NovelToon NovelToon
Pewaris Dewa Perang

Pewaris Dewa Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:9.5k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.

Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.

Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:

Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.

Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.

Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.

Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB.12 Pertarungan Xio Lun VS Shi luo

Langit di atas markas Klan Tengkorak Merah tetap muram; awan pekat menggulung seperti tirai yang menutupi matahari. Di tengah tekanan itu, seorang pemuda berdiri melayang — tenang, dingin, tak bergeming. Di bawahnya, para tetua dan Patriak berdiri seperti bayangan besar yang hendak menelan satu per satu nyawa. Suasana bergetar, napas seisi klan serasa tertahan.

Shi Luo turun. Dengan sekejap ia sudah berdiri di hadapan Patriak Hong Ju, dada menempel rapat pada dada patriak seolah memberi hormat, namun matanya masih berkaca oleh amarah yang tersisa. Ia membungkuk singkat, kemudian berujar cepat.

“Patriak,” katanya, suaranya lugas namun tegas. “Pemuda itu — ia menuntut agar kita menyerahkan Xin Shi. Ia mengaku pula bahwa dialah yang membunuh tetua ketiga kita. Ia mengaku datang untuk membalas kehancuran Klan Bunga Persik.”

Hong Ju menatap tajam, dadanya bergulung sedikit. Satu mata patriak itu melotot, menakar setiap kata Shi Luo. Ada geram yang perlahan merebak di wajahnya, namun ia berusaha tampak tenang.

Di dalam hati Hong Ju, suara kecil penuh tanya berulang-ulang. Hatinya bergumam, mengurut, hmmmm… apakah bocah itu tahu tentang peta harta dan artefak kuno yang melekat pada tubuh Xin Shi, anak dari Patriak Bunga Persik, Xi Bong? Jika bocah ini… jika bocah ini memang tahu, maka ia bukan ancaman biasa. Ia bisa menjadi ancaman besar bagi klan kitan dan tetua Tiandu..

Wajah Hong Ju mengeras. Ia memandang para tetua yang mengerumun di sisinya: Shi Bao, Shi Zhen, Shi Long, dan tentu saja Shi Luo yang baru melaporkan. Semua mata itu menatap balik dengan haus darah dan kebencian — namun juga ada kecemasan terselubung. , Hong Ju tahu ada taruhan besar di balik perang ini: kalau informasi tentang peta harta itu tersebar, klan mereka bukan hanya menghadapi ancaman dari kalan klan lain, tapi dari klan Tetua Tiandu yang sangat kuat di Benua Barat

Hong Ju mengangkat dagu. Nada suaranya keras sekali, menahan getaran yang hampir memecah udara.

“Kalau demikian tujuan bocah ingusan itu datang kemari,” katanya, tiap kata diukir tajam, “maka jangan beri ia kesempatan berbicara lagi. Bunuh dia tanpa ampun.”

Perintah itu menghujam., lalu dera tawa para tetua mendadak padam. Shi Luo, yang semula meledak emosi, tiba-tiba membatu. Bibirnya yang tadinya penuh hinaan terkatup — bukan karena patuh, melainkan karena naluri yang tiba-tiba terasa dingin. Ada rasa takut yang ia tolak untuk tunjukkan di depan patriaknya sendiri.

Dengan sekejap mata, seperti panah terlepas, Shi Luo sudah melesat kembali ke udara. Ia menghilang dari hadapan Hong Ju dan muncul lagi tepat di hadapan Xio Lun — jarak yang tadi ia tempati seakan tak pernah lepas dari gerakannya yang cepat. Di udara itu, ia mengumpulkan sisa-sisa amarahnya, wajahnya berubah menjadi potret kebencian yang paling murni.

Sementara itu, di dalam aula — di singgasana yang sedikit terangkat dari lantai — sosok yang selama ini duduk tenang membuka matanya. Ia adalah Tiandu, tetua misterius dari Benua Barat, yang berasal dari Klan Bintang Langit, penguasa tertingi di barat sana. Tiandu tidak bereaksi berlebihan.,ia memandang Xio Lun dengan ketenangan yang hampir menghina. Bagi Tiandu, kedatangan seorang pemuda dari ranah yang lebih rendah bukan ancaman bagi rencana besar Benua Barat. Ia menilai, mengukur, menunggu. Tidak ada kecemasan yang terpancar di wajahnya

Di bawah tanah kediaman, klan tengkorak merah, ranjang batu kecil menyimpan sesuatu yang bernapas lemah. Di dalam ruangan segel yang dibangun rapi, dikelilingi pagar rune dan lingkaran mistik, tergolek seorang gadis muda: Xin Shi, putri Patriak Bunga Persik Xi Bong. Segel yang ditanam Tiandu melilit tubuhnya seperti sangkar cahaya, menekan napas dan kekuatan. Wajahnya pucat, bibirnya pecah, namun matanya terbelalak dalam kondisi separuh sadar. Hatinya bergetar pelan

Dalam benaknya, serangkaian pertanyaan dan pengharapan bergulir: mengapa Xio Lun pergi ketika kekacauan di Klan Bunga Persik pecah? Di tengah kebisingan dan darurat, ia tak melihat bayangan Xio Lun. Ia bergumul antara rasa takut dan harap; harap yang merenggutnya dari kesempatan menyerah. “Xio Lun… mengapa kau pergi?” pikirnya dengan suara kecil dalam hati. “Kenapa kau tinggalkan aku di saat seperti ini?” Air mata tak mampu keluar karena segel memaksa tubuhnya lemah. Di sela desahan, ia mencoba memanggil namanya, namun suaranya hanyalah desah samar.

