"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.
Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.
Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.
"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.
Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Irvana tertidur di kursi penonton bioskop.
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk lewat celah kecil di dinding, menimpa wajahnya pelan-pelan. Ia membuka mata dengan berat, masih setengah sadar, masih di antara mimpi dan kenyataan.
Layar bioskop di depannya masih menyala. Wajah Raisa terpampang di sana, dengan senyum yang dulu begitu hangat_senyum yang kini hanya jadi potongan kenangan di layar besar.
Irvana menatap lama. Terlalu lama.
Seolah berharap wajah itu bisa bicara, menjelaskan semua yang tidak pernah sempat ia tanyakan. Tangannya gemetar saat meraih botol di samping kursi. Ia meneguk isinya perlahan. Rasanya pahit, tapi mungkin itu satu-satunya yang tersisa untuk membuatnya tetap merasa hidup.
"Haaah--" teriak Irvana. "Dharmaaa--!"
Prang!
Botol itu pecah di lantai. Air dan serpihan kaca berhamburan ke segala arah. Ia menginjaknya tanpa ragu, tanpa alas kaki. Darahnya bercampur dengan cairan di lantai_membentuk warna yang entah merah, entah luka.
Irvana berlutut menatap layar, seolah bicara dengan Dharma. "Aku sudah tak punya apa-apa lagi untuk diserahkan. Kau pun tak akan mendapatkan apa-apa, Dharma. Putrimu mendengar detak jantungku sekarang, kau yang akan menghadapi murkaku kali ini."
Irvana melangkah mendekati layar. Tubuhnya limbung. Ia jatuh_terbaring di bawah layar_menatap wajah Raisa sekali lagi sebelum akhirnya memejamkan mata.
Mungkin kali ini, ia benar-benar ingin tidur tanpa bangun.
Satu jam kemudian, pintu bioskop terbuka keras.
Gilang berlari panik ke arah Irvana, sementara Darwis terdiam di ambang pintu. Napasnya tersengal. Wajahnya pucat. Lalu, teriakannya pecah memenuhi ruang kosong itu.
"Haaah-- Ya Tuhan-- kenapa harus putraku? Cobalah Kau hidup seperti hamba-Mu-- apakah Kau sanggup menjadi dirinya, Ya Tuhan?"
Tangisnya menggema, membentur dinding bioskop yang dingin.
Dan di antara semua itu_layar masih menyala, menampilkan senyum Raisa yang tak pernah benar-benar pergi.
Bayangan masa lalu Darwis kembali muncul, saat Irvana belum mengenal Raisa. Saat itu, Irvana adalah pria yang ceria dan suka berbagi dengan siapa pun. Jika melihat seorang nenek berjalan tertatih, tanpa ragu ia akan menghampiri dan menggendongnya.
Irvana dikenal sebagai sosok periang, karena hampir setiap hari ia bisa ditemukan di pasar bersama teman-temannya. Meski anak seorang politisi, Irvana tak pernah merasa lebih tinggi. Ia justru senang membantu teman-temannya mencari uang dengan menjadi kuli panggul, mengangkat karung beras dan tepung gandum tanpa malu.
Bayangan itu perlahan memudar ketika Darwis melihat Irvana membuka mata. Pria itu segera bangkit, dan di sampingnya sudah ada Gilang serta sang ayah.
"Kenapa kalian selalu membuntutiku? Aku bukan anak kecil yang harus diawasi setiap menit," ucap Irvana dengan nada berat khas orang yang baru bangun tidur dan masih setengah mabuk.
"Heh, Irvana! Sampai kapan kau akan terus seperti ini, hah?" bentak Gilang, namun yang ia dapat hanya tatapan tajam darinya.
"Tidak usah menasihatiku. Urus saja dirimu sendiri."
Setelah berkata begitu, Irvana bangkit dan berjalan sempoyongan. Langkahnya pincang karena beberapa pecahan botol masih menancap di telapak kakinya.
"Nak, jangan seperti ini. Ayo kita ke rumah sakit. Kakimu bisa terinfeksi kalau dibiarkan," kata Darwis sambil mencoba menahan lengan Irvana.
Namun, bukannya menurut, Irvana justru menepis tangan sang ayah dengan lembut, seolah tak ingin disentuh, tapi juga tak ingin dilawan. Ia terus melangkah pergi.
