Anna bukan janda, aku tahu semuanya
tapi aku tak bisa mengatakan itu padanya
aku takut dia justru akan pergi dari ku setelah tahu semuanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shikacikiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Abel duduk di kursi belakang, Anna di depan. Andri keluar dari mobil, Abel menyuruhnya untuk menunggu. Sementara mereka hanya diam seribu bahasa.
Anna tahu apa yang ingin Abel bahas. Tapi dia tak mendengar satu kata pun darinya.
Kemudian terdengar hela nafas Abel yang seolah lelah.
Anna menatap dari spion depan. Abel sedang menatap ke arah laut, lehernya bergerak seolah menelan banyak hal sekaligus.
"Kamu ini marah karena komentar orang-orang di akun Clara atau karena memang tidak pernah bisa menyukai ku? " Abel menatapnya.
"Pak, kenapa jadi begini sih? " Anna berbalik dan protes.
Abel mendelik.
"Kita begini karena bapak bilang hanya untuk membuat bu Clara sadar bahwa bapak sudah ga suka lagi sama dia, bu Clara sudah pasangan baru, kita ya juga udah aja" Anna kesal.
"Ya, udahan boleh tapi, masalahnya kamu itu bilang ke mama aku, dia nantinya bakal ngobrol sama Clara buat berhenti datengin aku, dan akhirnya keceplosan kalau kita sampe pura-pura pacaran karena dia" Abel tetap menyalahkan Anna.
"Trus salah saya lagi? " Anna semakin geram.
"Ann, beritanya sudah sampai ke media, mungkin besok ada yang datang untuk wawancara kita, setidaknya biarkan sampai program Clara habis di studio 10, baru aku bilang kita selesai" pinta Abel.
"Apa? Wawancara? Bapak izinkan mereka datang buat wawancara? " Anna mengeluh.
"Demi acaranya sukses, dan Clara bisa cepat pulang ke Ausi" tukas Abel.
Anna berbalik menatap ke depan, dia masih tak percaya harus sampai sejauh ini.
"Marah lagi! " Abel merasa diabaikan.
"Saya mau pulang Pak, cape! " ucap Anna tanpa menatap.
Tak berapa lama Andri datang setelah Abel mengirim pesan. Mereka pun pulang.
**
Malam mulai larut, Anna tak bisa tidur.
Dering ponsel terdengar, namun dia hanya melirik saja. Dia pikir Abel menghubunginya, namun ternyata Stevan.
Anna buru-buru mengangkatnya.
"Hai hallo! " jawab Anna.
"Beberapa hari ini aku sibuk, aku tidak bisa datang untuk membahas klinik, sekarang pun masih di rumah sakit, kau belum tidur? " ucap Stevan.
"Belum, sudah makan? " tanya Anna.
"Belum, baru mau keluar cari nasgor" jawab Stevan.
"Aku ke sana, bawa nasgor sekalian" ucap Anna sambil memakai cardigan dan mengambil tasnya.
Tak berapa lama, karena rumah sakit yang dekat juga, Anna sampai dengan bungkusan nasi goreng di tangannya.
Stevan tersenyum, melihat penampilan Anna yang selalu seperti itu. Piyama dengan cardigan saja.
"Ini, untungnya sedang tidak banyak yang beli" keluh Anna.
"Makasih! " Stevan membuka bungkusannya dan makan.
Mereka duduk di taman rumah sakit, malam malam. Ya, tapi beberapa orang pun melakukan itu, seolah sudah biasa.
"Jadi... " Anna hendak memulai pembicaraan.
Stevan hendak membuka botol minumnya, tapi kesulitan. Anna membantunya minum, dan pemandangan itu disaksikan langsung oleh Abel yang datang ke rumah sakit.
"Ehhhhhemmmmm......! " suara Abel seolah menggelegar.
Anna melempar botol minumnya dan langsung berdiri. Seperti seorang kekasih yang tertangkap sedang selingkuh.
Stevan masih tersedak, ingin minum, dia memungut botol yang jatuh dan minum dengan segera.
"Pak Abel! " Anna menatapnya.
"Jadi kamu sedang istirahat? " Abel menyindir.
"Ada apa malam malam ke sini? " tanya Stevan seraya meremas kertas nasi bekas makannya.
Abel menatap penampilan Anna yang tak berubah, berpikir kalau Anna tak pernah menspesialkan seseorang, entah itu dia atau Stevan.
"Punggung ku sakit" ucap Abel.
Anna langsung cemas, dia mendekati dan langsung mengusap punggung Abel.
