Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Kematian Arbelista.
Bab 18. Kematian Arbelista.
Malam itu, aroma daging panggang dan anggur hangat masih menggantung di udara ruang makan balai kota seperti ingatan yang enggan pergi. Tawa lepas Justus dan Rai Recaldo perlahan mereda, tergantikan oleh percakapan ringan yang lebih lembut, lebih akrab. Seolah kedamaian akhirnya bersedia singgah, setidaknya untuk sementara di kota yang terlalu lama dibayangi ketegangan.
Namun kedamaian itu koyak begitu pintu utama terbuka keras, disertai suara sepatu berderap cepat di lantai marmer. Seorang prajurit dengan napas memburu membungkuk dalam di hadapan Wali Kota Rai Recaldo. Di matanya ada ketakutan yang tak dapat disembunyikan. Di wajahnya terlihat jelas kebingungan yang nyaris menjadi kepanikan.
"Maaf mengganggu, Tuan Wali Kota!" suara prajurit serak, gemetar seperti daun di musim gugur. "Arbelista... Kesatria Suci... ditemukan tewas di ranjangnya. Lehernya... digorok."
Sunyi seketika menyelimuti ruangan seperti selimut tebal yang mencekik. Bahkan suara api dari perapian seolah enggan berkedip. Justus membatu, gelas anggur di tangannya bergetar. Amelia berdiri dari kursinya dengan gerakan kaku, napasnya tercekat di tenggorokan.
"Apa... katamu?" gumam Amelia sang Penyihir Agung Tingkat 3, suaranya nyaris putus. "Itu... tidak mungkin. Dia... dia hanya terluka ringan setelah bertarung!"
Viconia menutup mulutnya pelan-pelan dengan ujung jarinya, mata birunya melebar seolah kaget. Namun di balik sorot matanya, ada sesuatu yang tak ikut bergetar: ketenangan yang terlalu terlatih, terlalu sempurna untuk menjadi kebetulan. Seperti seorang aktor yang terlalu mahir memainkan perannya.
Hanya Jeno Urias yang tetap tenang di tengah badai emosi yang meledak. Tangannya menggenggam gelas anggur, mengamatkan percik keemasan di permukaannya tanpa berkata sepatah kata pun. Dalam dirinya, Sistem Yang Mustahil sudah terlalu sering memperlihatkan kebenaran yang lebih gelap di balik setiap kemenangan yang tampak gemilang.
Rai Recaldo berdiri tegap, bahunya terangkat seperti seorang panglima yang bersiap berperang. Suaranya kini berubah keras dan resmi, menggema dengan otoritas yang tak dapat dibantah. "Kita ke vila Arbelista. Sekarang."
------
Vila megah Arbelista berdiri angkuh di ujung jalan utama, dikelilingi prajurit bersenjata lengkap yang bergerak dalam formasi ketat. Namun yang paling mencolok bukan penjagaannya, melainkan kerumunan warga Kota Velden yang telah berkumpul seperti ngengat tertarik pada cahaya. Bisikan dan spekulasi melayang di udara seperti awan badai yang belum jatuh, menciptakan simfoni ketakutan dan kecurigaan.
"Siapa pelakunya?"
"Apa ini ulah Kerajaan Greaves?"
"Jangan-jangan... Jeno Urias?"
Nama itu diucapkan dengan nada yang menggigil, seolah memanggil iblis di kegelapan malam. Pada saat yang sama, Rai Recaldo datang bersama dengan Justus, Jeno, dan dua Penyihir Agung.
Kecurigaan menemukan jalannya ketika seorang prajurit veteran dengan bekas luka di pipi menunjuk ke arah Jeno dengan jari yang bergetar karena amarah. "Dialah penyebab semua ini!" tuduhnya dengan suara yang memecah keheningan. "Jika bukan karena kekalahan Arbelista di arena, ia takkan selemah itu! Jeno Urias telah mencoreng kehormatan seorang Kesatria Suci!"
Desis kemarahan mulai tumbuh seperti api yang diberi minyak. Sorak dukungan atas tuduhan itu merebak bagai bara dilempar ke ladang kering. Amelia Silverleaf menggertakkan giginya, jari-jarinya mencengkeram jubahnya hingga buku-buku jarinya memutih.
"Aku... aku tak bisa menepis kemungkinan itu," katanya pelan tapi tajam seperti pisau yang tersembunyi. "Kau terlalu kuat untuk disebut hanya sebagai pendatang biasa, Jeno. Terlalu misterius. Terlalu... berbahaya."
Rai Recaldo, yang sejak tadi menahan gejolak politik dan rasa bersalahnya sendiri, mengerutkan alis. Kerutan di dahinya semakin dalam, menunjukkan pergulatan batin seorang pemimpin yang terjebak di antara keadilan dan stabilitas.
"Jeno Urias," katanya dengan suara yang berat seperti batu nisan, "demi ketertiban kota, aku minta kau bersedia menjadi tahanan rumah selama penyelidikan. Ini bukan karena aku menuduhmu, tapi karena aku harus melindungi kota dari kekacauan."
Jeno melangkah ke depan dengan langkah yang mantap, menatap seluruh kerumunan dengan mata yang tak gentar. Ada api di dalam tatapannya, tapi bukan amarah, melainkan tekad yang tak tergoyahkan.
"Aku tidak bersalah!" teriaknya dengan suara yang menggema di antara dinding-dinding batu. "Jika aku ingin membunuh Arbelista, aku sudah melakukannya di arena, di hadapan semua orang. Dengan kehormatan! Bukan sembunyi di balik bayangan seperti pengecut!"
