Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baper
"Diam dan kencangkan sabuk pengamanmu saja!" tandas Xav dengan nada ketus.
Eireen memanyunkan bibir. Tapi ia menurut, mengencangkan sabuk pengamannya. Baru setelah itu Xav mulai membuat mobil mereka meliak-liuk di jalanan.
Tahu jika laki-laki itu menunggunya aman sebelum bertindak begitu, Eireen jadi semakin kesal. 'Kenapa ucapannya dingin sekali, tapi juga perhatian sekali? Dasar, jangan-jangan dia punya kepribadian ganda lagi, hih!'
'Harusnya kan kalau dingin-dingin saja, jangan perhatian segala. Buat orang baper saja!' imbuhnya dalam hati sambil masih melirik laki-laki di sebelahnya.
Xav sendiri masih fokus menghilangkan jejak mobil mereka. Motor yang mengikuti di belakang pun kewalahan sendiri.
"Ambil kanan pertigaan sebentar lagi. Jalan di sana lebih sepi, dan banyak gang untuk mobil menyelinap," kata Eireen.
Xav tidak menyahut sama sekali, tapi mengikuti arahannya. Eireen jadi senang, tersenyum tipis, ya setidaknya, ia masih didengarkan.
Lantas, sadar jika dia mulai senyam-senyum tidak jelas, Eireen menggelengkan kepala berkali-kali, menyadarkan diri. 'Gila-gila, kenapa kau semakin gila saja, Eir?! Ok, jangan kelewatan, kau tidak mungkin dengannya, tidak mungkin, paham?!'
Xav yang melirik sekilas ke arahnya jadi heran sendiri. 'Dasar gadis gila!'
Tidak mau terlalu larut memperhatikan gadis gila, Xav mengalihkan pandangan, kembali fokus untuk mengelabui orang yang mengikuti mobil mereka.
Ia manfaatkan gang-gang ruko untuk menghilangkan jejak, seperti kata Eireen. Berkat itu, mereka bisa lolos dari si penguntit.
"Mau kemana sih?" tanya Eireen masih penasaran.
Xav tidak menjawab.
"Aku itu bertanya, biar bisa memberimu alternatif jalan lebih cepat dan aman. Memang kau itu tidak dibaik-baikkan ya jadi orang?"
Xav tetap membisu. Ekspresinya tidak berubah sama sekali pula, Eireen sudah seperti bicara dengan dinding saja.
"Ck. Terserahlah!" ucapnya ketus, mengalihkan pandangan ke jendela samping.
Suasana mobil itu benar-benar seperti kuburan. Eireen yang tidak terlalu suka suasana sepi segera menekan tombol dekat kemudi, hingga sebuah lagu mulai terdengar.
Xav lagi-lagi tidak bereaksi apa-apa, benar-benar seperti robot saja. Kesal diabaikan, Eireen sengaja sekali bernyanyi keras-keras.
Sayang, Xav tetap tidak merespon, seolah tidak terganggu. Padahal, diam-diam laki-laki itu juga kesal, karena gadis di sebelahnya tidak bisa diam.
Masalahnya, kalau dia terpancing, Eireen akan semakin tidak bisa diam, makanya Xav tahan-tahan.
Beruntungnya, telepon genggam Eireen berbunyi. Gadis bermata abu-abu kebiruan itu menghentikan nyanyian, bahkan mematikan musik dan menerima panggilannya.
"Ehm?" tanyanya kepada orang di ujung sambungan telepon.
Suara Joey terdengar. "Bagaimana? Aman? Kau tidak jawab pesanku dari tadi."
"Ck. Iya, aman. Mereka bahkan sudah berlutut, puas sekali."
Xav diam-diam mencuri dengar percakapan gadis itu, sambil masih mengawasi sekitar.
Eireen tidak menyinggungnnya sama sekali kepada kenalannya. Bahkan, ia menebak, saat Eireen kesal sendiri tidak mau menyebut siapa yang datang ke resepsi bersamanya.
"Ah sudahlah, kau cerewet sekali. Sampai jumpa nanti malam saja. Aku traktir, kita makan besar. Bye!"
Panggilan berakhir, Eireen mulai melirik lagi ke samping. "Aman. Aku tidak akan menyebut namamu. Tapi... kalau sampai Keluargamu tahu dari Menteri itu, awas saja kalau kau tidak membelaku!"
Jangankan menjawab, sekalipun Xav tidak menoleh. Masa bodoh, Eireen bersedekap tangan, memejamkan mata. "Ah terserahlah, bangunkan aku kalau sudah sampai!"