"Sakit? Yang mana? Apa Pak Abel jatuh? Dimana? Di kamar mandi? " dia terus bertanya dengan raut wajah panik.
Stevan menghela, merasa kesal melihat Anna sepanik itu.
"Tidak ada masalah, itu hanya stress, paling dia kurang minum" Stevan pergi melenggang.
"Aku mau bicara! " seru Abel menyusul.
"Pak, pelan-pelan jalannya! " ucap Anna masih mencemaskannya.
"Kau ini dokter apa, masa mengabaikan pasiennya! " Abel mendumel sepanjang berjalan.
Anna juga mengikuti mereka, namun di suruh menunggu di luar saat Abel diperiksa. Andri datang setelah memarkirkan mobil.
"Dia kenapa? " tanya Anna pada Andri.
"Bu Anna tanya saja Pak Abel langsung, saya juga baru aja tidur langsung di suruh ke sini! " keluh Andri.
"Kamu ini... " Anna kesal.
Tak bisa dipungkiri, sekhawatir itu Anna pada Abel. Ya, 10 tahun, sejak dia lulus SMA, sejak dia kehilangan semuanya dan merasa sedang sendirian. Abel datang dengan uluran tangan membantunya dari segala segi.
Saat itu Anna terlalu muda dan polos untuk mengatur harta peninggalan keluarganya. Nila yang depresi karena kehilangan suaminya, malah memberikan tanda tangan hibah atas semua harta mereka yang tersisa untuk orang lain, yang memanfaatkan situasi.
Abel yang juga baru menuruti keinginan Roman untuk bergabung dengan perusahaan, tak bisa melakukan hal apapun. Dia hanya bisa meminta Anna bersedia untuk menerima semua bantuannya.
Anna selalu ingat, bagaimana dia bersembunyi di belakang punggung Abel di setiap situasi. Abel tak pernah mengeluh tentang betapa lelahnya dia memberikan semua pengorbanan itu. Anna kini jadi merasa bersalah akan meninggalkannya sendiri.
Tak lama, pintu ruang pemeriksaan terbuka, Anna berdiri dan mendekat.
"Kan sudah ku katakan kamu ngga apa-apa" ucap Stevan.
Mata Stevan menatap raut wajah Anna yang menunggu Abel keluar. Dia menutup wajah Anna dengan lengannya, seolah memelintir kepalanya.
"Dia tidak apa-ap... aaaa! " Stevan kesal.
"Lepaskan aku! " seru Anna, yang berusaha melepaskan tangan temannya itu.
Abel lewat begitu saja tanpa memperhatikan tingkah mereka.
"Pak...! " Anna masih dalam genggaman Stevan yang tertawa kecil, merasa puas menjahilinya.
Abel pergi berjalan perlahan.
"Katanya mau membahas klinik" ucap Stevan masih melingkarkan lengan di leher Anna.
"Hanya sebentar, aku akan kembali" ucap Anna berjanji.
Tiba-tiba Stevan melepaskannya, Anna terheran.
"Kau tidak pernah kembali" ucap Stevan dengan raut wajah yang berbanding terbalik dengan keceriaan tadi.
"Ayolah dokter.....! " Anna merasa lelah dengan permainan perasaan ini.
"Ya sudah pergi sana! Aku juga sudah tidak lapar! " Stevan pergi ke ruangannya.
Anna berlari menyusul Abel, tapi dia tak menemukannya. Dia berlari ke arah mobilnya yang terparkir. Lega, mobilnya masih di sana, tapi langsung mencari kemana Abel pergi.
Anna mencari-cari, kemudian berhenti di dekat mobil.
"Kemana sih? " gumamnya.
Tiba-tiba, Abel merangkulnya dari belakang. Anna hendak berbalik karena terkejut, namun Abel berbisik.
"Jika cemas, jangan pernah tinggalkan aku"
Mata Anna membulat, jantungnya berdegup kencang. Pipinya merona, merasakan nafas Abel di telinganya.
Anna menelan salivanya kemudian perlahan melepaskan tangan Abel. Dia berbalik dan...
"Besok saya tidak mau wawancara dengan wartawan" ucap Anna.
Dia berusaha mengalihkan pembicaraan dan rona di pipinya pun menghilang.
"Ok, biar aku saja yang hadapi mereka" jawab Abel seolah ringan terucap.
Kemudian tangannya meraih tangan Anna.
"Kamu boleh mundur dari jabatan sekretaris, tapi jangan pernah tinggalkan aku" ucap Abel manja.
Anna menatapnya tanpa berkedip.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=>>