NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:981
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jadi Putri Impian

Aletta memejamkan mata sejenak. Pemandangan di hadapannya terlalu pahit untuk dicerna setelah hari yang sudah cukup panjang—ayahnya duduk satu meja dengan perempuan itu, bersikap seolah mereka keluarga bahagia. Seolah… semua ini normal.

Ia hampir saja berbalik arah dan naik ke kamarnya tanpa berkata sepatah pun. Tapi suara Pak Raffi menahannya.

“Aletta, duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan, soal perusahaan.”

Dengan enggan, Aletta menarik kursi dan duduk. Napasnya terdengar pelan namun berat. Ia menatap lurus ke arah piring kosong di meja, menghindari tatapan siapa pun.

“Media sudah menyebarkan berita soal gugatan cerai Papa dan Mamamu,” kata Pak Raffi, nada suaranya setenang siaran berita pagi. “Papa hanya ingin kau dengar langsung dari Papa, bukan dari internet.”

Aletta tersenyum miring. “Oh, jadi Papa panggil aku makan malam bukan buat kenalan lebih akrab sama calon ibu tiri ya, tapi buat... klarifikasi?"

Perempuan di samping ayahnya tersenyum canggung. Pak Raffi mendesah. “Jangan mulai lagi, Aletta.”

Aletta mengangkat bahu. “Aku bahkan belum selesai. Papa mau ejek apa lagi? Bahwa hidupku nggak sesuai harapan Papa? Bahwa aku gagal jadi anak ideal? Atau hidup dengan perempuan ini masih belum cukup seru buat Papa?”

Pak Raffi menyipitkan mata. “Aletta, cukup. Papa hanya ingin kau tahu... perusahaan akan tetap menjadi bagianmu. Kau akan jadi pewarisnya, setelah semua ini selesai.”

Aletta terdiam. Sekilas, seperti ada sesuatu yang mencair di balik tatapan tajamnya.

Lalu, dengan tenang, ia menatap Pak Raffi. “Kalau begitu, aku akan ingat janji Papa malam ini.”

Ia bangkit dari kursi sebelum siapa pun sempat menambahkan kalimat apapun. Langkahnya ringan, tapi suaranya masih menggantung di ruangan makan yang kini terasa dingin.

“Selamat menikmati makan malam keluarga, Pa. Aku sudah kenyang dengan omong kosong hari ini.”

Dan seperti biasa, Aletta pergi sebelum siapa pun sempat mengejarnya.

Pagi itu Aletta tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Tapi tetap saja, kelas sudah ramai. Suara tawa dan obrolan menyambutnya begitu ia membuka pintu. Dan seperti biasa—pusat keramaian itu adalah Aruna.

Aruna duduk di bangkunya, dikelilingi teman-teman sekelas yang tertawa dan memuji hasil gambar tugas visual art-nya. Wajahnya bersinar seperti biasa. Tidak berusaha menonjol, tapi entah bagaimana selalu menarik perhatian. Populer. Cerdas. Anak tunggal dari keluarga terpandang. Bahkan dijodohkan dengan laki-laki baik dan... cukup tampan untuk membuat satu sekolah nyaris histeris.

Aletta berdiri di ambang pintu, menatap diam-diam. Membandingkan tanpa bisa menahan. Hidup Aruna tampak begitu mulus, sementara dirinya baru saja menyaksikan reruntuhan keluarganya di meja makan tadi malam.

Seakan bisa merasakan tatapan itu, Aruna menoleh dan tersenyum.

“Pagi, Aletta,” sapa Aruna ramah, seperti biasa. Tidak ada nada sombong ataupun basa-basi. Murni tulus.

Aletta hanya mengangguk kecil, lalu memutar tubuh dan melangkah keluar dari kelas.

Teman-teman Aruna mulai bergumam pelan, bertanya-tanya.

“Aletta kenapa ya?” bisik Nadia.

Windi menyipitkan mata. “Pagi-pagi udah ngambek?”

Aruna hanya diam, menatap pintu kelas yang tadi ditinggalkan Aletta. Ia teringat pesan Bagas malam sebelumnya, suaranya masih jelas dalam kepala.

[Aruna ada berita soal perceraian orang tua Aletta. Kalau bisa... jangan bahas apa-apa soal keluarganya di kelas. Dia pasti lagi berat.]

Aruna menarik napas. “Mungkin... dia ke toilet,” jawabnya pelan.

Dan seperti biasa, tidak semua hal harus dijelaskan di depan kelas. Kadang, butuh waktu. Dan sedikit lebih banyak pengertian.

Bel pertama berbunyi, nyaring dan memecah keramaian kelas. Beberapa murid buru-buru duduk, yang lain masih sempat bercanda sebelum guru masuk. Pintu terbuka pelan, dan Aletta melangkah masuk.

Aruna yang duduk di bangku kedua langsung menoleh. “Kamu habis dari mana, Al?” bisiknya sambil mencondongkan badan ke arah Aletta.

Aletta menarik kursinya. “Sakit perut,” jawabnya singkat, meletakkan tasnya dengan pelan seolah kelelahan hanya karena jalan dari gerbang.

