"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Di atasnya, terbaring seorang pria tua dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.
Riko menghentikan langkah.”ada apa dengan mantan bapak mertuaku” gumam riko
Sejenak, ia hampir melangkah mendekat.
Bagaimanapun juga, pria itu pernah menjadi bagian dari keluarganya.
Namun, niat itu segera ia urungkan.
Tidak... kalau aku muncul di hadapannya sekarang, yang ada malah keributan. Itu nggak baik buat orang yang sedang sakit.
Riko menghela napas panjang. Bukan tidak peduli dengan kondisi mantan bapak mertuanya, tapi saat ini lebih baik menghindar daripada bertemu tapi malah membuat keributam dan sudah ada mantan ibu mertuanya juga, sudah ada yang mengurus dan tidak mungkin ferdi diabaikan begitu saja.
,,,
Wajah Rosidah pucat pasi.
Seseorang baru saja mengabari bahwa Ferdi—suaminya—ditemukan tergeletak di dekat mesin ATM, dan kini telah dibawa ke ruang IGD.
Jantung Rosidah berdegup kencang. Nafasnya tersengal. Panik merayap ke seluruh tubuhnya.
Jangan-jangan terjadi sesuatu... jangan-jangan Ferdi kenapa-kenapa…
Air matanya mulai menggenang.
Seharusnya aku tidak mendukung rencana suamiku menjual Melati.
Seharusnya aku menghentikannya…
Tapi rasa bersalah itu hanya sebentar.
Segera, pikirannya mencari kambing hitam.
Ini semua gara-gara anak sialan itu.
Andai saja anak itu tidak lahir, semuanya tidak akan serumit ini.
Alih-alih merenungi kesalahan sendiri, pikiran Rosidah terus bergulir, menyalahkan keadaan dan Melati—anak kecil tak berdosa yang seharusnya mereka lindungi. Malah disalahkan dengan kesalalahan yang tak pernah diperbuat oleh melati. Melati tak pernah minta dilahirkan melati lahir karena perpaduan laras dan doni.
Sementara itu, Doni sama sekali tidak peduli.
Laras benar-benar tidak mengizinkannya jauh dari sisi tempat tidur. Ia terus menuntut perhatian penuh, seolah dunia hanya berputar untuknya.
Rosidah merasa kesal.
Bagaimanapun, ia hanya seorang wanita tua—dan sekarang harus mengurus suaminya seorang diri.
Bolak-balik ke ruang administrasi yang jaraknya cukup jauh, tanpa ditemani siapa pun. Kakinya pegal, pikirannya penuh, dan hatinya remuk.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang IGD.
“Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” tanya Rosidah dengan suara gemetar.
Dokter itu menatapnya sebentar, lalu menjawab tegas, “Suami Anda terkena stroke. Bagian tubuh sebelah kanan tidak bisa digerakkan.”
Jantung Rosidah serasa berhenti berdetak.
Matanya membesar, mulutnya sedikit terbuka, tubuhnya goyah.
Ferdi suaminya adalah penopang hidupnya, dan sekarang Rosidah harus menyaksikan kalau ferdi sebagian badannya tak bisa digerakan karena stroke.
Rosidah menatap suaminya dengan hati yang hancur.
Ferdi terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Selang infus menancap di punggung tangannya, dan bibirnya tampak menyon. Bahkan untuk sekadar berbicara pun, suaminya kesulitan. Hanya gumaman pelan dan pandangan kosong ntah apa yang dipikirkan suaminya itu
Seorang perawat yang lewat menatap Rosidah dengan lembut.
"Ibu, jangan berikan beban pikiran pada pasien, ya," ucapnya pelan, penuh empati.
Rosidah hanya mengangguk, menahan air mata yang nyaris tumpah.
Namun dalam hatinya, pikiran buruk berkecamuk.
Bagaimana aku bisa menanggung semua ini sendirian?
Aku tak sanggup... sungguh tak sanggup...
Aku hanya wanita lemah yang ketergantungan terhadap suami. Ini semua ulah melati, melati memang pembawa sial, andai tidak ada melati tidak akan terjadi hal seoerti ini.
Ia menggenggam tangan Ferdi yang lemah, dingin, dan ferdi tak bisa bisa menggenggam balik; air mata menetes dari sudut mata ferdi
Saat melewati lorong menuju ruang perawatan kelas 1, Rosidah berpapasan dengan Riko.
