Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: Beradaptasi
Setelah sarapan cepat, Stefany dan Clara berjalan menuju kampus. Udara pagi menggigit kulit, napas mereka terlihat seperti asap putih di udara dingin. Gedung-gedung kampus menjulang modern dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya matahari pucat.
Mahasiswa dari berbagai negara terlihat berjalan cepat, beberapa mengenakan jaket tebal dan syal warna-warni. Stefany memperhatikan wajah-wajah asing itu, merasa dirinya seperti titik kecil di tengah dunia yang begitu luas.
Di aula utama kampus, mahasiswa baru sudah berkumpul untuk orientasi. Seorang dosen senior berdiri di podium, mengenakan jas rapi. Suaranya lantang tapi ramah.
“Selamat datang di universitas kami,” ujarnya dalam bahasa Inggris yang fasih. “Kalian semua datang dari berbagai belahan dunia. Di sini, kalian bukan hanya akan belajar ilmu pengetahuan, tapi juga tentang persahabatan, budaya, dan kehidupan.”
Pagi di Jakarta terasa berbeda bagi Pak Arman sejak kepergian Stefany ke Jerman. Rumah besar bergaya Eropa itu kini sunyi. Biasanya, Stefany akan turun dari tangga dengan rambut yang masih basah karena mandi, tersenyum sambil berkata, “Pagi, Ayah.”
Sekarang, yang terdengar hanya suara burung di halaman dan bunyi mesin kopi otomatis di dapur.
Pak Arman duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih rapi meskipun belum ada rapat pagi itu. Sebuah tablet di tangannya memperlihatkan pesan-pesan dari Stefany di Jerman.
Stefany:
Ayah,Hari ini aku sudah orientasi kampus.
Pak Arman membaca pesan itu pelan-pelan. Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia meraih ponselnya, merekam pesan suara.
Pak Arman:
“Selamat ya, Stefany. Ayah bangga sekali. Jaga kesehatan di sana. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang ke Ayah. Meskipun jauh, Ayah selalu ada buatmu.”
Ia mengirim pesan itu, lalu meletakkan ponselnya di meja. Sejenak ia memejamkan mata, menghela napas panjang.
Di luar, dunia melihatnya sebagai pengusaha sukses. Di dalam rumahnya sendiri, ia hanya seorang ayah yang ditinggal anak semata wayangnya ke negeri jauh.
Tak lama kemudian, telepon rumah berbunyi. Asisten rumah tangga yang menjawab lalu menyerahkannya pada Pak Arman.
“Pak, ini pak Boris,” katanya singkat.
Pak Arman mengangguk, menerima gagang telepon.
“Ya, Boris?”
Suara di seberang terdengar tenang tapi serius. “Pak, ada laporan dari pelabuhan. Anak buah Surya mulai memungut pajak di jalur kita. Sepertinya dia sengaja memancing masalah.”
Pak Arman mengerutkan kening. Sekilas ia melirik foto Stefany di ruang tamu. Senyum di foto itu seperti menahan amarahnya supaya tidak meledak.
Beri aku waktu sampai malam. Kita rapat di vila,” jawabnya datar.
“Baik, Pak.”
Telepon ditutup. Seketika itu juga, ekspresi Pak Arman berubah. Tadi ia ayah yang penuh kasih, sekarang mata dinginnya kembali seperti pemimpin mafia yang disegani.
Siang harinya, Pak Arman duduk di ruang kerjanya. Beberapa dokumen perusahaan propertinya terbuka di meja. Ia harus menandatangani kontrak dengan investor asing minggu depan.
Seorang sekretaris masuk membawa laporan keuangan.
“Pak, ini data untuk rapat direksi besok,” ujarnya.
Pak Arman menerima laporan itu tanpa banyak bicara. Dari luar, semua terlihat normal: perusahaan besar, bisnis properti maju, proyek pemerintah berjalan lancar.
Tak ada yang curiga bahwa sebagian dana pembangunan itu berasal dari jalur gelap yang hanya diketahui segelintir orang.
Namun, pikirannya bukan pada laporan itu. Ia memandangi layar ponselnya lagi. Ada pesan baru dari Stefany:
Stefany:
Ayah, tadi aku kenalan sama teman sekamarku, namanya Clara. Sepertinya dia baik sekali. Ayah nggak usah khawatir, aku bisa jaga diri di sini.
“Bagus kalau begitu. Ayah senang mendengarnya. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup.”
Tangannya berhenti di atas layar ponsel setelah mengirim pesan itu. Dalam hati, ia berkata pada dirinya sendiri, Aku melakukan semua ini demi kamu, Stefany. Supaya masa depanmu aman. Supaya kamu tidak tahu dunia gelap yang kujalani.
