Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
“Cepat pergi dari hadapan ku! Aku tidak ingin melukai siapa pun, tapi jangan paksa aku melakukan lebih dari ini!” bentak Aditya dengan keras.
Surya yang kini berdiri dengan wajah lebam menatap Aditya dengan berat hati.
“Tuan Aditya, saya mohon tolong jangan buat ini semakin sulit untuk kami. Kami tidak ingin melawan Anda, tapi kami juga tidak bisa melanggar perintah dari ayah anda.” ucap Surya yang membuat Aditya menatapnya dengan pandangan tajam.
“Kalau begitu, kalian semua harus menanggung akibatnya karena sudah berani menghentikan ku.”
Ia melangkah lagi dan mendorong Surya menjauh, lalu berlari menuju mobil. Napasnya berat, kemejanya terlihat kusut dan sedikit robek di bagian lengan, tapi tatapan matanya tetap tajam.
Saat Aditya membuka pintu mobil, Reina menatapnya dengan wajah pucat.
“Kau melukai mereka, Aditya...” katanya dengan suara bergetar. “Kenapa harus seperti ini? Kenapa kau harus mengusir mereka dengan cara kekerasan?”
Aditya menatapnya, dan untuk pertama kalinya hari itu, sorot matanya melembut. “
Aku tidak punya pilihan, Reina. Mereka tidak akan membiarkan kita pergi.”
“Tapi kau sendiri yang membuat semua ini menjadi tidak mungkin,” balas Reina pelan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Kau memaksa dunia tunduk pada kehendak mu, tanpa pernah memikirkan apa yang kurasakan.”
Aditya diam. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa semua ini ia lakukan karena cinta. Tapi kata cinta terasa terlalu kotor untuk diucapkan setelah semua yang ia lakukan.
“Maafkan aku,” kata Aditya akhirnya, yang hampir seperti bisikan. Ia menatap ke arah depan, lalu menyalakan mesin mobil.
“Dika, bersiaplah. Kita berangkat sekarang.”
Dika menelan ludahnya dengan gugup dan cepat cepat masuk ke dalam mobil milik Aditya. Ia sempat melirik ke kaca spion, melihat beberapa pengawal mulai bangkit perlahan dengan tubuh penuh luka. Namun mereka tampaknya belum mampu mengejar.
Mobil itu pun akhirnya melaju perlahan keluar dari halaman rumah Reina, melewati mobil pengawal suruhan pak Arman yang ingin mencegah kepergian Aditya. Namun baru beberapa meter meninggalkan rumah itu, sebuah mobil lain melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Mobil hitam itu berhenti mendadak di tengah jalan, tepat di hadapan mobil Aditya.
Dika yang menyetir langsung menghentikan mobil Aditya dengan mendadak.
“Tuan... itu—”
Aditya menatap mobil itu lewat kaca depan. Wajahnya menegang. Ia tahu mobil itu. Ia tahu siapa yang ada di dalamnya.
Pintu belakang mobil hitam itu terbuka perlahan. Dari sana, muncul sosok pria paruh baya dengan setelan jas abu-abu mahal, berwajah tegas, dan sorot mata yang tajam.
Orang itu tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri, pak Arman Wiranegara.
Udara di sekitar mereka seolah berhenti bergerak. Reina menahan napas, Dika membeku di kursi kemudi, sementara Aditya memejamkan matanya sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi sosok yang paling ia benci sekaligus ia hormati dalam hidupnya.
Ayah dan anak itu kini berdiri di sisi berlawanan dari jalan sempit itu. Dan di antara mereka, ada Reina, gadis yang menjadi inti dari permasalahan yang membuat hubungan ayah dan anak itu retak.
Pandangan pak Arman kemudian jatuh pada sosok Reina, gadis sederhana yang berdiri di sisi mobil, masih menggenggam erat tangannya sendiri karena gugup. Kedua matanya menelusuri penampilan gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, pakaiannya yang sederhana, wajahnya yang polos tanpa riasan, dan sorot matanya yang ketakutan. Sebuah desis kecil keluar dari bibirnya, seolah ia baru saja melihat sesuatu yang tidak pantas berada di hadapannya.
