Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.
Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.
Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.
Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Saran Grand Duke
Luna sedikit terkejut, tapi ia mengikuti langkah Riven. Mereka berjalan dalam diam, dengan bisikan-bisikan penasaran dari siswa lain yang mengikuti setiap langkah mereka seperti bayangan.
Pemandangan Putri Velmiran yang angkuh mengikuti Grand Duke yang dingin pastinya sebuah anomali yang terlalu menarik untuk dilewatkan. Luna memahaminya.
Udara yang terasa sedikit lembap dan hangat tiba-tiba berubah. Di sekitar Riven, tercipta sebuah gelembung tak kasat mata dengan suhu yang paling ideal dan nyaman. Bukan hawa dingin yang menusuk, melainkan kesejukan yang menyegarkan, seperti udara di pagi hari musim semi.
"Ah, benar juga," batin Luna, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
"Yang satu ini muncul di kartu karakter official-nya. Khas Riven, kemampuan untuk menstabilkan suhu di sekitarnya. Kontrol kelembapan absolut yang berasal dari sihir manipulasi molekul air. Di dalam game, ini hanya berupa deskripsi teks, tapi merasakannya secara langsung... ini luar biasa."
Mereka berhenti di depan sebuah bangku taman kosong dari batu pualam putih yang dinaungi oleh pohon magnolia yang sedang berbunga. Tempat yang cukup jauh dari keramaian. Lalu, ia melakukan sesuatu yang membuat Luna benar-benar tercengang.
Dengan gerakan yang luwes dan tanpa ragu, Riven melepas blazer seragamnya yang berwarna hitam — blazer dengan lambang kehormatan platinum yang menandakan statusnya sebagai murid unggulan — melipatnya dengan rapi, dan meletakkannya di atas bangku sebagai alas tambahan.
Seorang Grand Duke, anak haram Kaisar yang terkenal dingin dan tak tersentuh, baru saja melepas seragamnya untuk dijadikan alas duduk bagi seorang gadis yang beberapa menit lalu menggenggam kerahnya.
Ia kemudian menatap Luna dan sedikit menganggukkan kepalanya, mempersilakannya duduk.
Di hadapan perlakuan gentleman yang begitu tak Terduga, pikiran Luna kosong total. "Tunggu... apa ini? Kenapa dia melakukan ini? Apakah ini juga bagian dari karakter tsundere-nya? Aku tidak pernah membaca soal ini di game!"
Mau tidak mau Luna harus mengakuinya. Pemahamannya soal karakter Riven itu dangkal. Dia bukan lagi karakter yang terjebak di dalam layar, Riven hidup, bernapas, dan memiliki pikiran sendiri.
Setelah ragu sejenak, Luna akhirnya duduk dengan anggun di atas blazer Riven yang terasa sedikit hangat. Riven tidak ikut duduk. Ia berdiri di hadapannya, menciptakan jarak yang sopan namun terasa formal.
"Saya telah memilih Departemen Administrasi dan Politik m, Divisi Ekonomi dan Perdagangan," ulang Luna, memecah keheningan. "Saya akan jujur, tidak ada departemen khusus yang benar-benar menarik perhatian Saya. Jadi, bisakah anda memberi rekomendasi?"
Riven tidak langsung menjawab. Ia menatap Luna sejenak, membuat Luna khawatir apakah dia sudah melakukan kesalahan. Lalu tanpa sepatah kata pun, Riven mengeluarkan lembar pendaftarannya yang sudah terisi rapi dari saku dalam seragamnya dan menyerahkannya pada Luna.
Luna menerima kertas itu, lebih terkejut lagi dengan tindakan yang efisien dan sedikit angkuh ini. "Memberiku contekan langsung? Menarik." Ia menunduk dan membaca isinya. Hatinya berdebar saat membaca tulisan tangan idolanya untuk pertama kali.
[Departemen Khusus – Riven Orkamor]
–Departemen Sihir & Alkimia — Divisi: Teori Sihir (Belajar Mandiri)
–Departemen Administrasi & Politik — Divisi: Administrasi Wilayah (Penerapan Langsung)
–Departemen Seni & Budaya — Divisi: Seni Lukis
Mata Luna berbinar saat membaca baris ketiga. "Seni Lukis! Aku tahu itu! Itulah sisi Riven yang membuat semua anggota Rivenity jatuh hati padanya!"
Luna sendiri tidak berbeda. Secara spesifik dia jatuh hati pada adegan ketika Riven pertama kali dikenalkan secara resmi.
Slah satu dari tiga cutscene paling epik di dalam game. Adegan di mana Riven dan kuda perangnya melompat kemudian sebuah jembatan es raksasa yang megah tercipta dalam hitungan detik, menghubungkan dua pulau.
