Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gancet, Pocong, dan Peringatan Maut
Di dalam rumah, suara teriakan bercampur doa dan bisik-bisik warga yang saling berdesakan di dekat pintu. Atna dan Mr. Robert masih terikat dalam posisi memalukan, tubuh mereka sama-sama gemetar. Amir jongkok di sisi ranjang, wajahnya tegang.
“Kalau ini kasus gancet biasa, harusnya udah bisa diatasi… tapi ini—” Amir berhenti bicara, tatapannya gelisah.
“Biar saya yang urus,” potong Ustaz Samin yang baru saja masuk. Pria tua berkopiah hitam itu membawa kendi berisi air bidara dan segenggam garam. Ia duduk di lantai, memejamkan mata, lalu mulai membaca doa dengan suara berat dan berirama.
Suara itu menggema di ruangan sempit, dan entah kenapa hawa dingin tiba-tiba merayap, membuat bulu kuduk semua orang berdiri.
Tiba-tiba… BRAK! Lampu di ruang tengah berkelip, dan di sudut ruangan muncul sesosok makhluk tinggi terbungkus kain kafan lusuh. Matanya hitam pekat, wajahnya pucat kehijauan, kain kafannya basah dan berbau busuk seperti bangkai yang baru diangkat dari rawa.
“I-itu… pocong!” teriak salah satu ibu-ibu yang melihatnya dari pintu, langsung terhuyung mundur.
Suasana langsung ricuh. Sebagian warga yang tadinya nyinyir langsung menutup mulut dan meringkuk ketakutan. Ada yang jatuh terduduk sambil menutup mata, ada pula yang lari keluar sambil berteriak memanggil nama Tuhan.
Pocong itu melangkah perlahan, kepalanya miring menatap Atna, lalu berbisik dengan suara serak seperti pasir digerus besi,
“Janji… kau… langgar…”
Atna menggigil hebat, matanya membelalak. “Ampun… ampun…”
Ustaz Samin langsung melempar garam ke arah pocong itu, disusul percikan air bidara sambil melantunkan ayat-ayat suci dengan suara keras. Pocong itu menggeram, tubuhnya bergetar, lalu menghilang perlahan seperti kabut tersapu angin.
Detik berikutnya, tubuh Atna dan Mr. Robert bergetar hebat… dan plop! mereka terlepas.
Atna langsung jatuh terduduk sambil menangis tersedu, sementara Robert terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Amir buru-buru memeriksa tanda vital mereka.
Di luar, warga mulai bubar dengan wajah pucat. Gosip pagi itu langsung berubah menjadi kisah horor yang pasti akan mereka ceritakan bertahun-tahun ke depan.
Ustaz Samin hanya menghela napas berat. “Ini bukan main-main. Ada janji yang diingkari… dan itu baru peringatannya.”
Begitu tubuh Atna dan Mr. Robert terlepas, suasana di ruang itu langsung berubah. Amir menarik napas lega, lalu memberi isyarat pada dua anggota TNI yang berjaga di luar.
“Ambilkan selimut. Cepat,” perintahnya singkat.
Tak lama, dua selimut tebal dibawa masuk. Amir menutup tubuh Atna dengan satu selimut, sedangkan anggota TNI lain menutupi tubuh Mr. Robert yang terkulai di ranjang. Keduanya masih dalam keadaan tanpa busana, napas tersengal, mata kosong.
“Semua warga, silakan keluar. Kasih mereka ruang,” ujar Amir tegas sambil menatap kerumunan yang masih memadati pintu.
Ibu-ibu yang tadinya berdesakan mulai mundur, sebagian karena takut, sebagian lagi karena merasa sudah terlalu banyak melihat. Bisik-bisik pelan terdengar di antara langkah kaki yang menjauh.
“Ya Allah… beneran, tadi pocongnya nongol.”
“Aduh, jadi ngeri kalau ketemu Atna di jalan…”
“Pantas aja hidupnya kayak gitu, ada yang ikut.”
Ce Kinah yang masih memegang dodol di tangannya menatap Atna sekilas sebelum melangkah pergi, senyumnya tipis tapi matanya menyimpan rasa puas bercampur waswas.
Ustaz Samin berdiri di teras rumah, wajahnya serius. “Ingat, ini bukan untuk jadi bahan ejekan. Kalau dia sampai melanggar janji lagi, entah apa yang bakal terjadi.”
Beberapa bapak yang membantu menjaga kerumunan mengangguk pelan, tapi semua tahu omongan itu tak akan menghentikan arus gosip yang sudah mengalir.
Di dalam, Amir mengecek tekanan darah Atna. “Istirahat. Jangan banyak gerak,” ucapnya datar, lalu menoleh ke Robert. “Kamu juga… stay put.”
Robert hanya mengangguk lemah, matanya masih kosong. Atna menarik selimutnya lebih rapat, pipinya basah oleh air mata—entah karena sakit, takut, atau malu.
Di luar, langkah-langkah terakhir warga meninggalkan halaman. Udara terasa lebih lengang, tapi bisik-bisik mereka sudah menyebar ke seluruh kampung.
Batalyon Siliwangi – Ruang Istirahat Prajurit 19.00
Bau kopi hitam dan asap rokok bercampur di udara. Satria duduk bersandar di bangku panjang, memutar gelas kopinya pelan. Amir baru saja menutup map laporan medis, lalu meletakkannya di meja.
“Mir…” Satria memecah hening, suaranya rendah. “Kejadian di kampung tadi siang, lu ngerasa ada yang nggak beres, kan?”
Amir menarik kursi dan duduk, matanya menatap kosong ke dinding. “Bukan cuma nggak beres, Sat… pas gue pegang tangan Atna, dinginnya beda. Bukan dingin orang sakit… lebih kayak nyentuh tanah kuburan yang baru dibongkar.”
Satria menghembuskan asap rokoknya pelan. “Gue lihat juga. Ada bayangan tinggi di pojokan kamar, kainnya kusut… matanya kosong. Itu bukan halusinasi.”
Amir menunduk, jemarinya mengetuk meja pelan. “Energinya nyebar. Gue yakin itu nggak cuma nyangkut di Atna. Rumah-rumah sekitar juga udah kena imbas.”
“Berarti ini bukan sekadar pocong nyasar.” Satria menatap Amir dalam. “Ada yang ngirim, Mir.”
Amir mengangguk pelan. “Iya. Dan yang ngirim… bukan pemain baru. Ini entitas lama. Mungkin udah puluhan tahun nggak bangun, sekarang nyari tumbal buat buka jalannya.”
Satria memutar gelas kopi, pikirannya berat. “Kalau bener, satu kampung bisa kena sapu. Gue mau lapor Danramil, tapi masalahnya… ini nggak ada di buku panduan militer.”
“Makanya kita jalan dua jalur,” ujar Amir tegas. “Prosedur tetap jalan, tapi gue mau hubungi orang pintar di Garut. Dia pernah bantu kita waktu di pos perbatasan dulu.”
Satria mengangguk, menatap kopi yang sudah dingin. “Oke. Tapi kita nggak bisa nunggu lama. Tanda-tandanya udah kebaca. Gue nggak mau liat korban lain.”
Amir menghela napas panjang. “Sat… nanti kalau kita ketemu sumbernya, siapin mental. Ini bukan lawan yang bisa kita jatuhin pake peluru.”
Di luar, suara komandan memanggil apel malam. Mereka saling bertukar pandang—dua prajurit yang tahu betul kalau medan perang yang menanti bukan hanya tanah dan peluru, tapi sesuatu yang tak kasatmata.
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu