Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Teror Dalam Hutan
Demi selamat, bagaimanapun juga Kumbang Pitak tidak mau mengambil risiko dengan melakukan pelarian lewat jalan umum. Dia khawatir pelarian mereka terendus oleh orang-orangnya Kentang Kebo. Jadi, dia memilih jalan rumit berhutan dan bersemak liar, juga lewat di pinggiran sungai yang licin.
Rombongan itu harus rela meninggalkan kuda-kudanya saat mereka harus mendaki tebing batu karena Kumbang Pitak salah memilih arah dan jalan. Demi keamanannya, dia tidak mau mengaku bahwa dirinya salah, dia hanya berdalih demi menghilangkan jejak agar tidak terkejar.
Dia menyatakan asumsinya kepada para majikan bahwa orang-orang Kentang Kebo sedang melakukan pengejaran besar-besaran terhadap mereka. Padahal sebenarnya, Kentang Kebo tidak mengirim satu pun orang untuk mengejar rombongan para Nyai Adipati.
Tiwang Karini, Jumila dan Ken Guna hanya bisa percaya dan mengikuti arahan Kumbang Pitak. Saat ini, mereka memang sedang menitipkan kepercayaan dan keamanannya kepada Kepala Keamanan Kediaman Adipati tersebut.
“Pitak! Apakah tidak ada jalan yang lebih bagus dari jalan celaka ini?!” teriak Ken Guna marah setelah dia terpeleset di tanah licin pinggir sungai.
“Mohon maaf, Nyai Gusti, banyak jalan bagus, tetapi sangat berisiko bagi keselamatan kita,” jawab Kumbang Pitak dengan nada tetap merendah. Dia sudah terlalu kenyang dimarahi oleh majikannya, terutama majikan perempuannya. Meski dia tahu masih ada majikannya yang tidak pernah memarahinya, tetapi dia tidak mau mengungkap lebih awal siapa namanya.
“Itu pasti hanya ketakutanmu yang berlebihan sehingga menyengsarakan kami!” tukas Gen Guna.
“Sudahlah Adik, kondisi sekarang memang sangat berbahaya. Para pendekar yang dikirim untuk membunuh Kentang Kebo beberapa hari lalu tidak ada yang selamat,” kata Jumila bersikap lebih lembut dan sabar. Dia sampai merasa perlu untuk mengelus punggung madu mudanya itu.
“Huh!” dengus Ken Guna dongkol, ingin menangis. Dia memegangi pinggulnya yang sakit dan kotor oleh tanah. Seorang putrinya membantunya memegangi tangannya saat berjalan di pinggir sungai.
Dari arah samping muncul seorang prajurit yang datang berlari. Sepertinya dia datang dari suatu tempat, mungkin usai buang hajat atau sekedar makan cokelat di tempat yang tersembunyi.
“Lapor, Kepala Pitak!” ucap prajurit yang baru datang seraya menjura hormat kepada Kumbang Pitak. Dia tidak terlalu terengah-engah, menunjukkan kerjanya tidak begitu berat.
“Bagaimana?” tanya Kumbang Pitak.
“Daerah hutan di selatan aman untuk dijadikan tempat istirahat, Kepala,” ujar si pajurit.
“Semuanya! Kita berbelok ke selatan!” teriak Kumbang Pitak kepada seluruh personel rombongan.
“Kumbang Pitak!” panggil Ken Guna dengan nada marah.
Meski sudah biasa dipanggil seperti itu, tetap saja Kumbang Pitak terkejut, tapi tidak sampai terlompat. Dia pun menengok kepada Ken Guna yang menunjukkan wajah marah.
“Kenapa kau mengambil keputusan tanpa bertanya kepada Nyai Gusti, hah?!” tanya Ken Guna dengan mata mendelik.
“Mohon maaf, Nyai Gusti. Bukankah tadi Nyai Gusti Ken Guna ingin meninggalkan pinggiran sungai ini?” tanya balik Kumbang Pitak.
“Tapi setidaknya kau bertanya dulu kepada Nyai Gusti Tiwang!” bentak Ken Guna tidak mau kalah.
“Sudahlah, Adik Ken. Kita sudah lelah. Kita turuti saja Kumbang Pitak saat ini, yang penting kita selamat dari pendekar jahat itu,” kata Tiwang Karini.
“Huh!” Ken Guna kembali mendengus kesal karena tidak didukung, padahal dia sedang membela kedudukan madu tuanya tersebut.
“Lanjutkan kita ke selatan,” kata Tiwang Karini yang menunjukkan wajah lelah yang berkeringat.
“Baik, Nyai Gusti,” ucap Kumbang Pitak seraya menjura hormat.
Maka rombongan pun berbelok arah meninggalkan daerah pinggir sungai tengah hutan, hutan yang tidak terlalu rimba.
Sementara itu, hari mulai menyenja. Pada akhirnya rombongan yang tidak tahu arah tujuannya itu memutuskan beristirahat.
Di saat para prajurit dan karyawan lelaki keluarga Adipati sedang bekerja menyiapkan lokasi yang nyaman untuk peristirahatan, tiba-tiba….
“Aaak…!” jerit satu suara lelaki tiba-tiba yang sumbernya berasal dari luar jangkauan mata mereka atau bukan di titik kumpul itu.
Suara jeritan yang didengar oleh semua orang tersebut seketika mengejutkan mereka. Pandangan langsung memandang ke arah yang mereka duga menjadi arah sumber jeritan, meski tidak melihat orang yang menjerit tersebut.
Setelah itu, mereka saling pandang dengan orang terdekat dengan tatapan yang saling menegangkan. Saling bertanya lewat pandangan mata, tapi bukan kode main mata.