Tidak berselang lama, mobil sudah melambat.
'Apa sudah sampai? Kenapa tidak bilang kalau sudah dekat tadi? Dasar!' batin Eireen menerka-nerka, masih menutup mata.
Ia bisa merasakan mobil itu memasuki area gedung, bahkan bunyi mesin di area parkir terdengar.
Ia bertahan, mau menunggu Xav bicara untuk membangunkannya. Tapi, saat mobil sepenuhnya berhenti, tidak kunjung juga terdengar suara.
'Jangan-jangan dia langsung pergi begitu saja lagi?!' batin Eireen.
Tidak ada suara, saking kesalnya, ia pun membuka mata. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba pintunya terbuka.
Eireen menoleh. Xav akhirnya bicara. "Cepat keluar!"
"Ha? Buat apa keluar? Aku bisa pindah ke kursi sebelah..."
"Cepat, bawa barang-barang pentingmu juga!"
Xav menyela kemudian beranjak pergi begitu saja.
"Hah? Apa sih? Kenapa pakai bawa barang..."
Perkataan Eireen tercekat, saat melihat laki-laki itu membuat sebuah mobil berbunyi di depan sana.
Xav bahkan mengemudikan mobil itu, membawanya ke dekat mobil Eireen.
"Apa dia mau aku bertukar mobilku dengan miliknya?" ucap Eireen, mengambil telepon genggamnya.
Saat ia beranjak keluar dari mobil, Xav melemparkan sebuah kunci kepadanya. "Bawa itu!"
Kunci sudah di tangannya tapi Eireen masih protes. "Buat apa? Aku lebih suka mobilku!"
"Itu mobil lebih bagus dan jauh lebih mahal dari ini!" Xav menendang kecil ban mobil Eireen.
"Tetap saja, aku lebih suka..."
"Kalau masih mau hidup, pakai mobilku!" sela Xav sambil membuka pintu mobil Eireen bagian kemudian.
Eireen mengernyit. "Apa dia mengkhawatirkanku?"
"Tidak!" Xav tidak biasanya langsung menyahut begitu.
Eireen justru melirik sambil tengil. "Oh.... iya sih. Laki-laki dingin kan diam-diam perhatian."
"Siapa? Jangan bicara omong kosong, sudah sana pergi!" Xav masuk ke dalam mobil, seolah menghindar dari bicara dengan gadis gila itu.
Sayang, Eireen yang mulai memahami perhatian laki-laki itu pun membuka pintu mobil.
"Apalagi?" tanya Xav kesal.
"Bagaimanapun, aku mau... mobilku ini kau kembalikan tanpa lecet sedikitpun!" jawab Eireen pura-pura, padahal modus saja, biar bisa ketemu Xav lagi.
"Heh. Kau itu harusnya terima..."
BRAK!
Eireen menutup pintu mobilnya, membuat perkataan Xav tercekat. Gadis itu tersenyum, melambaikan tangan, kemudian masuk ke dalam mobil satunya.
Xav menatap kesal, saat gadis itu melambai dari jendela. "See ya, Tuan Panda...! Jangan sampai lecet, awas saja!"
Mobil beranjak pergi, keluar dari area parkiran gedung itu. Xav geleng-geleng kepala. "Dasar gadis gila! Mimpi apa aku sampai berurusan dengannya?"
Berbeda dengan Xav yang luar biasa kesal, Eireen justru senang sekali. "Padahal perhatian, tapi tidak mengaku. Dasar... dasar...!"
"Biasanya laki-laki suka pencitraan. Ini dia beda sekali, memang aneh, tapi lucu. Argh apa sih?" Eireen segera menggelengkan kepala seolah mau menyadarkan diri.
Ia kemudian mobil itu dengan riangnya. Padahal, tadi dia dibuat kesal luar biasa oleh Xav. Entah kenapa ajaib, semudah itu moodnya berubah, hanya karena satu perhatiannya.
"Tapi.. dia akan baik-baik saja, kan?" Eireen mulai terpikir, karena Xav membawa mobil yang sempat diikuti orang begitu.
Di sisi lain, Xav juga sudah keluar dari area parkiran itu. Ia melihat sekitar, tidak ada yang mengikuti. Sengaja ia melewati area di mana penguntit tadi terakhir terlihat mengikuti, biar jadi pacingan dan Eireen tidak akan diikuti mereka.