Lengkungannya sempurna, ukirannya detail, dan berkilauan di bawah sinar matahari. Itu bukan hanya sihir; itu adalah sebuah mahakarya. Riven bisa melukis dengan sihir sebagai tintanya dan dunia sebagai kanvasnya.
"Aku harap aku bisa melihat langsung adegan tersebut, hehehe. Pasti bisa, kan? Suamiku? Diam berarti setuju, oke? Hihihi."
Kemudian, matanya tertuju pada catatan dalam kurung. "Permisi, Grand Duke. Apa arti dari catatan Belajar Mandiri dan Penerapan Langsung ini?"
"Aku tidak butuh kelas teori sihir dasar. Jadi, sebagai gantinya aku meminta ruang penelitian pribadi," jelas Riven dengan singkat dan dingin.
"Lalu, aku tidak bisa meninggalkan wilayah Orkamor begitu saja selama tiga tahun. Jadi, aku meminta izin untuk penerapan langsung Administrasi Wilayah di lapangan."
Luna terkesiap. "Memangnya... hal seperti itu diperbolehkan?"
Untuk pertama kalinya, Riven menatapnya lurus, mata biru esnya seolah menusuk hingga ke jiwa. Jantung Luna hampir saja berhenti. "Gila! Gila! Gila! Mata Kami tertaut! Gimana nih!?"
"Kau adalah putri Duke Velmiran," katanya, suaranya datar namun penuh makna. "Apa kau benar-benar percaya apa yang Kepala Akademi katakan soal kesetaraan?"
"Ah...." Kata-kata itu menghantam Luna seperti tamparan keras. Ia langsung paham.
Pidato si botak tadi hanyalah fasad, sebuah idealisme yang indah. Realitasnya, akademi ini adalah cerminan dari kekaisaran itu sendiri.
Sebuah arena politik di mana mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh bisa membengkokkan aturan sesuai keinginan mereka.
Dengan pemahaman baru ini, Luna menatap kembali lembar pendaftarannya yang masih kosong. Kini ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak hanya memilih departemen, ia memilih "senjata" untuk permainannya.
Riven mengambil kembali formulirnya. "Untuk saran," katanya tiba-tiba, mengejutkan Luna. "Ambil Departemen Sihir dan mendaftarlah di Divisi Artefak dan Item Sihir." Riven memadangi Luna dari atas ke bawah. "Anting, bros, gelang, cincin, bahkan kipas. Aku rasa aku tidak perlu menjelaskan alasannya, kan?"
Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan berjalan pergi dengan langkah yang sama tenangnya, bahkan tidak menoleh untuk mengambil kembali blazer berharganya yang masih diduduki Luna.
Luna duduk sendirian, masih memproses percakapan singkat namun sangat intens itu. Ia berhasil. Ia melakukan kontak, ia mendapatkan pelajaran berharga, dan ia bahkan mendapatkan... blazer Riven? Apa yang harus ia lakukan dengan ini? Memakainya? Memajangnya di dinding?Atau... Mengendusnya tiap malam?
"Ah, tidak, tidak, tidak. Dasar Aluna bodoh. Tentu saja harus dikembalikan... Sial."
Dengan gerakan yang pasti, Luna mengisi dua slot departemen terakhirnya. Sekarang, tanpa keraguan, dia tahu apa yang akan dia pilih.
Seperti saran Riven, Luna mendaftar di Departemen Sihir & Alkimia, Divisi Artefak dan Item Sihir. Lalu yang terakhir, Departemen Sihir dan Alkimia, Divisi Teori sihir, dalam kurung: Belajar Mandiri, Asisten Riven Orkamor.
"Riven tidak akan membantah power abuse ini, kan? Lagipula, dia yang memberiku rekomendasi dan mengajariku." Luna tersenyum puas.
Ia akan membengkokkan aturan dengan caranya sendiri. Seperti yang Riven — Suaminya ajarkan.
Tiba-tiba, suara heboh terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat.
"LUNA! AKU MENEMUKANMU!"
Garam berlari ke arahnya dengan kecepatan penuh, wajahnya dipenuhi rasa ingin tahu. Ia berhenti mendadak saat melihat pemandangan di depannya. Matanya melebar, menatap tak percaya pada blazer hitam dengan lambang murid unggulan yang ada di lengan Luna.
"LUNA! APA YANG TERJADI!?" teriak Garam, suaranya menggema di seluruh taman. "Kenapa seragam Grand Duke ada padamu!? APA YANG DIA KATAKAN!? APA YANG KALIAN LAKUKAN!? Jangan katakan... dia membujukmu untuk masuk Anti-fraksi!?"
Luna hanya bisa menghela napas, ia merasa sakit kepalanya akan segera kambuh karena pertanyaan bertubi-tubi dari Garam.