Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 : Selamat jalan
Padmini tersenyum getir, menatap nanar – benar kata pak Daud, dalam tidurnya pun sang kekasih hati memanggil namanya.
Tidak lagi sanggup menahan rasa sesak, gadis yang kini telah berpakaian layak, cepat-cepat keluar dari dalam rumah sederhana itu.
Ayunan kakinya bukan berjalan melainkan berlari kencang. Setiap pijakan diiringi deraian air mata. Rasa sakit itu kian terasa dari luka semakin menganga.
“Aku membenci kalian! Biadab, brengsek, jahanam!” makinya masih terus berlari.
Hu huh huh! napasnya terengah-engah, keringat membasahi kening dan pelipis.
Padmini membungkuk, tangannya bertumpu di atas lutut. “Sialan kau Sumi! Sundari! Terkutuk lah kalian semua!!”
Rukmi mendengar caci maki itu, posisi Padmini sudah berada di perbatasan lembah. Wajah berekspresi datar tersenyum sinis, dia suka kala seseorang sudah memutuskan membalas dendam, dan mulai kehilangan jati dirinya.
“Pupuk lah terus, sirami rasa benci itu hingga menyerupai gunung angkara murka Padmini! Kelak bila tiba waktunya, hati nuranimu pun benar-benar mati!” Bibirnya menyuguhkan seringai culas.
***
Keesokan paginya.
“Ibuk! Bapak! Bangun, ada penyusup masuk ke hunian kita!” Sundari mengetuk pintu kamar utama, yang dulunya ditiduri juragan Pandu dan istrinya.
“Ada apa, Ndari? Ibuk masih mengantuk!” Sumi mencebik, dibelakangnya sang suami berdiri dengan mata setengah terpejam.
“Ikut aku, Buk! Bang Bambang tadi sewaktu lari pagi – menemukan sesuatu di selep padi. Cepatlah!” titahnya tak sabaran.
Sumi dan Wandi mengikuti langkah sang putri menuju halaman belakang rumah.
“Lah kok, berantakan begini?” Mata mengantuknya langsung melotot sempurna.
Bambang keluar dari tumpukan karung berisi padi. “Ada penyusup masuk kesini, Buk! Sepertinya diantara kita ada yang telah berkhianat! Lihat saja itu!”
Wandi mengikuti arah jari telunjuk menantunya. “Peti apa itu?”
Mereka mendekat, dan langsung terkejut saat melihat dua lembar uang sepuluh ribu sobek jadi beberapa bagian.
“Siapa yang melakukan ini?!” Kepala Sumi langsung terasa panas, uang itu memiliki nilai tinggi. Mengapa dia tidak tahu?
Bambang menunjuk lubang dan juga kapak serta linggis. “Seseorang menggali tanah, sepertinya dia tahu betul dimana letak harta karun.”
“Kurang ajar! Siapa orangnya? Sialan kita rugi besar, harusnya harta dalam peti itu jatuh ke tangan kita!” Wandi meradang merasa dipermainkan dan di tipu.
“Mulai sekarang kita harus hati-hati, Pak, Buk! Jangan mudah percaya sama siapapun, meskipun sebelumnya telah bekerja sama. Buktinya harta milik Pandu bisa dirampok dan kita sama sekali tak tahu,” ujar Bambang tidak sopan menyebut nama ayahnya Padmini.
Sumi, Sundari tidak terima, mereka yang serakah tentu merasa rugi dikarenakan peti kayu itu lumayan besar, pasti dapat menampung banyak harta.
“Siapa kira-kira si pencuri itu?”
“Kemungkinan besar keluarga Nisda. Kan cuma dia yang sebelumnya leluasa keluar masuk hunian ini, apalagi si Rinda – ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.” Bambang berkata tanpa keraguan.
.
.
Mereka tidak tahu saja kalau perdebatan panas itu didengar dan lihat oleh Padmini.
“Saling serang lah kalian! Maka akan ada pertunjukan seru,” ia terkekeh, lalu air sungai tak lagi menayangkan apa yang terjadi di kediaman orang tuanya.
Padmini sengaja meninggalkan jejak untuk memancing emosi Sumi, dan membuat celah keretakan hubungan diantara keluarga Sundari dengan Rinda.
Bukan hal sulit mengacaukan pikiran para manusia serakah, tinggal suguhi sesuatu yang sangat mereka sukai pasti langsung terpengaruh. Uang, benda kertas itu sangat digilai Sumi, sampai-sampai dia tega membunuh sepupunya sendiri.
.
.
Sewaktu menjelang Maghrib – warga kampung Hulu diserang rasa kantuk luar biasa.
