Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMBALAS UTANG DAN KEPERCAYAAN SEMENTARA
Rendra. Sosok yang seharusnya menjadi representasi paling sempurna dari Oligarki kampus—efisien, terstruktur, dan tidak toleran terhadap elemen yang merusak citra—kini berdiri di antara aku dan tiga penagih utang berjaket kulit.
Aku merasakan pergeseran kekuasaan yang tajam di udara parkiran yang dingin. Para penagih utang, yang baru saja terlihat sangat mengancam, kini terlihat ragu-ragu. Mereka tahu bahwa berurusan dengan Ketua BEM dari universitas elit bisa membawa masalah yang jauh lebih besar daripada sekadar menagih utang Rp.12.000.000
“Apa urusanmu, Nak?” tanya pria yang paling besar, nadanya kini lebih berhati-hati.
Rendra tidak menjawabnya. Ia melangkah mendekatiku, seolah-olah dia adalah dinding beton. Matanya yang tajam dan dingin tidak pernah lepas dari wajah ketiga pria itu.
“Ini adalah area properti universitas,” ujar Rendra, suaranya rendah namun penuh otoritas.
“Gangguan terhadap ketertiban dan keamanan mahasiswa akan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Saya tidak peduli siapa bos Anda atau berapa utang yang harus diselesaikan Nasywa. Semua transaksi di kampus ini harus melalui prosedur yang telah ditetapkan. Jika Anda ingin berurusan dengannya, ajukan surat resmi ke administrasi dan saya akan memfasilitasi pertemuan yang terstruktur. Sekarang, keluar.”
Pria besar itu mendengus. “Kami tidak punya waktu untuk birokrasi, Ketua BEM. Kami hanya melakukan pekerjaan kami.”
“Dan saya sedang melakukan pekerjaan saya,” balas Rendra, menyilangkan tangan di dada.
“Pekerjaan saya adalah memastikan bahwa tidak ada pihak luar yang merusak citra kampus saya. Kegagalan Nasywa adalah urusan internal yang akan kami selesaikan secara internal. Saya tidak butuh intervensi preman yang tidak berpendidikan.”
Pria itu tampak marah, namun tatapannya beralih ke belakang Rendra, di mana lampu-lampu keamanan di ujung parkiran mulai berkedip, seolah-olah ada seseorang yang siap menekan tombol darurat. Rendra telah memperhitungkan setiap langkah.
“Baiklah, Nasywa. Kami akan kembali. Tapi waktu Anda hanya sampai besok siang,” ancam pria itu, sebelum berbalik dan pergi dengan cepat bersama dua rekannya, meninggalkan bau rokok dan kegelisahan.
Keheningan kembali menyelimuti kami. Aku masih berdiri di sana, memproses fakta bahwa aku baru saja diselamatkan oleh musuh bebuyutan Amara. Rendra menoleh, ekspresinya kembali datar, seolah-olah dia baru saja mengusir kucing liar.
“Kenapa?” tanyaku, memecah keheningan. Pertanyaan itu lugas, tanpa basa-basi.
Rendra mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa apa? Kenapa saya melindungi aset universitas dari ancaman luar?”
“Jangan gunakan retorika BEM padaku, Rendra,” balasku.
“Kamu baru saja mendengar argumenku di kelas Ilmu Politik. Kamu tahu aku membenci fasad efisiensi yang kamu jual. Kenapa kamu mengganggu urusan pribadiku? Apakah kamu takut jika aku benar-benar diculik, itu akan mengganggu jadwal rapat mingguanmu?”
Rendra tertawa kecil, tawa tanpa emosi. “Nasywa, kamu terlalu memandang dirimu sebagai pusat semesta. Kamu benar, saya membenci fasadmu. Tapi saya lebih membenci ketidak-efisienan. Kamu adalah anomali yang saya perhatikan. Jika kamu gagal, saya ingin kamu gagal di tangan saya, di bawah pengawasan sistem kampus, bukan di tangan lintah darat di parkiran remang-remang.”