Setelah itu, pandangan dinginnya beralih pada Aditya, putra yang selama ini ia banggakan, namun kini menjadi sumber kekecewaan terdalam dalam hidupnya.
“Jadi begini caramu membalas semua jasa jasa orang tuamu, Aditya? Dengan meninggalkan rumah, membuat nama baik keluarga kita tercoreng, dan berusaha kabur bersama gadis ini?” ucap pak Arman dengan suaranya yang terdengar berat dan dingin, menusuk udara di antara mereka.
Aditya menatap ayahnya tanpa gentar. Meskipun jantungnya berdetak keras, matanya tetap tenang, meski penuh luka.
“Ini bukan tentang membalas jasa, Ayah,” jawab Aditya akhirnya dengan nada rendah. “Ini tentang kebebasan. Tentang hidup yang ingin aku pilih sendiri.”
Pak Arman mendengus sinis. Ia melangkah maju dan membuat sepatu kulit hitam yang dikenakannya menginjak aspal dengan suara berat.
“Kebebasan?” ulang pak Arman dengan tawa kecil yang penuh ejekan. “Kau menyebut lari bersama perempuan rendahan ini sebagai bentuk kebebasan? Apa itu yang kau pelajari dari semua pendidikan yang sudah kuberikan padamu, Aditya? Dari semua kerja keras yang kulakukan untuk membangun masa depanmu?”
Reina yang mendengar kata-kata itu spontan menundukkan wajahnya. Dadanya terasa sesak, seolah setiap kata dari Pak Arman adalah pisau yang menembus harga dirinya. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan perih dan air mata yang hampir pecah.
Namun Aditya melangkah sedikit ke depan, berdiri di antara ayahnya dan Reina. Tatapannya kini terlihat tajam, sementara suaranya mengeras.
“Cukup, Ayah. Jika niat ayah kesini hanya untuk menghina Reina, maka ayah boleh pergi dari sini.” ucap Aditya dengan tegas dan membuat Pak Arman terdiam sesaat, menatap anaknya dengan tatapan tak percaya.
“Apa kau barusaja mengusir ayahmu ini, aditya? Demi perempuan sialan itu?”
Aditya mengepalkan tangannya di sisi tubuh.
“Aku tidak mengusir, Ayah. Aku hanya tidak bisa terima saat Ayah menghina seseorang yang tidak bersalah. Reina tidak pantas disebut gadis rendahan.”
Wajah Pak Arman menegang.
“Tidak pantas? Kau bahkan tidak tahu siapa dirinya sebenarnya! Dia bukan siapa-siapa, Aditya! Dia hanya seorang gadis penjual gorengan di pinggir jalan, seorang gadis dari keluarga tanpa nama, tanpa harta, tanpa masa depan. Dan kau, pewaris Wiranegara Group, berani menukar segalanya hanya demi perempuan seperti itu?”
Aditya menatap ayahnya dengan matanya yang kini berkaca-kaca.
“Aku tahu siapa dia, Ayah,” ucap Aditya tegas. “Dia adalah orang yang membuatku mengerti arti hidup. Reina adalah alasan kenapa aku masih bisa berdiri sampai sekarang, di tengah semua tekanan yang Ayah ciptakan untukku. Dia membuatku merasa hidup, sesuatu yang bahkan Ayah tak pernah izinkan untuk aku rasakan.”
Pak Arman tertawa kecil, namun tawanya terdengar pahit dan meremehkan.
“Kau terdengar seperti anak kecil yang sedang di mabuk perasaan, Aditya. Kau bahkan tidak sadar kalau gadis itu telah membuatmu kehilangan akal sehatmu.”
“Tidak,” balas Aditya cepat. “Aku sama sekali tidak pernah kehilangan akal sehatku, Ayah.”
Mendengar itu, rahang Pak Arman mengeras. Ia menatap Aditya dengan sorot tajam seperti pisau.
“Kau benar-benar sudah buta, Aditya. Gadis itu membawa sial. Sejak dia muncul, hidupmu berubah kacau, keputusanmu tidak masuk akal, dan sekarang kau bahkan siap menghancurkan reputasi keluarga kita hanya karena cinta picisanmu itu!”
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/