Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 — Misteri Umbral
SEBELUM tiba di depan pagar rumahnya, Davin mematikan motor bebek matiknya. Suara mesin padam. Dia menyeret motornya ke depan pintu pagar. Malam sudah semakin larut. Sepanjang jalan komplek tampak lengang. Beberapa mobil terparkir di luar pagar karena garasi sudah penuh.
Sejenak dia menatap rumahnya yang hening dan remang. Lampu ruang tamu menyala redup—hmm, sepertinya ibunya sudah tidur.
Dia membuka pintu pagar dengan hati-hati. Nyaris tak menimbulkan suara. Perlahan dia membawa motornya masuk halaman, lalu kembali merapatkan pintu pagar.
Dia menyelinap masuk rumah lewat pintu samping di garasi. Dia sudah beberapa kali membuat kunci serep untuk semua pintu—yah, sekedar untuk berjaga-jaga seperti situasi sekarang.
Davin mengendap-endap masuk rumah seperti maling. Dan langkahnya terhenti ketika melihat ibunya berdiri di ruang santai keluarga. Dianti menatapnya tanpa senyum, dan berkacak pinggang. Heran, dengan cara apa pun dia masuk rumah, pasti kepergok sang ibu!
“Dari mana kamu?” tanya Dianti. Suaranya datar, sama sekali jauh dari tajam dan dingin.
Salah satu hal yang paling Davin kagumi dari ibunya, dia justru makin takut kalau melihat sikap Dianti yang begitu tenang.
“Dari rumah Rayan, Ma,” sahutnya tenang. “Bantuin proyek dia.”
“Dan bawa ransel segede itu?” Dianti menatap putranya dengan lekat. Matanya pelan-pelan menajam—dan dia mendadak tersentak kaget. “Ya Tuhan, apa isi ransel itu seperti yang Mama pikirkan?”
Davin mencoba tetap santai. “Bukan, Ma.”
Dianti menghela napas letih. “Mama pikir hidup Mama bisa tenang setelah papa kamu menghentikan eksperimen edannya. Tapi ternyata tidak. Justru kamu yang melanjutkan gagasan gilanya.”
“Ma, Davin nggak ngapa-ngapain. Berani sumpah.”
Dianti menggelengkan kepala. “Tidak, Sayang. Mama nggak percaya untuk urusan science geek kalian. Kamu harus diawasin mulai sekarang.”
Davin tersenyum tipis. “Lebih bagus lagi. Boleh Davin ke kamar sekarang?”
“Jangan macam-macam, Sayang. Jangan bikin Mama cemas. Apa pun yang kamu lakukan, hentikan segera. Just don’t do stupid things!”
Davin memasang wajah setenang mungkin. “Chill, Mom. You worry too much.”
Dia lalu melangkah menuju kamarnya sebelum Dianti berkicau panjang tentang “stupid things.”
Dia menaruh ranselnya di atas meja belajar. Dia mencuci wajah di wastafel. Rasa segar menjalar di wajahnya. Matanya sama sekali belum terserang kantuk. Otaknya pasti tak akan bisa berhenti berpikir sebelum dia mendapatkan jawaban dari sederet pertanyaan yang terus berlarian di kepalanya.
Ada banyak kejadian ganjil yang baru dijumpainya di kolam renang angker tadi. Siapa lelaki baya aneh itu? Benarkah dia bukan orang—seperti kata Elisa? Dan… kenapa SRD dapat menangkap resonansi anomali? Kenapa suhu di sana mendadak drop sampai sembilan belas derajat Celsius? Benarkah itu tandanya Umbral datang? Tapi apa sih Umbral ini?
Davin duduk berselonjor di atas tempat tidur sambil membuka ponselnya. Ternyata ada pesan dari Sasha sekitar sepuluh menit lalu.
Davin membaca pesan singkat Sasha.
“Videonya keren banget.”
Dia menatap pesan itu agak lama seolah terlalu sulit untuk memahami sepotong kalimat Sasha. Ada geliat rasa bungah menjalar di hatinya. Dia mengetik cepat: “Kok belum tidur jam segini?”
Tapi, sebelum menekan tombol kirim, entah mengapa, pesan itu dihapusnya. Dia akhirnya membalas singkat: “Thanks.”
Dia melihat pesannya langsung berconteng biru. Dia sedikit mengangkat alisnya. Rupanya Sasha masih belum tidur. Dia menunggu sebentar. Tapi tak ada balasan lain dari gadis itu. Hmm, apakah Sasha juga mengirim pesan yang sama pada Rayan?
Davin menggelengkan kepala—berusaha membuang pikiran-pikiran aneh yang mulai bermunculan di kepalanya.
Rumah terasa makin hening. Davin beranjak dari tempat tidur. Dia menengok ke lantai bawah. Ruang santai keluarga tampak gelap. Dia merasa yakin Dianti sudah terlelap dalam mimpi indah.
Dia bergegas membawa ranselnya ke attic untuk mengembalikan harta-benda ayahnya yang dipinjam secara ilegal. Dia sekaligus ingin mencari buku Umbral. Dia seolah tak bisa menunggu besok.
Dengan bantuan senter kecil, dia menaruh peralatan eksperimen Adrian ke tempatnya semula dengan rapi.
Dia menyorotkan cahaya senter ke meja kecil dekat jendela attic.
Dia mengernyitkan alisnya.
Buku catatan rahasia itu seolah sudah menanti di sana—teronggok bisu dengan halaman… terbuka.
Davin menghela napas panjang untuk melerai geliat rasa gugup di dadanya. Rupanya malam ini benar-benar creepy night. Di mana-mana dia seperti harus mengalami hal-hal ganjil. Di kolam renang—di rumah Rayan—dan sekarang di attic….
Dia membawa buku bersampul kulit itu ke kamarnya. Dia duduk santai di meja belajar sambil membaca halaman demi halaman buku catatan rahasia ayahnya. Sekarang dia lebih serius menyimak tulisan rumit Adrian. Dia menghafalkan semua simbol, dan mencatat semua peralatan yang pernah dipakai oleh Adrian dalam eksperimennya.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia harus tetap terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Oh, shit!