“Tak biasanya ada kabut tebal hampir membuat kita tak bisa melihat atap rumah tetangga. Mana mata ini berat betul, seperti di lem.” Seseorang mengusap-usap matanya hingga berair. Entah sudah berapa kali dirinya menguap, dan menggelengkan kepala.
Bruk!
Pemuda yang berjaga di pos ronda terjatuh dari bangku plastik. Tidak ada suara erangan kesakitan, malah terdengar dengkuran halus.
Setengah jam kemudian – minibus yang muat untuk dua belas penumpang, keluar dari area perkebunan lalu memasuki wilayah perumahan warga kampung Hulu.
Rahardi terlelap pulas di atas bangku yang sudah diatur seperti ranjang. Pria itu jatuh tertidur setelah air minumnya ditetesi obat tidur dosis lumayan tinggi.
Bu Halimah dan juga pak Daud masih bungkam, tidak memberi tahu Rahardi kalau mereka hendak keluar dan pergi jauh.
Sengaja menyembunyikan sampai tujuan yakni rumah sakit ibu kota provinsi baru akan mengatakannya.
Sepanjang jalan yang dilewati mobil – bulu kuduk bu Halimah meremang. Netranya menatap banyaknya orang bergelimpangan, tertidur di halaman berbatu, ada juga teras rumah. Kemudian dirinya nyaris memekik ….
“Jangan dilihat, Buk! Pura-pura tak tahu saja.” Pak Daud menoleh ke belakang, menata wajah sang istri yang pucat pasi.
“Apa Padmini ikut kemari, Pak?” tanyanya pelan sekali. Matanya tidak bisa beralih dari para makhluk halus dengan wujud mengerikan tengah berdiri di sisi jalan, duduk di atap rumah warga, ada juga yang bergelantungan di dahan pohon tahunan.
“Itu dia!”
Bu Halimah memajukan badan agar dapat melihat jelas arah dagu suaminya.
“Jangan dibuka kaca jendelanya! Tak semua yang berada di luar sana bisa diajak kerja sama. Apalagi kita membawa orang sakit dan bau amisnya sangat kental, bisa-bisa makhluk tak kasat mata itu menyerbu mobil ini!” Sang sopir memperingati.
“Padmini ….” bisiknya, dipandanginya nanar gadis berbusana longgar pemberiannya. Di samping putrinya mendiang Pandu – ada sosok beraura menyeramkan.
Rukmi dan Padmini – berdiri ditepi jalan tepat di bawah tugu. Tempat dimana dulu Sarman dan Rido hendak melakukan aksi bejatnya.
Tin!
Tin!
Pak sopir membunyikan klakson, laju mobil nya dilambatkan.
Telapak tangan Padmini melambai. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun selain datar. ‘Selamat jalan Kang. Ku harap engkau dapat menemukan rumah baru bagi hatimu agar tak lagi kesepian, dan engkau pun memiliki teman berbagi segala hal.’
Mobil hitam sudah melaju jauh, lampu belakangnya terlihat mengecil.
Rukmi melakukan sesuatu. Membaca mantra agar pengaruh sihirnya melemah lalu sirna.
"Padmi, kau sudah bisa menjalankan rencanamu tanpa perlu lagi memikirkan mereka yang berbaik hati membantumu. Rahardi, dan pasangan suami istri itu telah aman, siap melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang ketakutan akan menghakiman atas kejahatan yang tak pernah mereka lakukan."
"Kau benar Rukmi. Terima kasih atas bantuanmu! Sekarang aku ingin masuk ke tahap awal membalas penduduk terkutuk kampung Hulu ini!" kata-katanya sarat dendam.
***
Saat malam memasuki waktu dini hari, gadis cantik itu bukannya tidur, tapi sibuk membaca mantra guna menjalankan rencana balas dendamnya.
Padmi duduk di batu yang sebelumnya teredam air dan tempat eksekusi Kirman.
Bunyi burung hantu terdengar nyaring, bau kemenyan dan dupa bercampur dengan aroma bunga segar.
Suara api membakar arang di tungku tanah liat memenuhi indera pendengaran Padmini. Ketika merasakan aura aneh yang mengelilingi tubuhnya, ia langsung menyeringai, dan memfokuskan pikirannya.
Tawa Padmini melengking bertepatan dengan itu dia mendengar bunyi kentongan, suara jeritan putus asa.
"Tolong! Anak gadisku kesurupan!"
"Nak! Kau dimana? Jangan buat kami takut!"
.
.
Bersambung.
Bab ini di jamain readersmu mules semua ,mata berkaca kaca, gigi kering kebanyakan ngakak...
wes angel ....angel tenan nebak jalan pikiran thor Cublik ..
henhao ....joss gandos tenan.