya.
“Kael…” bisik Ara ditengah kesadarannya yang mulai kembali.
Kael tidak mengatakan apapun. Membalikan tubuh Ara dan memposisikan tubuh Ara. Dia kembali memasuki Ara dari belakang. Ara menjerit sesaat. Kael menarik rambut Ara, membuat gadis itu mendongak.
Bayangan Mereka terlihat dari cermin besar. Dan Kael tersenyum puas saat melihat ekspresi wajah Ara.
Dia terus bergerak. Tidak memperdulikan rintihan dan permintaan Ara untuk berhenti.
...****************...
Kael tidak merasa lega.
Dia merasa—takut.
Takut pada rasa yang kini menggerogoti dadanya.
Dia melihat Ara tertidur dalam pelukannya, wajahnya basah oleh air mata yang tak sempat disadarinya sendiri. Tubuh gadis itu menggigil kecil, seperti kehilangan arah, tapi tetap memeluknya seolah dia satu-satunya tempat berlindung yang tersisa di dunia.
Kael mengelus rambut Ara pelan.
Dan malam itu, dia tahu sesuatu telah berubah.
Dia telah memilikinya.
Bukan hanya tubuhnya. Tapi juga hatinya. Bahkan jika Ara tidak mengakuinya. Bahkan jika gadis itu bangun besok pagi dan menyesal.
Baginya, tak ada jalan kembali.
Ara adalah miliknya sekarang.
Dan dia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh atau merebutnya.
Dia tahu apa yang baru saja dia lakukan.
Dia tahu dia tidak menghentikannya.
Tidak menggunakan pengaman.
Tidak menahan diri.
Tidak keluar dari tubuh Ara.
Itu bukan kecelakaan.
Itu pilihan.
Pilihan yang sudah ia putuskan bahkan sebelum semuanya benar-benar dimulai.
Satu bagian kecil dari dirinya—bagian yang tergelap—berbisik lirih saat dia berada di ambang klimaks tadi:
“Biar dia hamil…”
Dia ingin Ara menjadi miliknya seutuhnya. Tidak hanya secara fisik malam ini. Tapi dengan darah. Dengan janin. Dengan belenggu yang tak bisa diputus siapa pun, bahkan oleh Ara sendiri.
Jika Ara hamil, maka dia tak akan bisa lari. Tak akan bisa kembali pada siapa pun dari masa lalunya. Tidak Ferlay, tidak caleb, tidak siapa pun.
Hanya dia.
Kael membuka mata perlahan. Menatap wajah Ara yang tertidur, keningnya masih sedikit berkerut seolah jiwanya belum sepenuhnya tenang.
Dia menyentuh pipi Ara dengan lembut, penuh kepemilikan yang dingin.
“Kau sudah jadi milikku, Ara…”
“Tak peduli kau mau atau tidak.”