Gilang yang melihat sikap itu hanya bisa menghela napas. Ia mendekati Darwis dan menepuk bahunya pelan.
"Dad, maafkan aku. Aku masih belum bisa membuatnya berubah seperti yang kau harapkan."
Darwis menggeleng pelan, pandangannya tetap mengikuti langkah Irvana yang tertatih keluar dari pintu bioskop.
"Ini bukan salahmu, Gilang. Semua ini karena sebuah hati yang masih menyimpan satu nama," ucapnya lirih.
Di atas tebing yang tinggi, matahari sore bersinar cukup terik, menyengat kulit siapa pun yang berdiri di bawahnya. Irvana baru saja terbangun dari tidurnya. Dengan langkah gontai, ia memuntahkan seluruh isi perutnya di tebing belakang rumah, sementara botol minuman masih setia tergenggam di tangan kirinya.
Tak lama, Gilang datang menghampiri dan menepuk-nepuk bahu Irvana agar berhenti muntah.
"Huuuft-- Kau pria yang benar-benar menyusahkan hidupmu sendiri, Van," ujar Gilang setelah Irvana mulai bisa bernapas lega. "Wanita di dunia ini bukan cuma dia. Banyak gadis manis di kota kita\_ada Mei, Yuli, Siska. Kau tinggal pilih saja mana yang kau suka, dan mereka semua menyukaimu."
Irvana menoleh sekilas dengan tatapan sinis, lalu kembali menenggak minumannya.
"Cobalah berubah, Van. Hilangkan kecanduanmu dengan alkohol itu. Dan lupakan dia," kata Gilang lagi, masih berusaha menasihatinya.
Namun bukannya diam, Irvana justru berbalik dan mencekik leher Gilang cukup erat.
"Aku sudah berusaha melupakannya!" desisnya dengan nada berat. "Aku juga sudah mencoba menggantikan posisinya dengan gadis lain. Tapi sakit ini-- masih saja ada!"
Cengkramannya makin kuat, mendorong tubuh Gilang hingga terbentur batu besar di belakangnya.
"Dengar aku baik-baik. Aku di sini masih punya dirimu dan Daddy. Tapi lihat dia? Dia hidup sendirian di negeri orang, bersama orang asing! Memikirkannya saja sudah cukup membuat hatiku sakit! Sedangkan aku-- aku hanya bisa diam di sini, tak tahu harus berbuat apa."
Setelah itu Irvana melepaskan cengkeramannya, berbalik menghadap pemandangan di bawah tebing, lalu menenggak lagi minumannya dengan gemetar.
Gilang menghela napas berat. Ia kembali mendekat, lalu menepuk bahu Irvana dengan lembut.
"Baiklah, kalau itu maumu. Tapi-- hilangkanlah sakit hatimu, setidaknya untuk hari ini saja. Hari ini ulang tahunku, Van. Dan-- berpestalah denganku malam ini\_di pasar malam pinggir jalan itu."
Irvana menoleh sekilas, menatap Gilang dengan pandangan kosong, lalu kembali meneguk alkoholnya tanpa sepatah kata pun.
...----------------...
**Next Episode...**
**\*\*\***
**Hai para pembaca setia kisah Irvana dan Raisa!**
**Terima kasih sudah setia mengikuti setiap bab dan ikut hanyut dalam emosi mereka.**
**Author cuma mau bilang\_\_perjalanan cerita ini masih panjang dan makin dalam... jadi jangan ke mana-mana, ya. 😌**
**Doakan semoga kisah ini bisa tembus kontrak 20 bab terbaik, biar bisa terus berlanjut dengan versi yang lebih maksimal dan menyentuh hati kalian semua. ❣️**
**Insyaallah malam ini akan ada full update spesial buat kalian yang nggak sabar menunggu kelanjutan kisah Irvana dan Raisa.**
**Stay tune, tetap semangat membaca, dan jangan lupa tinggalkan jejak dukungan kalian lewat like dan komentar, ya! 💬**
**Dengan cinta,**
**Author yang selalu berterima kasih atas setiap pembacanya ❤️**
oh cintaaaa
kumaha ieu teh atuh nya
lanjut
badai akan segera d mulai
hm
lanjut
haruskah