Malam menjelang. Vila pribadi di pinggiran kota sudah dipenuhi beberapa orang kepercayaan Pak Arman. Lampu-lampu temaram membuat suasana semakin tegang.
Boris, tangan kanan Pak Arman, menyambutnya begitu ia tiba.
“Semua sudah berkumpul, Pak,” ucap Boris.
Pak Arman melangkah masuk. Di dalam, beberapa pria berjas hitam berdiri menghormati kedatangannya.
“Duduk,” perintah Pak Arman. Suaranya tenang tapi mengandung wibawa yang tak bisa ditolak.
Mereka semua duduk. David memulai laporan.
“Surya sudah memungut pajak di dua jalur pelabuhan. Katanya kalau kita tidak ikut aturan dia, pemasok akan dialihkan ke pihak lain. Sepertinya dia ingin menguasai wilayah kita.”
Pak Arman mengetuk meja pelan. “Dia pikir dia siapa?”
“Sejak keluar dari kelompok kita tahun lalu, dia membangun geng sendiri. Sekarang dia mulai melawan,” jelas Boris.
Seorang pria lain menimpali, “Mungkin kita harus memberi peringatan, Pak. Supaya dia tahu siapa yang berkuasa di sini.”
Pak Arman terdiam lama. Pikirannya melayang ke Stefany di Jerman. Aku harus menyelesaikan ini cepat dan bersih. Stefany tidak boleh tahu apa pun.
Akhirnya ia berkata pelan tapi tegas, “Beri dia satu kesempatan. Kalau dia masih melawan, baru kita bertindak.”
Semua orang mengangguk. Keputusan Pak Arman selalu final.
Rapat selesai menjelang tengah malam. Pak Arman kembali ke rumah. Ia duduk sendirian di ruang tamu yang gelap, hanya diterangi lampu kecil di pojok ruangan.
Di meja, foto Stefany tersenyum memandangnya.
“Kalau saja kamu tahu, Nak,” gumamnya pelan. “Kalau saja kamu tahu apa yang ayah lakukan demi masa depanmu.”
Suara televisi di ruang sebelah melaporkan berita ekonomi: nilai investasi properti meningkat, perusahaan Pak Arman disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang terbesar pembangunan kota.
Tak ada yang tahu bahwa di balik layar, perang wilayah mafia sedang bersiap meletus.
Pak Arman memejamkan mata. Bayangan Stefanus pemuda yang tanpa sengaja melihat rahasia gelapnya kembali menghantui pikirannya.
Untuk sesaat, ia merasakan penyesalan. Tapi bagi seorang pemimpin mafia, penyesalan hanya boleh sebatas itu tak pernah boleh mengganggu keputusan.
Keesokan paginya, pesan dari Stefany masuk lagi:
Stefany:
Ayah, hari ini aku kuliah. Doakan aku ya.
Pak Arman membalas cepat:
Pak Arman:
“Tentu. Ayah selalu mendoakanmu. Fokus pada kuliahmu, Nak. Jangan khawatirkan apa pun di sini.”
Tak ada yang tahu, pesan itu dikirim tepat sebelum ia menerima kabar bahwa Surya menantangnya secara terbuka di pelabuhan.
Di satu sisi, ia adalah ayah yang selalu mendoakan anaknya.
Di sisi lain, ia adalah pemimpin yang siap memerintahkan darah mengalir jika diperlukan.
Dan semuanya terjadi tanpa Stefany pernah tahu.
Malam itu, Jakarta berkilau dengan lampu-lampu gedung tinggi. Tapi di balik gemerlap kota, ada dunia gelap yang tak pernah tersentuh cahaya. Dunia itu adalah milik Pak Arman seorang pengusaha properti yang namanya sering muncul di media sebagai dermawan, pemimpin perusahaan sukses, dan orang terpandang. Namun, hanya segelintir orang yang tahu, di balik jas rapi dan senyuman hangatnya, ada tangan besi yang memimpin salah satu jaringan mafia terbesar di negeri ini.
Di vila pribadinya yang terletak jauh dari pusat kota, malam itu Pak Arman memanggil semua orang kepercayaannya. Boris, tangan kanannya yang sudah bersamanya lebih dari 15 tahun, memastikan keamanan rapat. Semua telepon genggam dititipkan di luar ruangan, jendela-jendela tertutup rapat, dan penjagaan diperketat.
Pak Arman duduk di kursi utama, mengenakan kemeja hitam sederhana, wajahnya tanpa ekspresi. Di sekeliling meja panjang, duduklah orang-orang yang menjadi tulang punggung operasinya: para pengatur jalur distribusi, kepala keamanan, dan beberapa penasihat keuangan yang juga bermain di dunia gelap.