Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Keesokan harinya, dengan wajah pucat pasi, Cheng Xiao menyelinap keluar dari kamarnya tanpa diketahui seorang pun. Tubuhnya dibalut gaun putih polos, seolah tengah berkabung, langkahnya gontai dengan tatapan kosong meninggalkan istana putra mahkota, menuju istana kekaisaran yang megah. Angin pagi yang dingin menusuk kulitnya, namun tak mampu mengusik kehampaan yang mencengkeram hatinya.
Para prajurit yang berjaga di gerbang istana menatap heran sosok wanita yang baru beberapa hari melahirkan itu. Sorot mata Cheng Xiao sayu, seolah jiwanya telah lama meninggalkan raganya. "Putri, hendak kemana anda sepagi ini?" tanya seorang pelayan istana Kaisar, yang terkejut melihat Cheng Xiao berjalan dengan langkah terseok-seok. Kerutan khawatir menghiasi wajah pelayan itu, menyadari betapa lemahnya kondisi sang putri.
Cheng Xiao menoleh perlahan, matanya yang sembab berkaca-kaca. "Aku... aku ingin menemui Kaisar," ujarnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk istana yang mulai ramai.
"Namun, kondisi anda belum pulih sepenuhnya setelah melahirkan. Biar saya antar kembali ke istana Putra Mahkota, Putri," bujuk pelayan istana dengan nada lembut, berusaha mencegah Cheng Xiao yang tampak begitu rapuh.
Cheng Xiao menggelengkan kepalanya lemah, rambutnya yang tergerai berantakan menutupi sebagian wajahnya. "Tidak... aku harus menemui Kaisar sekarang," desaknya dengan suara bergetar, seolah ada beban berat yang tak bisa lagi ia tanggung sendiri.
Melihat tekad yang terpancar dari mata Cheng Xiao, dan diliputi rasa iba, pelayan itu akhirnya mengalah. Dengan hati-hati, ia membantu Cheng Xiao berjalan, menuntunnya menuju ruang baca Kaisar. Di depan pintu ruang baca, tampak kasim setia Kaisar berdiri dengan wajah waspada. Aroma dupa yang menenangkan tercium samar dari dalam ruangan, kontras dengan gejolak emosi yang tengah berkecamuk dalam diri Cheng Xiao.
Kasim itu menunduk hormat saat melihat Cheng Xiao. "Maafkan saya, Putri. Kaisar sedang tidak bisa diganggu saat ini," ucapnya dengan nada sopan namun tegas, menghalangi jalan Cheng Xiao.
"Aku harus bicara dengan Kaisar. Ini penting," jawab Cheng Xiao, suaranya sedikit meninggi, menunjukkan nada putus asa. Ia mencoba melewati kasim itu, namun sang kasim dengan sigap menghalanginya lagi.
"Mohon maaf, Putri. Kaisar sedang menerima tamu penting. Anda bisa menemui Kaisar nanti setelah makan siang," jelas kasim itu, berusaha menenangkan Cheng Xiao.
Cheng Xiao menggeleng keras. "Tidak! Aku harus bicara sekarang!" air mata mulai membasahi pipinya. Ia mencengkeram lengan pelayan istana yang menemaninya, mencari dukungan. "Katakan pada Yang Mulia, ini tentang... tentang Putra Mahkota!"
Kasim itu terdiam sejenak, tampak ragu. Nama Putra Mahkota disebut, membuatnya berpikir dua kali. Ia tahu betul hubungan Kaisar dan putranya itu sedang tidak baik-baik saja. "Mohon tunggu sebentar, Putri," ucapnya akhirnya, lalu berbalik dan mengetuk pintu ruang baca Kaisar dengan hati-hati.
Terdengar suara berat dari dalam, "Ada apa?"
"Lapor, Yang Mulia. Putri Cheng Xiao ingin menghadap. Katanya ada hal penting yang ingin disampaikan, mengenai Putra Mahkota," lapor kasim itu dengan suara pelan.
Hening sejenak di dalam ruangan. Kemudian, terdengar suara Kaisar lagi, "Biarkan dia masuk."
Kasim itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Cheng Xiao masuk. Pelayan istana yang mengantarnya hanya bisa menunduk hormat dan menunggu di luar, merasa cemas dengan apa yang akan terjadi di dalam sana.
Cheng Xiao melangkah masuk dengan ragu. Ruang baca Kaisar tampak megah dengan rak-rak buku yang menjulang tinggi hingga langit-langit. Aroma dupa semakin kuat menusuk hidung, bercampur dengan aroma tinta dan kertas kuno. Di balik meja besar, Kaisar duduk dengan wajah dingin dan tanpa ekspresi. Sorot matanya tajam mengamati Cheng Xiao dari atas ke bawah.
"Ada apa?" tanya Kaisar dengan suara berat, memecah keheningan. Nada suaranya terdengar tidak sabar, seolah kehadiran Cheng Xiao mengganggu waktunya yang berharga.
Cheng Xiao berlutut di hadapan Kaisar, air matanya semakin deras mengalir. "Yang Mulia... hamba mohon ampun," ucapnya dengan suara bergetar.