Ia menatap satu per satu wajah di sekelilingnya, mencari secercah keadilan di mata mereka yang dipenuhi prasangka. "Aku bersama Wali Kota, Justus, Amelia, dan Viconia sedang makan malam. Tanya mereka! Buktikan kalau aku berbohong!"
Justus akhirnya bicara, suaranya berat dan mantap seperti batu karang yang menahan badai. "Aku bersaksi atas nama keluargaku dan serikat petualang. Jeno tidak meninggalkan ruangan satu langkah pun. Dia... tidak bersalah."
Tiba-tiba, Viconia mengangkat suaranya dengan nada yang dingin namun penuh perhitungan. "Kalau kota ini tidak menerima Jeno Urias, maka biarlah Kerajaan Greaves menerimanya. Kami tidak menolak orang yang bersalah."
Sontak suasana menjadi jauh lebih mencekam. Udara seolah menipis, dan setiap napas terasa berat. Amelia memutar tubuhnya ke arah Viconia dengan gerakan yang tajam seperti elang yang akan menyerang.
"Jadi memang benar... ini semua ada kaitannya dengan Greaves?!" suaranya meninggi, nyaris menjadi jeritan. "Kematian Arbelista bukan kecelakaan, ini... ini pembunuhan politik! Kalian ingin memancing perang!"
Viconia tersenyum tipis, nyaris seperti mengejek, namun ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyuman itu—perhitungan yang dingin dan kejam. "Kalau kau menuduhku, maka buktikan. Jika tidak, kata-katamu itu bisa memicu perang. Dua kerajaan hancur karena ucapanmu yang tak bertanggung jawab, Penyihir Agung!"
Rai Recaldo segera mengangkat tangan dengan gerakan yang tegas. "Cukup! Ini bukan tempatnya untuk saling menuduh! Bubarkan semua warga!"
Prajurit segera bertindak, membubarkan kerumunan yang mulai panas dengan perintah yang keras namun terkontrol.
"Dan demi netralitas Kota Velden," lanjut Rai Recaldo dengan suara yang penuh otoritas, "aku akan memanggil penyelidik dari Kerajaan Naga Perak. Biarkan seorang ahli yang tidak memihak menentukan kebenaran."
------
Setelah penduduk pergi meninggalkan jejak debu dan gumaman yang tak puas, Recaldo memanggil Justus dengan isyarat yang hampir tak terlihat. "Pastikan Jeno tidak mengalami gangguan. Bawa dia ke serikat. Dan jaga dia baik-baik. Aku tidak ingin darah mengalir di kotaku untuk kedua kalinya!"
Justus mengangguk dengan ekspresi yang serius. "Aku mengerti. Dia akan aman."
Sementara itu, Recaldo sendiri membawa Amelia dan Viconia ke kamar Arbelista, langkah mereka bergema di koridor yang sepi seperti lonceng kematian.
------
Mayat Arbelista terbujur di atas ranjang mewah yang kini tercemar darah kering berwarna cokelat kehitaman. Lehernya nyaris putus: potongan yang terlalu bersih, terlalu presisi untuk disebut bunuh diri. Ini bukan tindakan seseorang yang frustasi, melainkan eksekusi yang dilakukan oleh seorang ahli.
Amelia menutup mulutnya dengan tangan yang bergetar, menahan rasa mual dan duka yang tiba-tiba datang seperti gelombang pasang. Ia mengangkat tongkatnya dengan gerakan yang hampir ritual dan mengucapkan mantra dengan suara yang bergetar.
"Visarium Traque..."
Mantra Search dilontarkan. Lingkaran partikel cahaya di bawah kakinya membesar, menyelimuti seluruh vila cahaya lingkaran dari tongkatnya seperti kunang-kunang di malam musim panas, menelusuri sudut-sudut kamar, mencari jejak si pelaku dengan ketelitian yang hampir obsesif.
Namun tak ada menemukan petunjuk.
"Tidak mungkin..." gumam Amelia, suaranya putus asa. "Mantraku tak mendeteksi satu pun aura pembunuh. Ini... ini seperti hantu yang membunuh."
Di sisi lain ruangan, Viconia berdiri memandangi lukisan Arbelista di dinding dengan ekspresi yang tenang, tangan kirinya menggenggam perhiasan hitam kecil yang tersembunyi di balik lengan bajunya, itu adalah artefak kecil yang ia gunakan untuk memblokir sihir Search. Wajahnya tetap datar, seperti permukaan danau yang tenang namun menyimpan kedalaman yang tak terbaca.
"Sepertinya... pembunuhnya sangat profesional," kata Viconia ringan, seolah menyampaikan kabar baik hari ini. "Atau mungkin, ia memiliki cara untuk menyembunyikan jejaknya."
Amelia menggertakkan giginya, rahangnya mengencang. Di dalam dirinya, amarah dan rasa malu bercampur menjadi racun yang membakar. Ia kalah dalam pertempuran. Ia kehilangan sekutu. Dan kini, ia gagal membaca lawan yang berdiri tepat di hadapannya.
Namun yang tidak ia tahu, permainan yang sedang dimainkan jauh lebih besar dari sekadar duel dan dendam. Ini adalah catur politik yang dimainkan dengan nyawa sebagai bidak, dan kematian sebagai langkah pembuka.
Dan di balik semua itu, Jeno Urias perlahan menjadi pion dalam konflik antara cahaya dan kegelapan, dan panggung politik ini yang akan mengubah takdir tiga kerajaan selamanya.
Situ Sehat ??!