“Oh,” Aruna mengangguk, lalu tersenyum kecil. “Nanti sore mau ikut beli perlengkapan buat camping, nggak? Yang lain juga ikut. Habis itu kita rencananya mau nonton film juga bareng-bareng.”

Aletta menoleh cepat. “Kayaknya nggak bisa. Aku mau ketemu temen lama.”

“Teman lama?” Aruna tampak penasaran, tapi menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. “Ya udah... semoga bisa nyusul ya. Biar lebih kenal juga sama yang lain.”

Aletta hanya mengangguk kecil, menatap papan tulis kosong.

Aruna menoleh ke depan saat suara sepatu terdengar dari pintu. Seorang guru masuk ke dalam kelas sambil membawa map, langsung menarik perhatian semua murid.

“Selamat pagi semuanya,” sapa guru itu.

Aruna merapikan duduknya, tapi dari sudut matanya, ia sempat melihat Aletta masih diam, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aruna berharap Aletta benar-benar siap untuk acara kemah nanti. Dan siapa tahu, dari tenda dan api unggun, bisa jadi mereka malah jadi teman baik.

Atau... setidaknya tidak saling diam-diam curiga satu sama lain.

Aletta melangkah cepat keluar dari gedung sekolah, melewati Aruna dan beberapa teman sekelas yang sedang berkumpul di lobi. Mereka tampak riuh membicarakan rencana ke mal setelah sekolah, sebagian besar sudah memegang tas dan minuman ringan.

Nadia menoleh, melihat sosok Aletta yang melintas. “Eh, Aletta! Nggak ikut ke mal bareng?” tanyanya dengan nada ceria.

Aruna menjawab lebih dulu, “Katanya dia mau ketemu temen lamanya. Mungkin udah janji dari dulu.”

“Oh…” Nadia mengangguk lalu langsung sibuk membagi rombongan teman-teman ke dalam mobil Aruna, seperti seorang manajer logistik yang terlalu antusias.

Sementara itu, Aletta masuk ke mobilnya dengan wajah tegang. Ia membuka ponsel dan mencoba menghubungi seseorang. Berkali-kali. Namun panggilannya hanya berakhir di suara otomatis—nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.

Aletta menghela napas, lalu berkata ke sopirnya, “Pak Roni, kita ke rumah Mama ya.”

Pak Roni, sopir keluarga yang sudah lama bekerja, menoleh sebentar dari kaca spion. “Maaf, Non Aletta. Tapi saya dapat instruksi dari Bapak. Tidak boleh ke sana.”

Aletta menegang. “Saya tahu Papa pasti bilang begitu. Tapi saya yang minta. Saya yang tanggung kalau Papa marah.”

Pak Roni terlihat ragu. Tapi sorot mata Aletta terlalu serius untuk ditolak. Setelah hening sejenak, ia mengangguk pelan dan menyalakan mesin.

Di kursi belakang, Aletta memandangi jalanan dengan mata yang tak fokus. Pikirannya sibuk—antara Papa, Mama, dan kenangan yang tak bisa ia ceritakan ke siapa pun. Sementara dari layar ponselnya, panggilan terakhir masih tertera, tak terjawab.

Aruna dan teman-temannya sudah menyisir mal. Rak makanan ringan di supermarket itu nyaris penuh, namun Aruna sudah tahu apa yang ingin ia cari sejak awal. Tangannya meraih satu cup mi instan mungil berwarna merah—varian favoritnya sejak dulu.

Senyumnya mengembang tanpa sadar.

Laras yang berjalan di sebelahnya langsung menyenggol pelan lengannya. “Kamu senyum-senyum liat mi instan? Aneh banget, Run.”

Aruna menoleh sambil tertawa kecil. “Aku suka banget mie cup. Simple dan... nostalgic.”

Laras mengangkat alis, lalu ikut mengambil satu. “Oke, kalau gitu aku cobain juga.”

Aruna tersenyum kecil, lalu memandangi cup mie di tangannya sejenak. Ada hal-hal kecil yang dulu terasa biasa saja, tapi sekarang seolah memiliki makna lain. Salah satunya, mi instan yang Bagas belikan di warkop itu.

Pikirannya tersentak saat Nadia datang sambil membawa keranjang penuh camilan.

“Guys, udah cukup belanjanya belum? Filmnya sebentar lagi mulai, loh!” seru Nadia dengan semangat khasnya.

Mereka mengangguk serempak dan menuju kasir. Sesaat kemudian, rombongan kecil itu sudah melangkah cepat menuju bioskop di lantai atas mall.

“Ayo cepet, langsung masuk aja. Tiketnya aku yang bayarin,” kata Nadia santai sambil membagikan tiket yang sudah ia pesan online.

“Wuihh... makasih, Sultan Nadia!” seru mereka bersamaan, sebagian bersorak menggoda.

Aruna tertawa dan menyerahkan tote bag belanjaannya ke Windi. “Tolong jagain bentar ya. Aku mau beli popcorn sama cola.”

Tania yang ikut bersama mereka menoleh. “Mau bantu bawain?”

Aruna mengangguk cepat. “Boleh banget.”

Mereka berdua berjalan menuju konter makanan, dan suara tawa teman-temannya yang lain terdengar makin jauh di belakang, bersatu dengan riuhnya pusat perbelanjaan sore itu.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!