Kaisar mengernyitkan dahi. "Ampun? Untuk apa? Cepat katakan apa yang ingin kau sampaikan. Aku tidak punya banyak waktu."
Cheng Xiao menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Ini tentang... tentang Putra Mahkota dan... dan anak hamba."
Kaisar terdiam, sorot matanya semakin tajam. Ia menunggu Cheng Xiao melanjutkan kalimatnya, dengan rasa penasaran dan firasat buruk yang mulai menghantuinya.
Dengan bibir bergetar, Cheng Xiao melanjutkan, "Anak yang hamba lahirkan... bukanlah darah daging Putra Mahkota."
Keheningan kembali memenuhi ruangan, kali ini terasa lebih mencekam. Kaisar menatap Cheng Xiao dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemarahan, keterkejutan, dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Ia mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha mengendalikan emosinya.
"Apa maksudmu?" tanya Kaisar dengan suara rendah namun penuh tekanan. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti ancaman yang menggantung di udara.
Cheng Xiao memberanikan diri menatap Kaisar, air matanya terus mengalir membasahi pipinya. "Hamba... hamba telah menjadi korban. Ini semua adalah permainan yang direncanakan oleh... oleh Putra Mahkota sendiri. Dia... dia tidak mencintai hamba."
Kaisar terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang diucapkan Cheng Xiao. Ia tahu betul bahwa putranya tidak pernah benar-benar mencintai Cheng Xiao, pernikahan mereka hanyalah karena alasan politik. Namun, ia tidak pernah menyangka putranya akan melakukan hal sekeji ini.
"Jelaskan," perintah Kaisar dengan suara dingin, sorot matanya semakin tajam.
Cheng Xiao mulai menceritakan semuanya, bagaimana Putra Mahkota selalu bersikap dingin dan acuh padanya, bagaimana ia merasa terasing dan kesepian di istana Putra Mahkota. Kemudian, dengan suara tercekat, ia menceritakan tentang malam itu, Putra Mahkota mengajaknya untuk meminum arak pernikahan, dan setelah itu, ia kehilangan kesadarannya. Ia terbangun keesokan harinya dengan perasaan bahagia, mengira telah memberikan malam pertamanya kepada suaminya. Namun, kenyataan pahit menghantamnya seperti badai. Ia baru menyadari bahwa pria yang bersamanya malam itu bukanlah Putra Mahkota, melainkan pria lain yang diperintahkan oleh Putra Mahkota sendiri untuk memperkosanya. Ia menceritakan semuanya dengan detail, berharap Kaisar akan percaya dan memberikan keadilan untuknya, namun dia tidak berharap lebih Kaisar akan menghukum Putra Mahkota.
Kaisar terdiam cukup lama, wajahnya mengeras. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di depan meja, tampak sangat marah dan kecewa. Ruangan itu terasa semakin dingin dan mencekam.
"Kau... punya bukti?" tanya Kaisar akhirnya, suaranya bergetar menahan amarah.
Cheng Xiao menggeleng lemah. "Hamba tidak punya bukti, Yang Mulia. Hamba hanya memiliki kata-kata hamba," jawabnya lirih, merasa putus asa. Ia tahu betul, di istana ini, tanpa bukti, kebenaran akan sulit dipercaya.
Kaisar berhenti berjalan dan menatap Cheng Xiao dengan tatapan tajam. "Lalu, bagaimana aku bisa mempercayaimu? Kau tahu betul, Putra Mahkota adalah pewaris tahta. Tuduhanmu ini sangat serius dan bisa mengguncang seluruh kekaisaran."
"Hamba tahu, Yang Mulia. Tapi hamba bersumpah, semua yang hamba katakan adalah kebenaran. Hamba rela mati demi membuktikan kebenaran ini," ucap Cheng Xiao dengan suara lantang, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan. Ia menatap Kaisar dengan tatapan penuh harap, memohon agar dipercaya.
Kaisar terdiam kembali, tampak berpikir keras. Ia tahu betul bahwa putranya memiliki banyak kekurangan, namun ia tidak pernah menyangka putranya akan melakukan tindakan sekeji ini. Jika tuduhan Cheng Xiao benar, maka Putra Mahkota tidak pantas menjadi pewaris tahta.
"Baiklah," ucap Kaisar akhirnya, membuat Cheng Xiao sedikit terkejut. "Aku akan menyelidiki masalah ini. Jika terbukti benar, maka Putra Mahkota akan mendapatkan hukuman yang setimpal."
Cheng Xiao menunduk hormat, air matanya kembali mengalir, kali ini air mata kelegaan. "Terima kasih, Yang Mulia. Hamba percaya pada keadilan Yang Mulia."
"Tapi, jika terbukti kau berbohong, maka kau akan menanggung akibatnya," ancam Kaisar dengan suara dingin.
Cheng Xiao mengangkat wajahnya dan menatap Kaisar dengan tatapan berani. "Hamba siap menanggung segala akibatnya, Yang Mulia. Karena hamba tahu, hamba tidak berbohong."
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