Riko tampak berjalan tergesa, mungkin terlalu lelah atau terlalu tenggelam dalam pikirannya, sehingga tidak menyadari keberadaan Rosidah.
Rosidah berhenti sejenak.
Matanya menatap tajam ke arah punggung Riko yang menjauh.
Semua ini salah kamu, Riko. Andaikan kamu mau menyerahkan Melati begitu saja pada Ferdi, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Coba kamu serahkan Melati ke panti asuhan saja, atau kamu biarkan saja Melati, jangan kau urus. Anak di luar nikah itu pembawa bencana, malapetaka, dan kamu malah mau merawatnya.
Terus saja Rosidah menyalahkan keadaan. Bagi Rosidah, semua yang terjadi di luar dirinya adalah salah, dan kesalahan itu ada di Riko dan Melati.
ngin sekali Rosidah menerjang, memukul, memaki Riko. Semua yang terjadi karena Riko dan Melati. Andai saja Melati tidak ada, mungkin suaminya tidak akan kepikiran untuk menjual Mentari.
Rosidah mengurungkan niatnya. Belum saatnya membuat keributan. Yang jelas, dia sudah berniat akan menuntut balas kepada Riko dan Melati.
Rosidah kembali melangkah pelan, menelan amarahnya sendiri bersama rasa letih yang tak kunjung reda.
Namun, saat melewati kamar perawatan kelas 3, pandangannya sekilas menangkap sosok kecil di balik tirai putih yang setengah terbuka.
“Melati dirawat di sini,” gumam Rosidah. Tidak ada rasa empati sedikit pun. Yang ada adalah marah dan benci.
Rosidah berhenti sejenak. Dadanya sesak. Pandangannya tajam.
“Ini dia biang kerok semua kejadian yang menimpaku. Andai saja kau tidak ada, kamu tidak akan menyakiti anakku. Andai saja kamu tidak ada, suamiku tidak akan terbaring kena stroke. Aku akan membuat perhitungan denganmu.”
Setan memang selalu berbisik pada manusia marah. Orang marah kehilangan logikanya. Dengan niat yang kuat, Rosidah sudah menyusun rencana balas dendam pada Melati—balas dendam yang entah apa kesalahannya. Melati pun tidak tahu. Autor juga tidak mengerti dengan logika Rosidah.
Setibanya di ruang kelas satu, Ferdi ditempatkan di kamar yang sama dengan Laras—anak kandungnya.
Namun, saat tiba, pandangan Laras terasa dingin. Tidak ada raut khawatir sama sekali, padahal bapaknya terkena strok. Tidak ada pertanyaan, “Bagaimana keadaan Bapak?”
Laras malah tampak cekikikan saat Doni salah menyuapi Laras. Dunia seolah milik mereka, padahal ada bapaknya yang sedang terkena serangan stroke dan ibunya yang sedang panik, butuh penopang. Dan seharusnya Doni lah yang berperan, tapi kenyataannya Doni hanya diam.
Sementara itu, Ferdi yang baru saja mengalami stroke melihat dengan pandangan kosong ke langit-langit. Air matanya menetes, entah dia kesal atau dia menyesal. Mungkin kalau rencana menjual Melati akan berujung seperti ini, Ferdi tidak akan pernah merencanakan penjualan Melati.
Saat Doni hendak membantu perawat mengangkat tubuh Ferdi ke ranjang, Laras buru-buru menarik tangan Doni.
“Bang, kamu di sini, enggak boleh ke mana-mana. Ada perawat, enggak usah repot-repot,” ucapnya manja.
Sesak sekali Rosidah mendengar perkataan Laras, anaknya. Padahal, Ferdi kurang apa sama Laras. Rosidah selalu berdebat dengan Laras, dan Ferdi selalu membela Laras. Tapi saat Ferdi terbaring sakit, Laras sama sekali tidak peduli.
“Laras, kamu kurang ajar. Kamu sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayahmu, padahal kurang apa ayah kamu sama kamu,” maki Rosidah dalam hati yang tak mungkin dia ucapkan karena teringat ucapan perawat tadi: tidak boleh memberikan beban pikiran pada suaminya..