Rasa takut segera menyergap Tiwang Karini dan wanita yang lainnya. Mereka segera menduga bahwa para pendekar anak buah Kentang Kebo telah menemukan mereka dan sedang melakukan peneroran.
“Palang! Sotong! Periksa apa yang terjadi!” perintah Kumbang Pitak kepada dua orang anak buahnya.
Dua prajurit yang punya nama tersebut tidak langsung menyahut, keduanya saling pandang lalu memandang kepada pemimpinnya.
“Siap!” pekik keduanya pada akhirnya. Ketaatan adalah wajib di dalam kemiliteran.
Kedua prajurit yang bernama Palang dan Sotong itu segera mengambil tombak dan perisainya. Karena tampil di depan ketiga Nyai Gusti dan keenam Gusti Putri yang cantik-cantik, mereka harus terlihat gagah berani, meski di dalam hati mereka takut mati. Keduanya berlari tanpa ragu menuju ke area yang mereka duga asal sumber jeritan.
Sementara itu, Kumbang Pitak menghunus pedangnya dan mendekat ke posisi para junjungannya yang terlihat cemas. Dia menunjukkan sikap bersiaga bersama beberapa prajurit. Bukan tidak mungkin penyerang tersembunyi itu akan menarget para wanita tersebut.
Palang dan Sotong berhenti berlari setibanya di area yang mereka curigai. Dengan tatapan liar yang menunjukkan ketegangan luar dalam dan atas. Karena sudah tidak mendapat pandangan dari para junjungan, mulailah keduanya menunjukkan keparnoannya. Gerak maju mereka kini selangkah demi selangkah sambil memandang ke mana-mana.
Sementara itu, Kumbang Pitak dan prajurit yang lain memantau dari jauh.
“Siapa yang tadi pergi ke tempat ini?” tanya Sotong kepada Palang.
“Sepertinya si Sumpit,” jawab Palang.
“Sumpiiit!” teriak Sotong memanggil.
“Sumpiiit!” panggil Palang pula dengan pandangan beredar.
Teriakan mereka terdengar sampai ke kumpulan, memberi nuansa yang terus tegang. Namun, tidak ada suara yang menjawab panggilan kedua prajurit itu.
“Jika Sumpit sudah mati, tidak mungkin dia menyahut,” kata Sotong.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Otakku beku,” tanya Palang.
“Kita lihat di balik pohon besar itu. Jika tidak ada apa-apa, kita kembali saja,” jawab Sotong dengan tatapan kepada sebatang pohon besar yang tebal batangnya dua kali pelukan hangat seorang wanita.
“Ayo!” ajak Palang.
Keduanya lalu melangkah pelan-pelan mendekati si pohon besar dengan mata terus waspada. Senjata tentu siap siaga di tangan mereka.
Mereka bergerak dengan posisi selalu berdampingan. Mereka melangkah menyamping memutari pohon untuk melihat area di balik pohon, tanpa berani mendekati pohonnya.
“Lihat! Itu tombak dan perisai Sumpit!” pekik Sotong menunjuk lebih dulu saat melihat sebatang tombak dan sebuah perisai tergeletak tanpa tuan di rerumputan di balik batang pohon.
Seketika tensi ketegangan dan ketakutan mereka naik lebih tinggi. Mereka kompak menduga bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi terhadap rekan mereka yang bernama Sumpit.
Dengan perasaan dan badan yang mulai gemetar, Palang dan Sotong cepat mengedarkan pandangan mereka tanpa berani maju lagi. Pastinya mereka mencari sosok yang punya judul mengancam yang mungkin saja menyerang mereka tiba-tiba.
Duk!
“Uwwaaak!”
Tiba-tiba ada sebilah pedang meluncur jatuh dari atas dan gagangnya menghantam perisai. Kejadian itu seketika membuat Sotong dan Palang terlompat di tempat karena sangat terkejut.
Jeritan keduanya membuat para prajurit lain kian kuat memegang senjatanya.
Karena pedang yang jatuh ke tameng datang lurus dari atas, Palang dan Sotong kompak menggerakkan wajah dan pandangannya ke atas pohon.
Dengan kompak pula mereka melihat sesosok tubuh prajurit yang warna seragamnya sama dengan mereka, tergantung di dahan pohon nan tinggi dengan posisi tangan dan kepala ada di bawah.
“Jiaaaakk…!” teriak Palang dan Sotong bersamaan seperti melihat hantu cantik tapi tidak berhidung. Sontak mereka berbalik dan lari tunggang langgang menuju ke komunitasnya.
Jika hanya melihat rekan mereka tergantung, itu tidak terlalu menyeramkan, tetapi mereka juga melihat sekilas penampakan di antara cabang pohon di atas sana.
Teriakan dan kaburnya kedua prajurit itu membuat Tiwang Karini, Kumbang Pitak dan yang lainnya kian tersiksa perasaannya oleh ketakutan.
Sreeet! Blet! Blet!
Blugk! Blugk!
“Aaaakkk…!”
Tiba-tiba ada pergerakan yang sangat cepat di dalam rerumputan hutan. Tidak terlihat apa itu. Namun, gerakannya mengejar Palang dan Sotong.
Tahu-tahu kedua kaki dua prajurit itu dililit oleh sejenis akar pohon hidup, membuat keduanya jatuh merumput. Kejap berikutnya, tubuh keduanya tertarik mundur dalam posisi tengkurap.
Palang dan Sotong menjerit histeris, seperti orang yang sedang diseret menuju ke lubang neraka.
Sementara yang lainnya di area peristirahatan, hanya melihat Palang dan Sotong jatuh, terseret dan mendengarnya menjerit kencang sekencang-kencangnya. (RH)
ini aku mewakili komentar Tomy aja, Om. dia pensiun komen katanya lagi fokus terapi cacingnya biar bisa jadi naga🤣