Aku berjalan mendekat, menatap matanya. “Jadi ini tentang mempertahankan kendali?”
“Tentu saja. Semua tentang kendali. Itulah esensi kepemimpinan. Kamu, Nasywa, dengan segala utang dan IPK-mu, adalah bukti nyata dari kegagalan struktural kampus ini, seperti yang kamu katakan. Tapi selama kamu masih terdaftar sebagai mahasiswa, kamu adalah tanggung jawabku, dalam batas tertentu,” jelas Rendra, suaranya terdengar seperti membaca pasal-pasal peraturan.
“Itu kontradiksi, Rendra. Kamu menyelamatkanku, tetapi pada saat yang sama, kamu ingin aku gagal?”
“Saya ingin kamu bermain adil. Saya ingin kamu bertarung dalam Debat Internal yang saya selenggarakan, bukan menghilang karena masalah debit buruk yang remeh. Saya perlu mengalahkanmu secara intelektual, bukan melihatmu dirobohkan oleh preman. Itu tidak bermartabat.”
Kata 'bermartabat' dari mulut Rendra terasa sangat ironis.
“Martabat? Kamu bicara tentang martabat setelah membiarkan Guntur menggunakan skandal pribadiku sebagai serangan ad hominem di depan dosen? Bukankah itu juga sebuah intervensi yang tidak bermartabat?” tanyaku tajam.
Rendra menghela napas, gestur pertama yang menunjukkan dia mungkin sedikit terganggu.
“Guntur bertindak di luar skenario yang saya tetapkan. Dia terlalu emosional. Tapi kamu... kamu membalikkan argumen itu dengan cerdik. Kamu mengubah kegagalanmu menjadi senjata filosofis. Itu adalah kekuatan yang saya hargai, bahkan jika saya tidak menyukai hasilnya.”
“Kamu mengawasi setiap langkahku, kan?” tanyaku, kini lebih yakin. “Bagaimana kamu tahu aku ada di sini, di parkiran, tepat ketika mereka datang?”
Rendra tersenyum tipis, kali ini senyum yang terasa lebih superior daripada dingin. “Saya Ketua BEM, Nasywa. Saya tidak mengandalkan 'Fokus Absolut' dari sistemmu. Saya mengandalkan data real-time, jaringan informasi, dan efisiensi. Setelah perdebatanmu dengan Guntur, saya tahu kamu menjadi target yang lebih menarik. Saya hanya meminimalkan risiko.”
Dia telah membenarkan diriku: Rendra adalah penjaga sistem yang sangat efektif. Dia melihat Kinara/Amara sebagai variabel tak terduga yang harus dia monitor.
“Terima kasih, Rendra,” kataku, merasakan kata-kata itu aneh di lidahku. “Tapi jangan anggap ini sebagai aliansi.”
“Jangan khawatir. Kita masih musuh. Saya hanya memastikan musuh saya tetap sehat untuk pertempuran mendatang,” Rendra mengangguk formal.
“Sekarang, urus utangmu. Jangan biarkan masalah sepele ini mengganggu jadwal kuliahmu. Itu tidak efisien.”
Rendra berbalik dan berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Kehadirannya menghilang secepat dia muncul, meninggalkan aku dengan pikiran yang berkecamuk. Rendra adalah Target 2, yang seharusnya otoriter dan menghancurkan. Tapi ia baru saja menyelamatkan misiku. SPU (Sistem Pengendali Universitas) pasti memiliki lapisan yang lebih rumit daripada yang terlihat.
Aku kembali ke kamar sewaku. Waktu tenggat dari penagih utang yang diundur Rendra hanya sampai besok siang. Aku harus tahu apakah esaiku menang.
Aku menyalakan laptop. Jemariku gemetar saat aku membuka email. Aku mencari folder spam dan kotak masuk, hingga akhirnya, sebuah email dari Divisi Kompetisi Mahasiswa muncul.
