Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Rumor
Langit ibukota hari itu cerah, tetapi suasananya jauh dari tenang.
Matahari yang hangat menimpa genting-genting merah dan jalanan berbatu yang ramai. Namun, di setiap sudut kedai teh, warung kecil, bahkan restoran kelas menengah, hanya ada satu topik pembicaraan yang menggelinding lebih cepat daripada roda kereta kuda: skandal Putri Agung Fangsu dan Tuan Muda Kedua An.
“Aku melihatnya sendiri!” Suara seorang pelayan kedai teh memecah keramaian. Ia berdiri di tengah, memegang teko, sementara puluhan pasang mata menatap penuh antusias.
“Kereta keluarga An berhenti di depan gerbang kediaman putri. Saat tirai disibakkan, Sang Putri turun dengan rambut acak-acakan, pakaian miring, wajahnya memerah. Dan siapa yang turun lebih dulu? Siapa lagi kalau bukan Tuan Muda Kedua An!”
Beberapa pengunjung bersorak kecil, ada pula yang menutup mulutnya dengan kipas, pura-pura terkejut padahal jelas menikmatinya.
“Benarkah mereka… melakukan itu di dalam kereta?” tanya seorang saudagar gemuk sambil menyipitkan mata, nadanya penuh rasa ingin tahu.
“Apa lagi yang bisa menjelaskan mengapa Sang Putri nyaris jatuh dan Tuan Muda An menangkap pinggangnya begitu erat?” potong yang lain, suaranya penuh sindiran. “Kalau bukan karena terlalu lelah bersenang-senang, apa lagi?”
Gelak tawa pecah.
Mangkuk beradu, aroma teh bercampur kuah daging dan gosip menyebar lebih cepat dari angin.
Di restoran dua lantai yang tak jauh dari kedai, para tuan muda bangsawan juga sibuk membicarakan hal yang sama. Jendela terbuka, tirai sutra tipis bergoyang, sementara anggur dituangkan ke cawan giok.
"Meski reputasi Tuan Muda kedua An ini tidak terlalu bagus, tapi bermesraan dengan wanita di depan umum?" salah seorang tertawa keras. "Benar-benar keberanian tingkat dewa!" sindirnya.
"Apa kalian sudah dengar, katanya pernikahan ini diminta sendiri oleh oleh jenderal An!"
"Benarkah? Apakah Jenderal An bermaksud menjual putranya?" sambung yang lain dengan lirikan licik.
"Yang Mulia sangat menyayangi Putri Agung Fangsu, jika mengikatnya dengan cara itu, maka keluarga An akan menjadi pilar paling kuat di masa depan."
Gosip semakin liar.
Ada yang membumbui dengan detail yang tak pernah terjadi, ada pula yang menambahkan nama-nama pejabat besar yang sama sekali tak terkait.
Dan di salah satu sudut restoran lantai dua, Liu Yuan, putra Menteri Liu, hanya duduk kaku.
Cawan di tangannya hampir terjatuh.
Jantung Liu Yuan berdetak kencang, seakan setiap kata yang terlontar menusuk telinganya.
Changyi dan Sang Putri? Mustahil.
Temannya itu, meski keras kepala dan sedikit nakal, dia bukanlah pria yang akan kehilangan kendali dalam situasi semacam itu.
“Kenapa wajahmu pucat?” Salah seorang pemuda menepuk bahu.
“Kau juga mendengar gosip itu? Katanya mereka berdua bahkan—”
“Omong kosong!” Liu Yuan menahan, suaranya lebih keras dari yang dimaksudkan.
Beberapa orang di meja terdekat menoleh, membuatnya segera menurunkan nada. “Aku hanya… tidak percaya gosip yang tak jelas sumbernya.”
Akan tetapi, hatinya tetap goyah.
Dia mengenal baik An Changyi, meski dia sering berkeliaran di rumah hiburan, hal paling keterlaluan yang dia lakukan hanya mengundang pelacur untuk menonton tarian atau mendengarkan lagu.
Ia meneguk anggurnya dalam sekali teguk, tetapi rasa manis itu berubah getir.
Sementara itu, di Istana kekaisaran....
Lonceng istana berdentang, menandai berakhirnya sidang harian.
Para pejabat berbaris meninggalkan aula, jubah resmi berkibar-kibar tertiup angin. Uap dingin dari lantai batu naik perlahan, menambah kaku suasana.
Di halaman luas itu, Jenderal An Yuanzhen melangkah dengan wajah keras. Rambutnya yang mulai beruban berkilau samar di bawah cahaya matahari.
