Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.
Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.
Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia
Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.
Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.
Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.
WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berlian hilang, nyawa melayang!
***
Pak Mora baru berhenti deg-degan ketika sudah berdiri di depan rumahnya sendiri. Nafasnya ngos-ngosan, keringat dingin bercucuran meski udara subuh masih menusuk. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu.
“Assalamualaikum!! Mayang! Cepat buka pintunya.” suaranya serak, panik, seperti orang yang baru lolos dikejar genderuwo.
“Walaikumsalam!”
Mayang buru-buru membuka pintu. Matanya langsung membulat, alis naik tinggi. Suaminya berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, napas ngos-ngosan, kayak habis lari dikejar setan.
“Ya Allah, Yah… kenapa kayak gini mukamu?! Ada apa?!”
Bukannya jawab, Pak Mora malah nembak dengan tatapan tajam.
“Mana Brea?” suaranya serak, cepat, dan jelas mendesak.
Mayang sempat bengong sepersekian detik, lalu menjawab pelan.
“Tadi baru selesai sholat subuh, terus aku suruh tidur lagi. Dia demam tinggi, Yah. Wajar lah… anak kita masih syok, masih lemah sekali.”
Deg. Seketika wajah Pak Mora melunak. Amarah yang tadi mendidih di kepalanya soal berlian langsung padam. Yang tersisa cuma satu: cemasnya seorang ayah. Gimanapun kerasnya dia, anak yang baru aja lolos penculikan jelas masih trauma.
Ia menghela napas berat, pundaknya turun. “Baiklah…” gumamnya lirih, lalu melipir ke kamar mandi buat ambil wudhu.
Beberapa menit kemudian, selesai sholat, wajahnya memang lebih adem. Tapi sorot matanya masih berat. Ia duduk di ruang tengah, bersandar ke dinding, menatap istrinya lama.
“Mayang… aku mau tanya sesuatu,” ucapnya akhirnya, nada lebih kalem tapi jelas berisi.
“Kalung itu… masih ada nggak? Maksudku, kalung pemberian Dimitry. Apa Brea masih pakai?”
Mayang terdiam. Pertanyaan itu menusuk. Jujur aja, dia nggak sempat kepikiran. Semalam fokusnya cuma satu: anaknya pulang selamat, masih hidup, masih bisa dipeluk. Soal perhiasan? Nol besar.
“Aku… aku nggak sempat memperhatikan, Yah,” jawab Mayang pelan, suaranya agak goyah. “Yang kupikirin cuma lihat anak kita pulang, masih bisa bernafas. Itu aja.”
Pak Mora menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa was-was langsung naik lagi. Dia tau betul, kalung itu bukan sekadar perhiasan. Itu janji. Separuh hati keluarga Mykaelenko. Dan katanya nilainya… tiga triliun.
Nama itu—Mykaelenko—langsung bikin dingin punggungnya. Jangan-jangan… kalung itu sekarang di tangan Renggo? Si brengsek itu ajaibnya bisa jadi musuh Mykaelenko cuma gara-gara berani mencuri berlian, terus ngacak-ngacak harga pasar dengan dagangan palsunya. Setan betul.
Pak Mora spontan bangkit.
“Mau ke mana, Yah?” Mayang langsung refleks nahan, tatapannya heran.
Pak Mora menarik napas, suaranya datar.
“Aku mau lihat Brea.”
Jawaban itu sederhana, tapi jelas nutupin niat sebenarnya. Bohong besar kalau dia bilang cuma khawatir anaknya. Hatinya juga ciut mikirin satu hal: kalung itu.
Begitu pintu kamar dibuka, terlihatlah Brea. Wajahnya pucat, tubuhnya rapuh, bergelung dalam selimut tebal, jelas sedang menggigil.
Sekeras apa pun hatinya, Pak Mora langsung melunak. Langkahnya pelan mendekati sisi ranjang. Tangannya terulur, mengusap kening Brea—panas sekali. Demamnya tinggi.
“Dasar anak setan…” gumam Pak Mora pelan, suaranya serak dan penuh geram. Jelas itu umpatan buat Renggo.
Tapi Brea, yang lagi tidur ayam, malah bereaksi. Matanya membuka sedikit.
“Maksudnya apa, Yah? Kok manggil aku anak setan?” tanyanya serak, masih setengah sadar.
Pak Mora refleks ngakak kecil, lalu geleng kepala.
“Bah! Maksudku bukan kau lah. Yang setan itu si Renggo. Kalau aku manggil kau setan, berarti aku bapaknya setan? Lebih parah lagi, kan?” jawabnya sambil nyengir.
Brea yang nggak nyambung, tetap maksa senyum.
“Ayah baru pulang?” gumamnya lirih, sambil berusaha duduk bersandar kepala ranjang.
Pak Mora cepat-cepat membantu.
“Iya, urusan di TKP belum kelar. Habis ini mungkin harus balik lagi ke sana.”
Bohong!
Padahal dia baru saja kabur dari rumah Dimitry.
“Terus… gimana sama Renggo, Yah? Apa sudah ketangkap?” Brea mencoba tanya lagi.