Namun tidak ada juga kelihatan penguntitnya.
Ia segera menuju tempat lain untuk mengganti mobil dan menghilangkan jejak lagi.
Xav sudah sering dalam kondisi dikejar seperti ini. Jadi, bahkan setiap kota, ia punya mobil khusus, untuk dikendarai dan berganti-ganti.
Tidak, keluarganya tidak tahu, kecuali saudara kembarnya. Mengingat, itu rahasia mereka, kalau sedang ingin kabur dari ayah ibunya, untuk menikmati hidup seperti orang biasa.
Dalam perjalanan menukar mobil, semuanya berjalan dengan lancar untuk Xav. Tidak terlihat sedikitpun orang mengikuti, sehingga terasa aneh baginya.
Seperti punya insting, ia mulai gelisah menerka-nerka. 'Terlalu aneh. Masa iya mereka sungguhan se-amatir ini? Atau jangan-jangan ---'
Sementara itu Eireen masih dengan santai bernyanyi menikmati musik dan fasilitas mobil mewah yang dinaikinya.
Sampai dua puluh menit kemudian, ia tersadar sedang melewati area pinggiran laut, dimana dulu, ia ditemukan oleh Savero.
Jaraknya sekitar tiga puluh menit dari markas Kurir Dunia Gelap, di dekat pelabuhan sana.
Kalau lewat tempat itu, ia selalu saja menjadi melankolis. Eireen menghembuskan napas, kemudian menepikan mobilnya.
Ia turun dari mobil itu, duduk di pagar beton, yang membatasi area pasir pantai dan jalannya. Sepi, semilir angin berhembus, mengenai anak rambutnya.
Bohong kalau ia bilang sudah tidak peduli akan keluarganya. Ada rasa, setidaknya mau tahu, kenapa dia dibuang begitu oleh mereka.
Memang itu tidak pernah terucap dari bibir Eireen.
Tapi, saat memandang area laut dari tempat itu, matanya sudah lebih dari cukup mewakili betapa sakit hati karena terbuang tanpa tahu apa-apa itu masih menjelma tanya, entah kapan akan terjawabnya.
Lantas, ia jadi terpikirkan Savero, laki-laki yang bukan hanya menyelamatkannya di tempat itu, tapi juga menghidupinya.
"Oh iya, tadi Paman Savero tidak kelihatan dimana ya?" Eireen pun segera mengeluarkan telepon genggam, mau menghubungi.
Baru ia mau menekan nomor Savero, tiba-tiba saja nama kontak Pamannya itu muncul di layar telepon genggam.
Eireen tersenyum, mereka sungguhan seperti ayah dan anak punya firasat saling ingin menghubungi begitu.
"Ya, Paman?" sapanya dengan antusias.
Sayang, suara Savero terdengar seperti orang sedang dikejar-kejar, napasnya menderu, tidak stabil juga nadanya, seperti bunyi kasak kusuk dan terputus-putus. "E-Eir...!"
"Halo? Paman? Kenapa?" Eireen jadi panik sendiri.
"La-ri sembu --- DOR!"
Suara tembakan terdengar Eireen semakin khawatir, konsentrasinya terpecah. "Paman?"
Bersamaan dengan itu, ia mulai merasakan seperti ada orang yang berjalan di belakangnya.
Suara langkah kakinya tidak terdengar, seperti seorang Black Ass profesional yang bisa bergerak dalam diam.
Curiga, Eireen segera reflek menoleh ke belakang. Namun, laki-laki berpakaian serba hitam, dengan masker dan topi hitam sudah lebih dulu memukul tengkuk belakang kepalanya.
BUG!
Titik vital terkena telepon genggam Eireen terjatuh, tubuhnya limbung ditangkap oleh laki-laki berpakaian serba hitam tadi.
Dalam kondisi setengah sadar, ia masih berusaha melawan. Sayang, itu tidak berguna apa-apa. Laki-laki itu sepertinya benar-benar terlatih, mengani telak, membuatnya tanpa perlawanan berarti.
'Siapa? Apa mungkin Keluarga Alistair?' batin Eireen sebelum sepenuhnya kehilangan kesadaran. Bahkan Savero menyuruhnya lari juga sepertinya tadi.
Tubuh Eireen sudah dibopong oleh laki-laki tadi. Sebuah mobil yang dikendarai rekan laki-laki tadi sudah terlihat.
Eireen dibawa pergi dengan mobil itu. Entah apa yang terjadi, siapa yang menyerangnya kali ini?