Seorang pejabat mendekat, senyumnya terlalu manis untuk disebut ramah.
“Jenderal An,” sapanya, suaranya cukup keras untuk ditangkap beberapa telinga di sekitarnya. “Langkah Anda sungguh… brilian.”
Kening An Yuanzen mengerut. “Apa maksud Tuan Jiang?”
Menteri Chen yang entah kebetulan atau tidak berdiri tak jauh darinya, menyeletuk dengan nada sinis, “Menjual Tuan Muda Kedua An kepada Putri Agung memang langkah yang brilian.”
“Bahkan kudengar,” Tuan Jiang menimpali dengan tawa kecil, “di dalam kereta, Tuan Muda An tak segan menunjukkan… bakatnya.”
Beberapa pejabat yang mendengar berdeham keras, sebagian tertawa menahan diri. Suasana kaku mendadak dipenuhi bisik-bisik.
Wajah Jenderal An memerah, entah karena malu atau marah. Tangannya mengepal, urat di pelipisnya menegang. “Tuan Chen, Tuan Jiang,” ucapnya berat, suaranya serupa gemuruh yang ditahan. “Jaga ucapan kalian.”
Tuan Jiang masih terkekeh. “Apa Tuan Jenderal tidak berani mengakuinya? Seluruh kota sudah tahu perbuatan baik Tuan Muda Kedua An.”
“Pantas saja,” Menteri Chen menambahkan dengan dingin, “hari ini Yang Mulia mendadak mengangkat Tuan Muda Kedua An sebagai pejabat tingkat empat. Rupanya, calon menantu kerajaan.”
Tuan Jiang mengangguk pura-pura bijak. “Mencari perlindungan adalah naluri manusia. Tidak ada yang salahnya. Hanya saja, beberapa orang melakukannya dengan cara lebih indah daripada yang lain.”
Sindiran itu menyebar cepat. Bisikan demi bisikan mengikuti langkah Jenderal An, menggema hingga ia meninggalkan halaman istana.
“Cari tahu apa yang terjadi pada An Changyi,” perintahnya dingin pada salah satu prajurit pengawal.
Gerbang kediaman keluarga An tertutup rapat ketika ia tiba. Tanpa menunggu pelayan, ia mendorong pintu dengan keras dan melangkah masuk.
An Changyi dipanggil lebih dulu sudah menunggu. Ia berdiri tegak, wajahnya tetap tenang meski jelas ada bayangan cemas di matanya.
Nyonya An menghampiri sang suami, wajahnya tampak cemas.
"Suamiku," katanya. Namun, Jenderal An hanya mengangkat tangannya, mencegahnya berbicara.
Jenderal An melihat An Changyi dari kaki hingga kepala kemudian berseru, "Berlutut!"
Suara benturan terdengar nyaring. An Changyi berlutut dengan punggung tegak.
“Changyi? Apa kamu tahu kenapa aku menyuruhmu berlutut?” Suara Jenderal An menggelegar, jarinya menunjuk lurus putranya.
An Changyi tertunduk, tatapannya tertuju pada sepasang sepatu ayahnya. "Aku ... tahu," jawabnya.
Jenderal An menaik napas panjang. "Changyi, sejak kecil kamu adalah anak yang pintar," ujarnya, "dan tidak mungkin kamu tidak mengerti konsekuensi tindakanmu."
"Ayah, gosip itu tidak benar. Aku hanya—"
"Jadi apa yang kamu lakukan?"
"...."
Jenderal An duduk di kursi utama, dia memijit keningnya dengan wajah muram.
“Apakah kau tahu,” katanya dengan suara rendah, “apa yang mereka katakan di luar sana? Tentangmu, tentang keluarga ini?”
Nyonya An menegang di tempat duduknya. Matanya bergerak gelisah, menatap bergantian antara suami dan putranya. Suaranya lirih, bergetar, ingin menengahi. “Suamiku… gosip itu pasti hanya omong kosong.”
“Kusir berkata kereta berguncang berkali-kali, terdengar suara benturan dan bisikan mesra. Bagaimana kau menjelaskan itu?” tanya Jenderal An, sedikit melunak. "Ada saksi dan bukti, meski itu tidak benar, siapa yang akan percaya?"
An Changyi terdiam.
Ingatan akan kejadian itu menyeruak, bagaimana ia menahan tubuh Putri. Harus diakui, tindakannya memang sedikit di luar batas.
"Apakah kamu tahu dimana salahmu?"
"Ya," jawab An changyi tanpa ragu.
Jenderal An terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Pergi. Terima sepuluh pukulan papan dan renungkan tiga jam di ruang leluhur."