Belum sempat dijawab, pintu kamar keburu terbuka. Mayang masuk dengan nampan berisi bubur ayam hangat.
“Ck! Ngapain kamu tanyain itu dulu, Nduk? Yang penting sembuh. Masalah Renggo, biar ayahmu yang ngurus,” katanya cepat sambil mendekat.
Pak Mora ikut mengangguk mantap. “Betul kata mamakmu. Yang penting kau sembuh dulu.”
Mayang lalu duduk di sisi ranjang, menyuapi bubur sesendok demi sesendok. Brea sempat menolak halus.
“Sudah, Mak. Cukup, aku udah kenyang.”
“Sudah kenyang apa lantaran amandelmu kumat? Coba sini ku tengok… ‘akkk’!” ucap Pak Mora, mode sok dokternya otomatis menyala.
Brea malah nurut. “Akkk.”
Pak Mora mencondongkan wajah, mengamati dengan serius.
“Hum… nggak terlalu bengkak, tapi agak meradang. Nanti kau harus ke dokter sama mamakmu, ya.”
Brea mengangguk patuh. Mayang cuma geleng-geleng, antara kesal dan geli lihat tingkah suaminya.
Tiba-tiba Pak Mora berganti serius. Sorot matanya menajam.
“Hum… aku boleh tanya sama kau?”
Brea mengerjap. “Tanya apa, Yah?”
“Kalung itu… ada di mana?” akhirnya keluar juga pertanyaan yang sedari tadi ditahannya. Dari tadi matanya tak melihat perhiasan itu di leher Brea.
“Kalung?” Brea sempat bengong, mencoba mencerna. Tapi beberapa detik kemudian matanya melebar.
"Astaghfirullah... ayah!" Dia pegang lehernya sendiri. Tapi jadi auto Panik, karena ternyata benda itu sudah nggak menempel di lehernya lagi.
Melihat itu, Pak Mora langsung punya firasat buruk.
“Ayah… kalungnya ilang!?” pekik Brea, kalap.
Pak Mora ikut tersentak. “Eh… eh, cak kau tenang dulu. Ingat-ingat. Mungkin barangkali cuma salah tarok. Pernah kau lepas pas pulang, kau tarok di meja, atau di laci—ya semacam gitulah.” Suaranya berusaha kalem, tapi jelas ada getar panik.
Brea menggeleng kuat-kuat. Matanya memerah, suaranya pecah.
“Enggak, Yah… enggak! Aku malah sama sekali nggak inget kalung itu… sejak… sejak Renggo masukin aku ke dalam tas Yakult itu…”
Kata-kata itu bikin ruangan mendadak senyap. Nafas Pak Mora ikut tersendat. Dada sesak.
“Oh… ok, ok. Udah, Nak. Udah, jangan panik. Jangan pikirin kalungnya dulu.” Pak Mora menepuk bahu Brea, mencoba menenangkan meski wajahnya sendiri pucat.
Tapi di dalam hati, gejolaknya meledak. Kalung tiga triliun—entah hilang di mana. Lebih gila lagi, baru sekarang ia tau anak gadisnya pernah di masukkan ke tasa Yakult macam korban "pritil sana-sini".
Pak Mora menggertakkan gigi. Matanya berkilat.
“Mayang… ayo ikut aku. Kita bicara di luar. Biarkan Brea tidur dulu.” Suaranya berat, menahan amarah.
“Tapi, Yah… kalungnya—” sela Brea dengan wajah masih panik.
Pak Mora langsung menatapnya. Sorotnya lembut, suaranya dalam.
“Sudah, Brea. Cukup mikirin kalung. Itu cuma warisan. Semahal apa pun… nggak akan pernah lebih berharga dari anakku.”
Mendengar itu, dada Brea langsung luluh. Paniknya surut. Dia tahu, ayahnya bukan marah—tapi lebih takut kehilangan dirinya.
“Udah cukup, tidur, ya, Nduk. Mamak sama Ayah cuma nggak mau ganggu kamu dulu. Istirahatlah,” ucap Mayang lembut. Ia membantu Brea berbaring nyaman, menyelimutinya rapat, lalu menepuk pelan bahunya.
Klik.
Lampu kamar padam, pintu ditutup.
Begitu keluar, Mayang langsung menggandeng lengan suaminya, menyeretnya ke musholla kecil di rumah itu. Langkahnya tegas, matanya menyipit curiga.
Sesampai di sana, ia menoleh dengan wajah penuh tanya.
“Sebenarnya ada apa ini, Yah? Kenapa kamu panik setengah mati cuma gara-gara kalung?”
“Coba kau buka HP, lakukan penelusuran. Cari tahu berapa harga berlian hitam, dari yang paling murah sampai yang paling mahal.”
Pinta Pak Mora.
Mayang langsung menurut, jari-jarinya gesit mengetik di layar. Awalnya wajahnya datar-datar saja, sampai akhirnya matanya melotot lebar.
“Astaghfirullah… Ayah!” jeritan Mayang tertahan
“APA?” Pak Mora ikut tersentak.
***