Judulnya: PENGUMUMAN PEMENANG LOMBA ESAI NASIONAL.
Aku menahan napas. Kinara berdoa agar kritisisme yang aku tuangkan dalam esai itu—yang membongkar hipokrisi lomba itu sendiri—tidak menjadi bumerang.
Aku membuka email itu. Aku memindai nama-nama. Guntur, si anak BEM, ada di Peringkat ke-5. Serena, saudara angkatku (dan Target Antagonis Utama), tidak ada di daftar itu. Bagus. Setidaknya aku tidak harus bersaing dengannya sekarang.
Aku mencari Peringkat Pertama. Mataku terbelalak.
[Peringkat 1: Amara Nasywa. Judul: Peran Mahasiswa dalam Membangun Ekosistem Bisnis yang Etis: Sebuah Dekonstruksi Meritokrasi Korporat.]
Aku berhasil. Esai yang membongkar korupsi berhasil memenangkan lomba yang didanai korupsi. Ironi yang manis. Hadiah uang tunai Rp 10.000.000 akan segera ditransfer ke rekeningku.
Aku segera membuka aplikasi perbankan, dan benar saja, dana sudah masuk. Aku langsung mentransfer Rp 12.000.000 (termasuk denda) ke rekening pinjaman online Amara.
Dalam hitungan detik, notifikasi sistem muncul.
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
Misi Minor Selesai: Melunasi Cicilan Utang Pertama. Kepercayaan Sistem terhadap Kinara meningkat +30%. Kredit Amara Nasywa meningkat menjadi 'Netral'. Selamat, Kinara. Anda telah melangkah keluar dari jurang debit buruk yang menenggelamkan Amara.
Aku menghela napas lega yang panjang. Beban itu terangkat, tidak hanya dari pundak Amara, tetapi juga dari jiwa Kinara. Untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit stabil di dunia transmigrasi ini.
Kini, perhatianku kembali ke misi utama: Mendapatkan nilai A dari Pak Arka (Target 1) dan mempersiapkan Debat Internal melawan Rendra (Target 2).
Setelah merapikan barang-barangku, aku memutuskan untuk tidur. Aku membaringkan tubuh Amara di kasur yang sudah lusuh. Pandanganku tertuju pada dinding di samping meja belajar Amara. Dinding itu dipenuhi poster-poster band rock lama dan beberapa coretan motivasi yang setengah hati.
Namun, di balik salah satu poster band yang besar, aku melihat ada yang janggal. Poster itu sedikit terkelupas di sudutnya. Kinara, didorong oleh insting, mengupas poster itu sepenuhnya.
Di balik poster itu, tersembunyi sebuah lubang kecil di dinding, disamarkan dengan sempurna. Aku merogohnya. Jantungku berdetak kencang.
Tanganku menyentuh sesuatu yang keras dan dingin. Aku menariknya keluar. Itu adalah sebuah buku kecil bersampul hitam, dengan penguncian gembok kecil yang berkarat.
Sebuah buku harian.
Ini bukan buku harian yang aku cari, yang mungkin menyimpan informasi tentang skandal judi Amara. Buku ini terlihat jauh lebih tua, jauh lebih personal. Buku harian yang mungkin berisi rahasia Amara yang sebenarnya—sebelum dia menjadi Antagonis Terbuang.
Mungkinkah ini adalah petunjuk kecil tentang masa lalu Amara dan alasan dia hancur (sebelum Serena memanipulasinya)? Aku harus membukanya. Namun, gembok itu membutuhkan kunci.
Kinara memegang buku harian itu. Kepercayaan diri yang kudapat dari kemenangan esai dan intervensi Rendra tadi mulai memudar, digantikan oleh rasa penasaran yang mendalam.
Aku membalik buku itu perlahan. Di halaman belakang, tertulis beberapa huruf yang diukir menggunakan pisau tajam:
“T-I-T-I-K N-O-L.”
Titik nol. Awal kehancuran Amara, atau titik awal Kinara untuk menemukan kebenaran?