Di udara, Xio Lun mendengar gema kata-kata yang dilontarkan oleh Shi Luo pada Patriak, tahu betul apa yang disampaikan. Ia menyaksikan pandangan patriak yang menimbang sesuatu — desiran bibir yang menyingkap niat tersembunyi. Namun Xio Lun tidak peduli pada bisik logika yang berkecamuk di benak musuh-musuhnya sekarang. Hatinya berubah menjadi satu titik: Xin Shi. Wajahnya menegang, bibirnya mengerang pelan melalui udara yang beku.

Dengan suara tenang yang hampir tak mengguncang angin, ia berbisik hanya untuk dirinya sendiri, seperti janji yang diikatkan pada “Xin Shi… maaf aku terlambat. Tapi akan kupastikan Klan Tengkorak Merah akan musnah hari ini.”

Kata-kata itu bukan saja sebuah ancaman, namun satu sumpah yang mengalir dari lembah terdalam dendamnya. Di udara, nada suaranya tetap dingin, tanpa sensasi amarah memuncak, melainkan keyakinan yang tenang dan menakutkan. Setiap yang berada di bawah dapat merasakannya menempel pada kulit seperti udara dingin yang melukai.

"hey bocah ucap tetua shi luo kau masih berdiam diri ketia dewa kematianmu telah datang....

“Bagus,” gumamnya dengan suara yang dipaksakan tenang. “Kalau begitu, lakukanlah tugasmu, Shi Luo. Tangkap bocah itu bila perlu. Hentikan kata-katanya sebelum ia menularkan panasnya ke lebih banyak pion yang dungu.”

Shi Luo mendengus. Ia menoleh kembali ke arah Xio Lun, lalu mengumpulkan amarahnya seperti bara membara siap dilemparkan. Di dadanya,: ia akan menghancurkan bocah itu, ia akan menenggelamkan harga diri bocah itu dengan darah. Seketika ia meluncur menyeberang angin, tubuhnya seperti panah, menyambung jarak antara dirinya dan Xio Lun.

Di ruang bawah, Xin Shi memejamkan mata sejenak, merasakan getaran dari langit yang menelusup lewat dinding batu; sesuatu menjerit di dadanya — sebuah firasat bahwa Xio Lun tak sedang jauh meski ia tak lihat. Hatinya menaruh harap yang samar: jika saja ia bisa membuka mata dan melihatnya, atau setidaknya merasakan kehadirannya lebih dekat, mungkin ia tidak akan begitu hancur. Namun segel menggenggamnya ketat; Tiandu yang menanamnya tak memberi celah.

Tiandu, yang duduk di singgasana, mengangkat alis tipis saat Shi Luo melesat lagi ke udara. Matanya yang tajam menelusuri pemandangan; ia melihat Xio Lun, menimbang, kemudian kembali menandaskan ketenangan. Ia tak merasa terancam. Jika pemuda ini memang seorang petaka, Tiandu akan mengamati dan memutuskan kapan turun tangan, bukan dengan gegabah tetapi sesuai rencana besar yang sudah ia susun dengan dingin. Di kepalanya ada peta lebih luas, dan sedikit kekacauan di sini adalah bagian dari permainan yang lebih besar.

Sementara itu, di udara, Xio Lun memandang ke bawah — ke arah Shi Luo yang sekarang menekan dekat dengannya. Tatapan mereka beradu sejenak. Shi Luo, dengan lidah yang hendak melontarkan hinaan, mencongkelnya kembali melihat sekeliling prajurit yang di bawah. Dia mengejek, meremehkan, memancing amarah.

Namun Xio Lun tidak bereaksi panas. Wajahnya tetap seperti batu. Suara yang keluar datar adalah suara yang paling menakutkan:

“Siapkan kuburanmu,” ucapnya pelan,,

1
Ibad Moulay
Uraaa 🐎🐎🐎
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Nanik S
di Cerita ini harusnya kata subuh tidak ada Tor
Nanik S
Peta
Nanik S
Siap Balas Dendam
Nanik S
apakah Xiao Lun akan dilenyapkan
Nanik S
Awal yang menarik
Ibad Moulay
Pengawal Timur
Ibad Moulay
Lorong Batu
Ibad Moulay
Formasi Penyegel Darah
Ibad Moulay
Penjaga Kuno
Ibad Moulay
Kuil Bayangan
Ibad Moulay
Menara Langit Ilahi
Ibad Moulay
Uraaa 🐎🐎🐎🐎
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Ibad Moulay
Gerbang Bintang
Ibad Moulay
Pusaran
Ibad Moulay
Jalur Utara
Ibad Moulay
Penjaga
Ibad Moulay
Ledakan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!